tirto.id - Pada zaman Hindia Belanda, banyak orang bumiputera yang duduk sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), semacam parlemen di masa itu. Dari 55 kursi Volksraad, 25 di antaranya diisi orang Indonesia.
Karena Volksraad dianggap tidak memuaskan anggota pribumi macam Soetardjo dan Husni Thamrin, diajukanlah sebuah petisi yang menuntut "Indonesia berparlemen". Maksudnya agar Indonesia punya parlemen yang sejati, bukan seperti Volksraad yang cuma jadi "tukang stempel".
Petisi ini dikenal dengan nama "Petisi Soetardjo" dan tentu saja ditolak. Haram hukumnya pemerintah kolonial memberi hak berpolitik lebih pada warga koloni pribumi, yang bangga menyebut diri Indonesia itu.
Baca juga: Semaoen: "Dewan Rakyat Cuma Komedi Omong Kosong"
Mengurusi Banjir hingga Lapangan Sepakbola
Ketika anggota Volksraad pertama dilantik pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum, Mat Seni alias Husni Thamrin baru berusia 24 tahun. Ketika itu, dia belum jadi anggota dewan. Thamrin masih bekerja di perusahaan pelayaran Belanda KPM. Dia termasuk kalangan pemuda terpelajar karena pernah belajar tiga tahun di Gymastik KW III yang elit di zamannya.
Baca juga: Alumni Sekolah KW III
Sejak 1915, Mat Seni sudah sering berdiskusi dengan Daan van der Zee, sekretaris Gemeenteraad (Dewan Kota) yang membantu Thamrin memperoleh dukungan untuk jadi anggota dewan. Salah satu topik mereka adalah pembangunan kanal banjir untuk mengantisipasi air bah yang biasa merendam Jakarta tiap musim hujan.
Thamrin dan warga Jakarta lainnya memang punya pengalaman buruk soal banjir. Pada 19 Februari 1918, tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta Dari Masa Ke Masa (2010), banjir hampir merendam seluruh kota. Kampung-kampung yang kena rendam antara lain Prinsenlaan, Tanah Tinggi, Pejambon, Grorol, Kebun Jeruk, Tambora, Suteng, Klentengkepuran, Kampung Tangki, Pekojan, Jacatra, dan lainnya. Tinggi air mencapai dada orang dewasa.
Baca juga:
Setelah banjir pergi, wabah kolera menjangkiti warga kampung. Setiap harinya rumah sakit selalu didatangi penderita kolera sekitar 6 sampai 8 orang. Belajar dari banjir ini, Thamrin yang merupakan anggota menuntut perbaikan kampung.
Berkat pengaruh van der Zee, Thamrin akhirnya berhasil masuk menjadi anggota Dewan Kota. Sidang Dewan Kota tanggal 17 Oktober 1919 adalah sidang pertamanya. Usianya baru 25 tahun ketika itu, sehingga ia menjadi anggota termuda. Meski telah menjabat anggota dewan, dia masih bekerja di KPM. Dia baru keluar dari KPM pada September 1925, ketika sudah jadi pejabat kota Jakarta.
Sebagai anggota Dewan Kota Jakarta, dirinya begitu peduli pada permasalahan orang pribumi. Program perbaikan perkampungan orang-orang pribumi di kota Jakarta adalah bagian dari perjuangannya. Dia melihat kesenjangan antara kampung-kampung orang pribumi dengan jalan raya besar dan bangunan-bangunan pemerintahan yang megah. Bangunan-bangunan itu adalah simbol kota Jakarta, yang kala itu disebut Batavia.
"Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, dihiasi dengan villa yang luas dengan jalan lebar, sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga," kata Thamrin.
Baca juga: Siapakah Pribumi Asli Jakarta?
Dalam sebuah sidang, Thamrin memperingatkan pemerintah kotapraja Jakarta soal ratusan ribu orang kampung yang hidup di lingkungan yang jorok. Sanitasi dan masalah sampah mereka tak terurus. Untuk itu, Thamrin mengusulkan penganggaran dana dari pemerintah kota hingga 100.000 Gulden untuk perbaikan kebersihan kampung dengan mempekerjakan seratus kuli. Kuli-kuli itu nantinya akan bergerak dari kampung ke kampung untuk mengeruk saluran air yang sudah ada.
Usul itu didukung Schotman, Marle, dan anggota dewan pribumi. Sayangnya, Walikota Jakarta A. Meyroos begitu perhitungan. Karena melihat kecilnya pajak yang diperoleh dari pribumi yang tinggal di kampung, Meyroos menolak menyisihkan anggaran yang diajukan.
Meyroos berkeras hanya menganggarkan dana sebesar 30.000 gulden untuk kepentingan pribumi. Menurut Meyroos, program pembersihan kampung cuma menghabiskan dana saja. Setelah bersih, keadaannya akan kembali seperti semula.
Rasa pedulinya pada masyarakat kampung juga ditunjukkan Thamrin dengan menyediakan ruang terbuka hijau. Thamrin, menurut Alwi Shihab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006), mengeluarkan banyak uang untuk membuat lapangan Sepakbola di Petojo pada April 1930.
Lapangan ini digunakan oleh Voetbalbond Indonesisch Jakarta (VIJ) yang berdiri sejak 1928 dan belakangan menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta (Persija). Di lapangan ini, VIJ dan PSSI pernah bertanding. Sukarno yang baru bebas dari penjara Sukamiskin diminta melakukan tendangan kehormatan.
Anggota Volksraad yang Anti-Pemerintah
Pada 16 Mei 1927, Thamrin dilantik menjadi anggota Dewan Rakyat, setelah bertahun-tahun jadi anggota Dewan Kota. Dengan jabatan ini, Thamrin tak hanya mengurus Jakarta, apa yang diperjuangkannya jadi lebih luas.
Anggota Dewan Rakyat bisa hidup enak dan berkecukupan dari gaji mereka. Namun, Thamrin dan beberapa anggota pribumi berusaha dengan serius untuk menghapus aturan yang merugikan orang Indonesia dan berusaha membuat gebrakan bagi perbaikan nasib mereka, meski tidak mudah.
Prestasi besar Thamrin dan koleganya untuk kebaikan orang pribumi salah satunya adalah penghapusan Poenale Sanctie, sebuah ordonansi (undang-undang) mengenai kuli yang muncul pada 1880 dan diperbarui pada 1889. Dalam ordonansi ini, pemerintah kolonial memberikan wewenang kepada perusahaan perkebunan untuk memberi hukuman pada kuli yang melanggar kontrak. Jika seorang kuli dianggap melanggar kontrak atau malas bekerja, yang bersangkutan boleh diberi hukuman tanpa melalui proses peradilan.
Baca juga: Cerita Lama dari Para Kuli Tionghoa
Thamrin tak hanya bekerja di balik meja. Bersama Koesoemo Oetojo, ia turun langsung mengunjungi para kuli di Sumatera Timur yang kaya akan tembakau Deli. Lalu ke Sawahlunto, yang merupakan daerah penghasil batubara di Sumatera Barat.
Pada 27 Januari 1930, Thamrin menyampaikan hasil perjalanannya. Soal Poenale Sanctie yang kejam itu tak hanya dipermasalahkan oleh Thamrin atau Koesoemo Oetojo di Volksraad, tetapi juga di luar negeri. Di Eropa dan Amerika muncul ancaman boikot terhadap tembakau-tembakau dari Deli. Tekanan luar negeri inilah yang berhasil menekan pemerintah kolonial, yang takut tembakaunya tak terjual dan tidak ada pemasukan pajak lagi dari tembakau.
Kemenangan Thamrin yang lain adalah menggagalkan Ordonansi Sekolah Liar yang dikeluarkan pada 27 September 1933. Akibat ordonansi tersebut, sekolah-sekolah swasta macam Taman Siswa milik Ki Hajar Dewantara terancam karena dianggap bisa mengganggu ketenteraman dan ketertiban (rust en orde).
Bagi Thamrin, sekolah swasta dan para gurunya itu tidaklah berbahaya. Bersama tokoh-tokoh pergerakan lain seperti Sam Ratulangi, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya, Husni Thamrin berusaha melawan. Tanpa sekolah-sekolah swasta tersebut, anak-anak pribumi menjadi makin sulit mendapat akses pendidikan dan nasionalisme tak bisa diwarisi melalui sekolah-sekolah tersebut. Pada 1 April 1934, berkat usaha Thamrin dan kawan-kawan, ordonansi itu akhirnya dicabut.
Baca juga: Ketika Para Guru Berserikat dan Bergerak
Tak selamanya Husni Thamrin menang. Dalam Petisi Soetardjo 1935, Thamrin dan para pengaju petisi tersebut dikalahkan. Di akhir hidupnya, Thamrin dianggap semakin keras pada pemerintah kolonial. Dia dicurigai dekat dengan Jepang, yang sudah menabur mata-mata di Indonesia.
Dalam buku yang ditulis Bob Hering, Mohammad Hoesni Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia (2003), Thamrin sering menyebut "Djintan", akronim dari "Djepang Itu Nanti Taklukkan Antero Nederland. Maksudnya, Jepang akan segera menguasai Hindia Belanda.
Baca juga: Pada Tanggal Inilah Batavia Menjadi Jakarta
Gara-gara akronim itu, dia diawasi polisi rahasia Belanda. Thamrin bahkan dikenakan tahanan rumah hingga meninggal mendadak pada 11 Januari 1941, tepat hari ini 77 tahun silam. Ia kemudian dimakamkan di Karet.
Berselang satu tahun setelah Thamrin meninggal, ramalannya soal Djintan benar-benar terjadi. Belanda menyerah kalah kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang. Sesudah Jepang kalah, kawan-kawan perjuangan Thamrin seperti Sukarno, Ki Hajar Dewantara, dan Ratulangi mendirikan Republik Indonesia.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan