Menuju konten utama

ICW Pesimistis Perjanjian MLA Perkuat Pemberantasan Korupsi

ICW meragukan perjanjian MLA antara Indonesia dengan Swiss serta sejumlah negara lain efektif meningkatkan pengembalian aset negara dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan pajak.

ICW Pesimistis Perjanjian MLA Perkuat Pemberantasan Korupsi
Ketua The Wahid Foundation Yenny Wahid bersama Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi dan Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menjadi pembicara dalam diskusi Tren Presepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi dan Intoleransi di Jakarta, Senin (24/9/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Pemerintah Indonesia dan Swiss sudah menandatangani perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA) pada 4 Februari lalu. Salah satu kesepakatan di perjanjian itu tentang pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Selain dengan Swiss, selama ini pemerintah RI sudah meneken perjanjian MLA dengan Asean, Korsel Australia, Hong Kong, Cina India, Vietnam, UEA, dan Iran.

Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai perjanjian itu tidak akan berdampak signifikan jika aparat hukum masih belum mengedepankan pengembalian aset atau asset recovery dalam menindak kejahatan korupsi maupun perpajakan.

"Apa guna perjanjian MLA kalau prasyarat kita sendiri [Indonesia] enggak punya," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam konferensi pers di kantor lembaganya, Jakarta, Kamis (14/2/2019).

Adnan mengatakan, sejak awal reformasi hingga saat ini, aparat penegak hukum Indonesia belum menunjukkan keseriusan dalam menerapkan asset recovery dalam penindakan pidana.

Dia mencontohkan kasus transfer uang Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) pada 2000an. Kala itu, Tommy menransfer uang Rp400 miliar ke Inggris. Aparat pemantau transaksi keuangan di Inggris melaporkan ke otoritas Indonesia bahwa transaksi itu diduga tidak wajar dan berbau pencucian uang. Namun, kejaksaan RI saat itu tidak pro-aktif untuk mengusutnya.

Sementara saat ini, Adnan mencatat penindakan perkara yang memakai pendekatan asset recovery juga belum banyak. Berdasar data tren penanganan korupsi tahun 2018, ada 454 kasus rasuah yang ditangani oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Namun, cuma 7 kasus yang dijerat dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Satu kasus ditangani kejaksaan, dan enam lainnya oleh KPK.

Menurut data yang sama, KPK tercatat menangkap 28 kepala daerah pada 2018. Baru 17 persen dari 28 kepala daerah itu dijerat dengan pasal gratifikasi serta cuma 3 persen ditindak dengan UU TPPU.

"KPK belum memasukkan strategi pemberantasan korupsi yang efektif. Padahal, kepala daerah adalah pejabat publik yang ketika punya kekuasaan potensi penyimpangannya juga besar," kata Adnan.

Nilai kerugian negara yang diselamatkan juga masih minim. Dalam data kajian korupsi 2017, total nilai kerugian negara mencapai Rp29,4 triliun, tapi pengembalian ke nehara hanya Rp1,5 triliun. "Itu saja belum termasuk biaya kerja aparat penegak hukumnya," kata Adnan.

Oleh karena itu, Adnan berpendapat pemerintah perlu mendorong penegakan hukum di pemberantasan korupsi berubah ke pemiskinan koruptor. Implementasi perjanjian MLA, kata dia, adalah salah satu instrumen untuk memiskinkan koruptor.

"Jadi kalau mengaitkan dengan data ini [penindakan korupsi], jelas kita [Indonesia] keropos di dalam. Yang di dalam negeri saja, mengejar aset tidak dilakukan, apalagi mengejar ke luar negeri," ujar dia.

Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter meneken perjanjian MLA di Bernerhof Bern, Swiss, 4 Februari 2019. Perjanjian ini akan digunakan untuk memerangi kejahatan perpajakan. Selain itu, karena menganut prinsip retroaktif, penerapannya bisa menjangkau tindak pidana sebelum perjanjian diteken, sepanjang putusan pengadilan belum dilaksanakan.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom