Menuju konten utama

KPK dan Aktivis Nilai MLA Memudahkan Berantas Korupsi

Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indonesia-Swiss diharapkan mempermudah pemberantasan korupsi yang melibatkan aset di luar negeri.

KPK dan Aktivis Nilai MLA Memudahkan Berantas Korupsi
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kiri) bersama Menkumham Yasonna Laoly (kanan) menjadi pembicara dalam diskusi publik antikorupsi di gedung penunjang KPK, Jakarta, Selasa (27/11/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Pemerintah Indonesia diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance (MLA) antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss di Bernerhof Bern pada Senin (4/2/2019).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung upaya kerja sama pemerintah Indonesia dengan Swiss terkait MLA (Mutual Legal Assistance). Perjanjian itu diharapkan mempermudah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Kami berharap ketika ada perjanjian yang mengikat antara satu negara dengan negara lain dalam hal ini Indonesia dan Swiss maka kami berharap ruang gerak para pelaku kejahatan menjadi lebih sempit," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Febri berharap, para pelaku tidak bisa lagi melakukan kejahatan dan menyembunyikan hasil kejahatannya di negara-negara tertentu yang mungkin sebelumnya dianggap sebagai negara yang aman atau lokasi yang aman.

Perjanjian ini menambah sederet perjanjian internasional dan juga konvensi internasional yang bisa digunakan untuk mengejar pelaku korupsi di berbagai negara. Hal ini sangat berguna dalam pemberantasan korupsi.

"KPK sudah beberapa kali menangani kasus korupsi dengan memanfaatkan kerja sama internasional ini baik yang didasari oleh kerja sama bilateral seperti MLA ini untuk negara lain atau kerja sama multilateral," kata Febri.

Febri menyebut beberapa kasus yang pernah melibatkan negara asing seperti kasus Innospec, kasus Alstom, kasus KTP elektronik di Malaysia dan dugaan suap mantan direktur utama Garuda.

Sementara itu, peneliti ICW Lalola Easter, berkata senada. Menurut dia, penandatanganan akan bisa menarik aset-aset pidana yang tersimpan di Swiss.

"Selama ini kita masih kesulitan menarik aset-aset yang diduga berasal dari kejahatan dilakukan oleh subjek hukum Indonesia tapi disimpan di luar negeri, salah satunya di Swiss," kata Lola saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (6/2/2019).

Lola mencontohkan kasus korupsi di era Orde Baru. Kala itu, salah satu lembaga aset recovery milik PBB (Stolen Asset Recovery Initiative/STAR) menyebut ada sejumlah aset hasil korupsi Orde Baru di Swiss.

"Terlepas dari berapa besarnya saya nggak tahu persisnya berapa besarnya tapi cukup besar rasanya tapi cukup besar rasanya dan itu akan menjadi signifikan sekali kalau misalnya itu nanti ditarik ke Indonesia dan masuk dalam penerimaan negara," kata Lola.

Menurut Lola, Indonesia sudah kesulitan dalam mengambil hasil korupsi Orde Baru karena permasalahan pertanggungjawaban pidana. Kini, kata Lola, MLA telah membuka pendekatan hukum lain yang bisa mengembalikan dugaan kerugian negara.

Meskipun menyambut positif, Lola tetap menyayangkan sikap pemerintah yang lama merealisasikan MLA dengan Swiss.

Ia juga menilai, Indonesia sudah punya regulasi untuk penerapan MLA beberapa tahun lalu. Seharusnya, pemerintah bisa menerapkak pada saat regulasi MLA terbit.

"Memang cukup disayangkan mengapa memakan waktu selama itu. Karena Indonesia sendiri untuk undang-undang MLA itu sudah ada dari tahun 2006 atau 2008 jadi sudah cukup lama. Dan kalau memang itu termasuk dalam prioritas pemerintah sepatutnya dilakukan lebih cepat tetapi bagaimana pun langkah yang sudah diambil ini patut diapresiasi," kata Lola.

Baca juga artikel terkait AKTIVIS ANTIKORUPSI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali