tirto.id - Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme (RUU Terorisme), Supiadin Aries menyatakan informasi intelijen bisa menjadi bukti permulaan untuk melakukan penyidikan terhadap terduga pelaku tindak pidana terorisme.
"Bukti itu bisa dari laporan intelejen. Bukan laporan orang intelijen loh. Bolak-balik saya bilang laporan badan intelijen. Apakah tingkat BAIS, BIN, atau Mabes Polri begitu," kata Supiadin, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).
Hal ini, kata Supiadin, merupakan penjelas dari Pasal 28 ayat (1) RUU Terorisme mengenai penyidikan. Dalam pasal itu dikatakan penahanan untuk penyidikan bagi terduga teroris bisa dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sementara, di ayat lainnya dikatakan penyidikan terhadap pelaku terorisme berdasarkan dua alat bukti yang cukup sesuai dengan aturan KUHAP.
Penggunaan informasi intelijen sebagai alat bukti permulaan, kata Supiadin, sekaligus menjadi fungsi pencegahan. Sebab, menurutnya, lembaga intelijen akan melakukan pengawasan terhadap terduga teroris sampai terdapat bukti bahwa yang bersangkutan sedang merencanakan dan mempersiapkan aski teror.
"Tapi tetap nanti yang menyidik adalah penyidik kepolisian. Bukan BAIS atau BIN. Semua sesuai dengan koordinasi," kata Supiadin.
Pencegahan semacam ini, kata Supiadin, berkaitan dengan pasal lainnya di RUU Terorisme yang menyatakan pencegahan penyebaran paham radikal dan perencanaan terorisme oleh penceramah tertentu. Sebab, menurutnya, selama ini banyak penceramah yang terlibat dalam merencanakan dan mempersiapkan terorisme, tapi tidak dapat ditindak sejak dini.
"Saya sebut penceramah karena bisa mubaligh, bisa elit politik, bisa juga non mubaligh dari pihak non muslim. Sudah saya sebut penceramah. Kalau dia terbukti menghasut, mempengaruhi orang lain, mengajak orang lain untuk melakukan aksi teror ya kena," kata Supiadin.
Akan tetapi, usulan ini ditentang oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Menurutnya, pelibatan intelijen dapat mengarah kepada tindak otoritarianisme pemerintah seperti masa Orde Baru. Karena, badan intelijen pada praktiknya berpeluang tidak hanya mengawasi urusan terorisme, melainkan hal-hal lain.
"Jangan memasukkan operasi intelijen dalam penegakan hukum. Bahaya. Itu lah orde baru. Orde baru itu penegakan hukum dan operasi intelijen tidak dipisahkan. Akhirnya orang bisa direkayasa," kata Fahri, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).
Sampai saat ini pembahasan RUU Terorisme belum rampung. Salah satu persoalannya adalah perihal perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR terkait definisi. Pemerintah menolak usulan DPR yang ingin memasukkan frasa motif ideologi dan politik dalam definisi terorisme. Sementara, DPR bersikukuh memasukkannya sebagai pembatas antara tindakan terorisme dan tindak pidana biasa.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora