tirto.id - Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, mengakui kondisi pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dirasakan oleh sektor manufaktor, seperti dari sisi harga beli bahan baku, meningkatnya biaya logistik serta juga pembiayaan.
Dia menuturkan, pihaknya merespons pelemahan nilai tukar rupiah dengan mendorong penggunaan fasilitas LCT (Local Currency Transaction) atau transaksi mata uang lokal untuk impor bahan baku dengan negara yang sudah menyepakati.
Menurut Bank Indonesia (BI), nilai LCT pada Januari hingga April 2024 sudah mencapai setara Rp47,18 triliun, atau dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
"Juga perlunya upaya memperbaiki performa sektor logistik untuk mendukung pertumbuhan sektor industri," ungkap Febri saat dihubungi Tirto, Selasa (2/7/2024).
Kemudian, dalam menyikapi depresiasi rupiah, adjustment atau penyesuaian kebijakan untuk melindungi pasar dalam negeri dari banjir impor produk hilir juga diperlukan. Bahkan, dia mendorong untuk diberlakukan kembali Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
"Kami mendorong agar pengaturan impor dikembalikan ke Permendag 36 Tahun 2023 serta penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) agar barang impor bisa terkontrol arus masuknya," ucapnya.
Selanjutnya, seiring dengan harga bahan baku yang melonjak, pihaknya juga mendorong untuk memberikan kemudahan bagi pelaku industri untuk memperoleh kredit usaha, terutama dari lembaga pembiayaan pemerintah.
"Juga memperkuat penyerapan produk dalam negeri oleh pemerintah melalui program P3DN dan mencari kemudahan sumber bahan baku impor," ujarnya.
Menurut Febri, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor telah merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini menyebabkan turunnya optimisme para pelaku industri, yang berpengaruh pada penurunan Purchasing Manager’s Index (PMI).
"Tidak seperti sebagian negara peers yang mengalami kenaikan PMI manufaktur, di Indonesia turun cukup dalam. Perlu adanya penyesuaian kebijakan untuk mendongkrak kembali optimisme dari pelaku Industri,” tutur Febri.
Kondisi sebaliknya justru terlihat dari negara-negara manufaktur global, seperti RRT, India, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan Vietnam mengalami kenaikan ekspansi. Di wilayah ASEAN, PMI manufaktur Thailand naik dari 50,3 pada Mei 2024 menjadi 51,7 di bulan Juni 2024, sedangkan Vietnam naik tajam dari 50,3 pada Mei 2024 menjadi 54,7 di bulan Juni 2024.
Kondisi darurat yang dialami industri manufaktur dapat dilihat dari fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang disebabkan penurunan permintaan pasar global dan membanjirnya produk impor yang ‘dilempar’ ke pasar dalam negeri akibat restriksi perdagangan oleh negara-negara lain.
Ditegaskan Febri, apabila Indonesia tidak menerapkan peraturan terkait hal tersebut, produk-produk impor akan semakin membanjiri pasar dan memukul mundur produk-produk dalam negeri.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang