tirto.id - Menjelang Pemilu Presiden 2019 di India pada Mei mendatang, ada Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bakal memberi hak tinggal dan kewarganegaraan bagi para imigran yang datang ke India sebelum 31 Desember 2014 kembali mengemuka. Terbaru, majelis rendah India menyetujui rancangan tersebut yang pertama kali diusulkan pada tahun 2016.
Secara khusus, imigran yang direncanakan bisa mendapat kewarganegaraan India adalah mereka para pemeluk agama Hindu, Sikh, Jain, Budha, Kristen, dan Parsi. Dilansir Reuters, kelompok tersebut mengungsi ke India karena mendapat persekusi dan kekerasan di negara tetangga seperti Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh.
"Mereka tidak punya tempat untuk pergi kecuali ke India," kata Menteri Dalam Negeri Rajnath Singh di hadapan parlemen.
Sejak konflik pembagian India–Pakistan pada 1947 yang diikuti beberapa perang lanjutan termasuk terciptanya negara Bangladesh pada 1971, India menjadi rumah tujuan bagi para pengungsi yang hidupnya terancam seiring dengan konflik, status politik baru, hingga penganiayaan dan diskriminasi kepada minoritas agama.
Sampai Juni 2014, jumlah pengungsi di India mencapai lebih dari dua juta, menurut hitungan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Namun, India juga tidak menandatangani perjanjian hukum yang secara khusus mengatur keberadaan para pengungsi.
Kondisi pengungsi bermacam-macam. Dilansir The New Indian Express, pengungsi asal Afghanistan, misalnya, selama ini tinggal di India dengan mengantongi visa yang harus diperpanjang setiap tahun. Adapun syarat pemberian visa tinggal selama lima tahun adalah adanya dua warga negara India sebagai penjamin.
Meski ada peraturan proses naturalisasi menjadi warga India dimungkinkan setelah warga asing tinggal di sana selama 12 tahun, kenyataannya prosesnya dipersulit saat para pengungsi mengurus berbagai dokumen persyaratan kewarganegaraan.
Imigran Muslim Tak Masuk Hitungan
Adanya RUU yang bakal memberikan kewarganegaraan jelas menjadi angin segar bagi para pengungsi dari kalangan minoritas agama di negara asalnya.
Undang-Undang tersebut nantinya dirancang tidak hanya terbatas pada pengungsi negara bagian Assam saja, tetapi juga di negara bagian lainnya yang dekat dengan wilayah perbatasan negara tetangga, seperti Gujarat, Rajasthan, Delhi, Madhya Pradesh. Nantinya, para pengungsi yang sudah mengantongi surat kewarganegaraan India berdasarkan pemeriksaan dan rekomendasi dari otoritas setempat dapat tinggal di negara bagian manapun di wilayah India.
"Saya pikir niatnya sangat baik dan banyak keluarga yang terkena dampak akan mendapat manfaat," kata Subhimal Bhattacharjee, dari organisasi Jookto yang mengadvokasi para migran di tanah di Assam, kepada kantor berita Asian News International (ANI) di India. "Semua negara ini memiliki hubungan dekat yang erat dengan India, apakah itu Pakistan atau Bangladesh. Orang-orang di sana menghadapi persekusi. Ke mana mereka akan pergi? Mereka pasti akan melihat India."
Sayangnya, rencana pemberian kewarganegaraan bagi para pengungsi berbagai minoritas agama itu tidak berlaku bagi para pengungsi minoritas Muslim.
Persekusi yang dialami minoritas non-Muslim oleh kelompok Islam di Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh juga terjadi pada umat Muslim yang ditindas kelompok Buddha sayap kanan di Myanmar dan Sri Lanka. Ada pula minoritas Muslim Ahmadiyah dan etnis Hazara (umumnya Muslim Syiah) yang dipersekusi di Pakistan dan Afghanistan. Kelompok minoritas Muslim tersebut turut lari mengungsi ke India.
Kasus yang paling mencolok adalah pada 2017 saat pemerintahan Modi berencana mendeportasi 40 ribu orang Rohingya di India meski 18.000 di antaranya terdaftar di PBB. Di tempat asalnya di negara bagian Rakhine Myanmar, orang-orang Rohingya yang mayoritas Muslim dipersekusi. Akibatnya, puluhan ribu orang Rohingya mengungsi ke banyak negara termasuk India salah satunya.
Pemerintah India sangat khawatir pengungsi Rohingya akan dengan mudah direkrut oleh organisasi teroris di India, yang akan berujung pada meningkatnya aksi-aksi serangan teror termasuk di daerah Jammu dan Kashmir di mana separatisme Islam berkecamuk. Ditambah sentimen nasionalis dan retorika anti-Islam yang terus dikipasi juga memicu kebencian terhadap Rohingya.
Dilansir Aljazeera, para kritikus menyebut proposal RUU yang terkandung dalam Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan 2019 dianggap terang-terangan mempertahankan sikap anti-Muslim. Partai nasionalis Hindu yang berkuasa, Partai Bharatiya Janata (BJP), dinilai mencari popularitas dukungan lewat usulan RUU tersebut dalam mendongkrak suara di Pilpres 2019 beberapa bulan ke depan.
Sangkaan bahwa BJP mencari popularitas dengan berjualan sentimen Muslim cocok dengan rekam jejak partai tersebut. Pada pemilu 2009 dan 2014, misalnya, elite BJP di daerah ikut menyebarkan kebencian terhadap pendatang Muslim. Mereka menuduh para pendatang itu gemar menggoda gadis-gadis Hindu untuk dinikahi dan menjadi mualaf.
Menurut Nafees Ahmad, seorang assistant professor urusan International Refugee Law & Human Rights dari South Asian University, aturan RUU yang hanya membatasi hak kewarganegaraan bagi para pengungsi non-Muslim di India sebenarnya melanggar hak atas kesetaraan yang dijamin berdasarkan Pasal 14 Konstitusi India. Dalam pasal tersebut melarang adanya diskriminasi atas dasar ras, agama, kasta, kepercayaan, jenis kelamin, atau tempat lahir.
"Sebagai contoh, India memberikan perlindungan dan bantuan penuh melalui UNHCR kepada orang-orang (non-Muslim) dari Sri Lanka dan Tibet, membantu mereka mendapatkan dokumen dengan berbagai manfaat hukum. Di sisi lain, para pengungsi dari Myanmar, Palestina, dan Somalia jarang ditolong," tulis Ahmad dalam esainya di The Conversation.
Ahmad menilai India lebih membutuhkan undang-undang status pengungsi yang tidak melihat dari latar belakang agama, memastikan semua elemen mendapatkan keamanan yang setara.
Ditolak Penduduk Assam yang Tak Mau Imigran Beragama Apa pun
Masih dari Aljazeera, di negara bagian Assam, RUU itu justru disambut dengan demonstrasi besar-besaran. Para pemrotes di sana marah bukan karena RUU itu mengecualikan Muslim, tetapi karena RUU itu juga akan memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang Hindu yang tidak berdokumen saat gagal membuktikan kewarganegaraan mereka di program Daftar Warga Negara (NRC) yang diterbitkan Juli 2018.
NRC adalah program registrasi dari pemerintah India untuk membuktikan keaslian orang India di Assam. Patokannya adalah bukti bahwa para warga sudah ada di Assam sebelum 24 Maret 1971, ketika negara Bangladesh yang berbatasan langsung dengan Assam mulai berdiri. Proses pendataan NRC dimulai pada 2013. Dalam hasil yang dirilis pada Juli 2018, sebanyak empat juta orang dianggap tidak lolos. Mereka tidak mendapatkan status kewarganegaraan dan sangat rentan dideportasi.
Aturan tersebut sempat dikecam para aktivis lantaran ia hanya menjadi dalih kaum nasionalis Hindu dan kelompok garis keras di Assam untuk menyerang komunitas Bengali di sana yang sebagian besar Muslim. Dilansir The Wire, 135 akademisi dan aktivis India menandatangani petisi mendesak pemerintah memastikan keadilan bagi penduduk Assam yang gagal lolos verifikasi NRC. Mereka juga menentang RUU Amandemen Kewarganegaraan yang dianggap melanggar prinsip kesetaraan konstitusional.
Kembali ke protes di Assam, dalam aksi yang berlangsung pada Selasa (8/1), para demonstran membuat blokade dengan membakar ban dan merusak dua kantor BJP, mengganggu lalu lintas dan jalannya aktivitas perekonomian dari pagi hingga sore. Mereka juga membakar patung Perdana Menteri Narendra Modi yang berasal dari BJP.
Pemimpin Serikat Seluruh Mahasiswa Assam, Samujjal Bhattacharya mengatakan, pemberian hak tinggal dan kewarganegaraan untuk imigran yang tidak berdokumen dari Bangladesh di mana Assam berbatasan langsung dengan negara tersebut dinilai akan mengancam kehidupan masyarakat lokal.
"Kami sudah memiliki banyak sekali migran Muslim dari Bangladesh yang memasuki Assam secara ilegal selama bertahun-tahun. Sekarang, pemerintah berusaha membuat undang-undang yang berusaha memberikan kewarganegaraan kepada umat Hindu dari Bangladesh. Kami ingin semua migran ilegal terdeteksi dan dideportasi, terlepas dari agama mereka," kata Bhattacharya.
Penolakan juga datang dari partai lokal di Assam. Partai Assam People (AGP) memilih mundur berkoalisi BJP sebagai bentuk protes atas RUU Kewarganegaraan yang baru.
"Kami selalu menentang masuk dan hadirnya migran ilegal dari Bangladesh. Partai kami dibentuk pada tahun 1985 dengan janji untuk membebaskan Assam dari para migran ilegal dari Bangladesh," kata presiden AGP Atul Bora. "Karena itu, kita tidak bisa tetap menjadi sekutu BJP setelah langkah pemerintah Modi ini."
Editor: Maulida Sri Handayani