Menuju konten utama

Inkonsistensi Penanganan Kasus Narkoba: Barbuk Sama, Hukuman Beda

IJRS mengungkap mayoritas putusan untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah penjara, bukan rehabilitasi.

Inkonsistensi Penanganan Kasus Narkoba: Barbuk Sama, Hukuman Beda
Ilustrasi narkoba. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Matheus Natanael memaparkan hasil penelitian bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia.

Ia mengungkapkan, adanya inkonsistensi penegakan hukum dalam perkara tindak pidana narkotika. Penelitian tersebut dilakukan dengan menganalisis putusan narkotika dalam direktori putusan Mahkamah Agung (MA) pada kurun waktu 2016-2020.

Matheus menerangkan, salah satu hasil penelitian menyebut bahwa putusan untuk tindak pidana dan barang bukti yang sama dapat dijatuhi hukuman yang berbeda.

"Untuk penyalahguna itu opsinya banyak, dia bisa dipenjara, bisa direhabilitasi. Kita coba lihat ada yang perkaranya sama tapi pidananya beda. Misal peran terdakwa sama-sama pecandu, jenis narkotikanya sama-sama sabu, berat narkotika sama-sama 0,2 gram, tapi ada 1 yang dipenjara dan 1 direhabilitasi," kata Matheus sebagaimana dilihat dari kanal YouTube IJRS TV, Selasa (28/6/2022).

Hal tersebut menurut Matheus menunjukkan inkonsistensi dalam menafsirkan undang-undang. Selain itu, ia juga mengungkap bahwa mayoritas putusan untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah putusan penjara.

"92,3 persen itu penjara. Jadi ternyata putusan rehabilitasi itu jarang sekali. Penjara masih menjadi favorit yang dikenakan ke pasal 127 tentang penyalahgunaan narkotika," jelas dia.

Selain penyalahgunaan narkotika, IJRS juga mengungkapkan adanya inkonsistensi dalam putusan perkara peredaran gelap narkotika. Salah satunya adalah banyaknya pengguna terakhir yang diputus menggunakan pasal peredaran gelap dan bukan pasal penyalahgunaan narkotika.

"Ternyata 44,6 persen itu adalah pengguna terakhir. Ini perkara peredaran gelap lho, bukan perkara penyalahgunaan. Jadi dia sebenarnya pengguna tapi diputus pakai pasal peredaran gelap narkotika. Itu 44,6 persen hampir 1 dari 2," ungkap Matheus.

Ia juga mengatakan bahwa 23,8 persen pelaku peredaran gelap narkotika dihukum di bawah ancaman pidana minimum khusus. Menurutnya hal tersebut menunjukkan adanya masalah dalam undang-undang.

"Ini kan sebenarnya semacam mungkin apa ya, kalau saya tebak mungkin sinyal bahwa ada masalah dari UU. Entah ancaman minimum khususnya bermasalah atau mungkin rumusan unsur pasalnya antara penyalahgunaan dan peredaran gelap ini kabur jadi banyak yang harusnya perkara dikenakan A, malah pasal B," ujar Matheus.

Ia juga menyebut bahwa 23,2 persen terdakwa peredaran gelap dinyatakan terbukti bersalah hanya berdasarkan keterangan saksi dari kepolisian saja.

"Tentu ini juga MA sudah memberikan sikap hukumnya, bahwa saksi dari kepolisian ini harusnya dipertanyakan ya karena belum tentu objektif. Dia memiliki kepentingan supaya perkaranya terbukti," pungkas Matheus.

Baca juga artikel terkait PENYALAHGUNAAN NARKOBA atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky