Menuju konten utama

Bagaimana TNI Akhirnya Bisa Terlibat Langsung Tangani Terorisme

RUU Terorisme disahkan jadi Undang-Undang. Salah satu perubahan signifikan adalah keterlibatan TNI secara langsung.

Menkumham Yasonna Laoly berjabat tangan bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan sejumlah anggota Pansus Terorisme DPR usai ditandatanganinya hasil revisi UU Anti-Terorisme di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (24/5/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Dalam Rapat Kerja pengambilan keputusan tingkat I revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (RUU Terorisme), Kamis (24/5/2018) malam, DPR dan pemerintah akhirnya sepakat melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menanggulangi terorisme.

Pelibatan TNI diatur dalam Pasal 43J ayat 1 sampai 3. Ayat 1 menyatakan, "Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang." Ayat 2: "Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI."

Sementara ayat 3 menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres)." Dari pasal ini kita tahu kalau perlu persiapan sedikit lagi agar TNI bisa benar-benar bisa terlibat.

Dan itu nampaknya tak bakal begitu lama. Usai rapat, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan aturan spesifik mengenai pelibatan tentara "sudah mulai disusun" dengan melibatkan perwakilan pemerintah seperti Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan HAM.

Draf ini yang bakal diserahkan kepada pemerintah sebagai usulan Perpres.

"Peraturan presiden drafnya kami yang bikin ya," kata Hadi, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Draf tersebut, kata Hadi, mengacu kepada Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Apa isi draf tersebut? Hadi mengisyaratkan bakal sekomprehensif mungkin. Dari hulu sampai hilir: pencegahan, penindakan, hingga pemulihan.

"Jadi, kami melihat kalau sudah ada tanda-tanda mengarah kepada serangan, itu kami sudah mulai bertindak. TNI harus melakukan fungsi itu: penangkal, penindak dan pemulih," jelasnya.

Setelah Perpres rampung, kata Hadi, posisi TNI tak lagi dalam rangka perbantuan atau bawah komando operasi (BKO) polisi seperti saat ini. Dalam aturan lama, aksi TNI harus di bawah komando polisi. TNI tak bisa bergerak sendiri.

"Kalau seperti ini sudah bisa bergerak sendiri," kata Hadi.

Lebih spesifik, keterlibatan TNI akan berada di bawah payung bernama Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab), kelompok pasukan yang anggotanya terdiri dari satuan khusus di tiga matra TNI: Dengultor 81 Kopassus TNI AD, Sat Bravo TNI AU dan Den Jaka TNI AL.

Koopssusgab pernah aktif di era Jenderal (purn) Moeldoko tahun 2015 silam. Ketika itu dasar hukum Koopssusgab sebatas Peraturan Panglima.

Rencana pengaktifan Koopssusgab ini sudah dikonsultasikan dengan Komisi I DPR sebagai mitra TNI. Komisi I DPR mendukung penuh pasukan ini.

Namun keterangan Hadi bertolak belakang dengan pernyataan Menkumham Yasonna Laoly. Menurutnya Perpres akan dibuat langsung oleh pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo. TNI, katanya, tak berhak ikut campur membuatnya.

"Mana bisa [TNI buat Perpres]. Bahwa nanti kita bicara secara informal boleh saja. Tapi Perpres kan keputusan presiden," katanya.

Sejauh ini Istana memang belum memulainya. Namun, kata Yasonna, peraturan tersebut "akan kami segerakan [rampung]" meski dalam UU pemerintah diberikan batas waktu cukup lama, satu tahun.

Sorotan Publik

Pelibatan TNI dalam mengurusi terorisme adalah satu poin yang paling dikritisi publik. Kritiknya secara garis besar begini: melibatkan TNI dalam memberantas terorisme sama saja dengan mengundang militerisme kembali ke urusan-urusan sipil, dan pada akhirnya dapat memicu pelanggaran HAM karena kecenderungan TNI melakukan tindakan eksesif dan represif.

Salah satu penolak tersebut adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan keterlibatan TNI tidak sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang bersifat ad hoc alias sementara.

Perpres, kata Yati, justru berpotensi membuat pelibatan TNI menangani terorisme jadi bersifat permanen.

"[Terlebih] tidak semua tindakan terorisme mempunyai eskalasi yang mengharuskan keterlibatan TNI," kata Yati.

Sementara Wakil Direktur LSM pemantau HAM Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan kalau pelibatan TNI dimasukkan dalam UU Terorisme, maka itu sama saja dengan membuat aturan yang setara tapi saling tumpang tindih. Dalam hal ini berarti UU Terorisme dan UU TNI.

"Kalau di UU Terorisme akan ada Undang-undang yang tumpang tindih [tentang] kewenangan antara TNI dan Polri dan aturan mainnya akan kabur," kata Gufron.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/05/24/timeline-tanggal-penting-terkait-ruu-terorisme-currentissue--rangga-01.jpg" width="900" height="900" alt="Infografik CI RUU terorisme" /

Sementara itu, Leopold Sudaryono, salah satu kolumnis Tirto sekaligus Kandidat doktor dalam bidang Kriminologi, Australian National University, spesifik mempermasalahkan peran Koopssusgab. Katanya, pelanggaran hukum akan muncul jika Koopssusgab diberikan wewenang penegakan hukum seperti penangkapan dan penahanan dalam upaya mendapat operasi intelijen atau bukti permulaan.

Ini, kata Leopold, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan oleh Tim Mawar, kelompok penculik aktivis, pada masa Orde Baru.

"Proses penangkapan dan penahanan awal dilakukan oleh satuan ABRI (TNI ketika itu) untuk kemudian diserahkan kepada kepolisian untuk diproses secara administratif," katanya.

Mengenai kewenangan polisional ini memang belum jelas, dan bakal baru terang ketika draf Perpres muncul. Namun, sebagaimana kata Hadi, aturan mengenai pelibatan TNI bakal dibuat dari hulu sampai hilir, mulai pencegahan hingga pemulihan. Maka, bisa saja kewenangan ini diberikan.

Karena banyaknya kritik, pembahasan pasal ini jadi lama. Marsekal Hadi bahkan pernah mengirim surat ke DPR pada 8 Januari 2018 yang intinya meminta TNI dilibatkan dalam penanggulangan aksi terorisme.

Tak lama setelah surat itu diterima, pelibatan TNI akhirnya disepakati para wakil rakyat pada 14 Maret 2018 dan poin itu masuk dalam Pasal 43 J ayat 1, 2 dan 3, seperti yang tercatat dalam draf RUU Terorisme per 17 April 2018 dan disahkan jadi UU dalam Rapat Paripurna, Jumat (25/5/2018).

Baca juga artikel terkait RUU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani
-->