tirto.id - Rambutnya kribo, badannya kurus. Ia seperti kutu buku yang doyan menghabiskan waktu di perpustakaan, mencari jurnal-jurnal ilmiah, maupun mengerjakan materi perkuliahan yang diberikan dosen. Namun jangan salah sangka! Di balik penampilan luarnya yang seperti itu, Geoff Travis — begitu namanya dipanggil — ternyata seorang pecinta musik garis keras.
Saban hari, Travis tak pernah absen dalam mendengarkan lagu-lagu kesukaannya. Satu per satu album ia simak dengan sepenuh hati. Tak hanya itu, ia juga rajin mendatangi konser band dan musisi lawas macam The Who, John Mayall, Jimi Hendrix, The Rolling Stones, The Beatles, Bob Dylan, Miles Davis serta rutin menyimak siaran udara John Peel — penyiar legendaris BBC — yang mempromosikan balada-balada The Doors di Radio London tiap malam.
Kecintaannya akan musik yang turut membawa Travis keliling Amerika pada 1975. Di sana, ia berkelana dari kota ke kotamencari harta karun berupa album cult. Berbekal £4.000 pemberian ayahnya, Travis memperoleh sekitar 150 vinyl yang membuat kopernya penuh sesak oleh rekaman Tim Buckley, The Stooges, sampai New York Dolls.
Setibanya di London, ia bingung dengan “buah tangannya” tersebut. Tak mungkin jika dibiarkan menganggur, begitu pikirnya. Lalu temannya bernama Ken Davidson memberi saran untuk mendirikan toko kaset.
Seperti diceritakan oleh Dorian Lynskey dalam artikel The Rise, Fall and Rise Again of Rough Trade di The Guardian, tanpa pikir panjang usulan Davidson pun direalisasikan. Ditambah, ia punya cita-cita membuat tempat layaknya toko buku City Lights yang pernah dikunjunginya sewaktu mampir di San Fransisco.
“Saya ingin orang-orang bisa mendengarkan musik sepanjang hari dan mereka dapat menemukan musik bagus maupun menarik yang tidak ditemukan di toko-toko mainstream,” katanya seperti dicatat The Guardian.
Pada 1976, toko musik Travis berdiri. Mengambil lokasi di jalanan Kensington Park, toko itu bernama Rough Trade. Kelak, selain toko musik, Rough Trade juga jadi monumen yang menceritakan bagaimana kancah musik independen Inggris mekar seperti bunga matahari.
Bentuk Idealisme dan Kecintaan
Masa-masa awal Rough Trade tak berjalan mudah. Sehari-hari, Travis musti memandangi tokonya sepi.
“Butuh waktu cukup lama bagi orang-orang menyadari kami ada di sana,” kenang Travis kepada Michael Hann dari The Guardian. “Itu benar-benar kosong selama enam sampai tujuh bulan pertama.”
Tapi, Travis tak menyerah dan mencari cara agar tokonya ramai. Ia lalu mengubah penataan dalam tokonya dengan menambahkan kursi serta pengeras suara besar. Tak cukup itu saja, Travis juga memutar kencang koleksi lagu dari band-band punk-rock milik tokonya agar menarik minat orang sekitar.
Seiring waktu, usaha Travis membuahkan hasil. Orang-orang berdatangan ke tokonya. Tak sebatas membeli album, para pengunjung menjalin interaksi satu sama lain dengan berdiskusi—atau berdebat—tentang perkembangan musik saat itu.
Ramainya Rough Trade turut menarik atensi band-band lokal Inggris. Guna membantu band-band tersebut, Rough Trade membangun jaringan antar label independen Inggris dengan berperan sebagai distributor. Peran ini nyatanya dimainkan sangat baik oleh Rough Trade. Dengan cepat, popularitas Rough Trade melonjak, menyamai toko-toko yang lebih dulu ada semacam Probe Liverpool, Soho’s Rocks Off, serta New York’s Red Rhino.
Merasa di jalur yang benar, Travis lantas melebarkan sayap Rough Trade ke industri rekaman. Tujuannya membentuk label adalah memberi semacam “tantangan” kepada perusahaan rekaman yang lebih besar—dalam hal ini label mainstream. Band pertama yang mereka garap yakni Metal Urbain, kolektif punk dari Perancis dengan album berjudul Paris Maquis.
Album anti-fasis milik Metal Urbain seolah membuka keran Rough Trade untuk menjaring band-band lainnya. Tercatat, band-band yang meneken kerjasama dengan Rough Trade selepas Metal Urbain ada Stiff Little Fingers, The Raincoats, Aztec Camera, Cabaret Voltare, Scritti Politti, Desperate Bicycles, August Voltaire, Young Marble Giants, Augusto Pablo, sampai The Smiths.
Mulai banyaknya band yang digarap Rough Trade ini, menurut The Independent dalam artikel "Rough Trade: Rough and ready", menandai beberapa hal. Pertama, Rough Trade tak lagi saklek pada musik punk-rock seperti era-era awal. Band-band yang bekerjasama dengan Rough Trade memperlihatkan keragaman genre, dari fuzz-rock, pop, sampai eksperimental. Kedua, pengelolaan manajemen Rough Trade lebih ditata secara profesional. Dan ketiga, di masa ini, Rough Trade mendapati kesuksesan masif melalui album-album The Smiths yang meledak di pasaran.
Dalam pelaksanaannya, Rough Trade menganut prinsip kolektivitas di mana setiap pihak yang terlibat di dalam dibayar sama—terlepas dari peran mereka. Sedangkan untuk kesepakatan dengan band, Rough Trade menawarkan bagi hasil 50/50. Model semacam ini belum pernah diberlakukan sebelumnya serta diyakini Travis bakal memberi ruang maupun kebebasan kepada musisi untuk menghasilkan karya terbaik.
Meski demikian, Rough Trade mendapati gelombang masalah yang kompleks pada pertengahan 1980an. Band-band asuhan mereka seperti Stiff Little Fingers dan The Smiths mulai lepas dari genggaman dan pindah ke label mainstream. Alasan kedua band itu sama: tidak puas dengan sistem bagi hasil yang sama rata dan menganggapnya “tidak adil.”
Situasi bertambah buruk pada 1989 ketika Rough Trade dinyatakan bangkrut akibat kombinasi manajemen yang buruk, hutang menumpuk, dan pajak jatuh tempo. Dua tahun berselang, mereka sudah tidak bisa beroperasi lagi. Travis bahkan harus menjual semua aset Rough Trade (kecuali toko musik karena pada 1983 telah diserahkan pada karyawan) untuk melunasi hutang yang ada.
“Perusahaan ini terlalu besar dan di situlah Rough Trade jatuh,” tegas Travis dilansir Crack Magazine. “Begitu besarnya, sehingga menjadi monster yang tidak memiliki manajemen yang ahli dan bisa diandalkan.”
Kebangkitan, Kebangkitan
Kecintaan Travis kepada musik, sekali lagi, membuatnya mengambil keputusan besar. Pada 1999, setelah dibumbui negosiasi yang panjang, ia berhasil menebus Rough Trade. Dalam babak keduanya ini, ia menjalankan bisnis Rough Trade bersama Jeannette Lee, mantan gitaris Public Image Limited, di sebuah kantor yang berlokasi di Golborne—tak jauh dari Kensington.
Keberadaan Rough Trade sebagai label dengan intuisi tajam tak serta merta luntur begitu saja. Pada periode ini, menurut The Independent, mereka mencetak generasi baru band-band bernas seperti The Strokes, The Libertines, Arcade Fire, Sufjan Stevens, British Sea Power, hingga Antony & the Johnson. Sontak, publik pun dibuat bungah sebab Rough Trade lahir lagi dengan deretan band yang tak kalah berkualitas dari tahun 1970an.
Euforia tersebut tak berlangsung lama. Rough Trade harus mendapati fakta pahit. Sanctuary, investor utamanya sejak tahun 2000, mengalami krisis keuangan. Di tengah ketidakpastian itu, Beggars Group—perusahaan rekaman yang juga menaungi label XL, Matador, dan Too Pure—datang menyelamatkan Rough Trade pada 2007.
Dilansir Billboard, Rough Trade diakuisisi oleh Beggars dengan nilai £800.000. Angka itu setara dengan 49% saham Sanctuary di Rough Trade. Dalam keterangan resminya, Martin Mills, leader Beggars menyatakan: “Tidak mungkin menolak daya tarik untuk menggabungkan warisan musik menakjubkan mereka dengan kami. Ini merupakan proporsi yang menarik.”
Sementara Travis dan Lee mengungkapkan, “Untuk terus menjadi label yang sepenuhnya independen, dengan dukungan Beggars, adalah yang terbaik dari semua kemungkinan. Kami benar-benar gembira akan masa depan, kesempatan baru, serta musisi baru yang kelak bisa memperoleh perhatian dunia.”
Usai dibeli Beggars, Rough Trade kembali menunjukkan kemampuannya dengan menggandeng potensi-potensi baru yang tak kalah panas semacam Alabama Shakes, My Morning Jacket, Belle and Sebastian, sampai Dean Blunt.
Pada akhirnya, sesering apapun Rough Trade jatuh, mereka selalu bisa berdiri dan menata lagi perjalanannya. Rough Trade merupakan bukti bahwa kebangkitan bakal hadir jika memang niat besar tersimpan di belakangnya. “[…] Gagasan masa depan yang nampak sangat tidak pasti memberi mentalitas yang berbeda. Saya tidak ingin merasa terhambat soal masa depan. Saya pikir masa depan adalah apapun yang Anda inginkan darinya,” terang Travis kepada Dazed.
Sejauh ini, Rough Trade merupakan wajah dari musik—terutama independen—Inggris (dan mungkin dunia). Jauh sebelum kata “indie” ditetapkan jadi genre, kategori, atau etos, mungkin orang hanya paham “indie” sebagai penyebutan untuk koleksi toko musik. Akan tetapi, dengan kehadiran Rough Trade, yang secara konsisten memupuk band-band seluruh dunia dari beragam aliran musiknya, kata “indie” tak lagi sesederhana itu. Ia bak simbol perlawanan dan semangat komunitas yang besar.
“Bereaksi terhadap korporasi besar [perusahaan rekaman mainstream] dan membuat musik di kamar tidur Anda lalu mengunggahnya di internet merupakan versi modern dari apa yang sedang kami lakukan dulu. Orang mencoba membuat jalan mereka sendiri karena, terkadang, memang sulit mencari jalan lain,” papar Lee kepada The Independent.
Rough Trade, sekali lagi, lebih dari sebuah label. Ia merupakan dorongan untuk mereka yang tumbuh, ambruk, lalu tumbuh kembali, serta membantu mendefinisikan musik bukan sekedar sebuah era—maupun tren semata—melainkan juga nilai-nilainya.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Faisal Irfani