Menuju konten utama

ICJR Menyesalkan Sikap MA yang Tolak Kasasi Meiliana

Meiliana dijerat dengan pasal penodaan agama karena mengeluhkan volume pengeras suara masjid kepada tetangganya. 

ICJR Menyesalkan Sikap MA yang Tolak Kasasi Meiliana
Meliana terisak saat sidang pembacaan putusan di Medan, Sumatra Utara. Meiliana divonis 18 bulan dengan dakwaan penodaan agama. AP/Binsar Bakkara

tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyesalkan sikap Mahkamah Agung (MA) yang menolak upaya hukum kasasi terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Meiliana. Dengan demikian, Meiliana tetap dijatuhi hukuman 18 bulan penjara.

Menurut ICJR, seharusnya Majelis Hakim mampu menggali kesalahan penerapan hukum dalam persidangan di tingkat pengadilan negeri dan di tingkat banding. Menurut mereka, penolakan kasasi ini adalah preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama.

Dalam kasus ini, Meiliana dijerat dengan pasal terkait dengan penodaan agama karena mengeluhkan kepada tetangga terkait volume pengeras suara masjid di kawasan kediamannya.

Namun, keluhan itu dilaporkan ke polisi pada 2 Desember 2016 dan diproses secara pidana. Perkara ini kemudian diperiksa oleh Pengadilan Negeri Medan dan menjatuhkan putusan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan kepada Meiliana.

Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Medan pada 25 Oktober 2018 lalu. Majelis hakim menilai Meiliana terbukti telah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam Pasal 156a huruf a KUHPidana.

“Dalam perkara banding, ICJR telah menyampaikan pendapat hukum lewat dokumen amicus curiae yang menggambarkan beberapa fakta persidangan yang seharusnya tidak memenuhi standar hukum acara pidana, ICJR juga mencermati kesalahan penerapan hukum dalam pemeriksaan di tingkat pengadilan negeri,” kata lembaga ini dikutip melalui situs resminya.

ICJR mengatakan, pada awal pemeriksaan, keluhan Meiliana ini hanya bertujuan agar volume pengeras suara di masjid ini dikecilkan. Tapi, keluhan ini tidak dilakukan di muka publik, namun hanya ke salah satu saksi.

“Harusnya MA melihat bahwa baik Majelis Hakim PN maupun Majelis Hakim PT sama sekali tidak membuktikan unsur dengan sengaja tersebut berdasarkan penerapan hukum yang tepat,” ungkap ICJR.

Hal lainnya, kata ICJR, adalah terjadi kesalahan penerapan hukum terkait dengan alat bukti, salah satu alat bukti yang digunakan untuk membuktikan unsur “penodaan agama” adalah Fatwa MUI.

Menurut ICJR, kedudukan Fatwa MUI dalam pembuktian kasus pidana tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori dari alat bukti tersebut.

Sebab, kata ICJR, Fatwa MUI hanya bersifat mengikat bagi kelompok orang tertentu, dan bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat sebagaimana yang dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang ada pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Seharusnya MA mampu melihat bahwa dalam kasus ini terdapat kesalahan penerapan hukum terkait dengan pembuktian,” ucap ICJR.

Selain itu, ICJR menilai, semua saksi yang memberikan keterangan tidak dapat memenuhi standar hukum acara pidana, karena keterangan yang diberikan bukan berdasarkan apa yang didengar sendiri, dilihat sendiri dan dialami sendiri.

“Sehingga, saksi-saksi yang dihadir sama sekali tidak dapat dijadikan dasar bagi hakim sebagai petunjuk untuk membuktikan unsur dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan,” kata ICJR.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI

tirto.id - Hukum
Sumber: Siaran Pers
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Addi M Idhom