Menuju konten utama

Alumni Sekolah KW III

Sekolah Kolonial ini diniatkan Kerajaan Belanda untuk menghasilkan abdi-abdi kolonial. Namun, banyak di antara mereka justru mendukung Republik Indonesia.

Alumni Sekolah KW III
Gedung tertua di Jakarta yang terletak di Perpustakaan Nasional, Jakarta Timur. Pada tahun 1910-1932, gedung tersebut dipakai sebagai Gedung sekolah Raja William III HBS. [TIRTO/Andrey Gromico]

tirto.id - Komplek Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) atau Perpusnas di Jalan Salemba, Jakarta, dulunya merupakan gedung sekolah elit zaman kolonial, HBS KW III atau Kawedrie. Jauh sebelum politik etis yang bergulir di pergantian abad XX, sekolah ini sudah puluhan tahun berjalan.

Sekolah HBS lebih diprioritaskan untuk anak-anak dari orang-orang Belanda atau golongan elit, termasuk elit pribumi juga. Golongan elit pribumi yang masuk di sekolah ini pun biasanya anak pembesar, atau punya hubungan dengan pembesar pribumi tersebut. Di antara segelintir elit-elit pribumi ini adalah orang-orang yang ingin menaikkan derajat bangsa pribumi yang di zaman kolonial Hindia Belanda disebut Inlander.

Sekolah Bapak Bangsa

Mohammad Husni Thamrin merupakan salah satu siswa HBS. Tiga tahun ia mengenyam pendidikan di sekolah tersebut. Pahlawan berdarah seperempat Inggris ini, adalah anak Wedana Betawi bernama Thabrie. Seperti tertulis dalam biografi Husni Thamrin, Mohammad Hoesni Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia (2003), lepas dari Kawedrie ini, dia bekerja di perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Ia akhirnya terpilih menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) lalu Volksraad (Dewan Rakyat) di Betawi. Thamrin dikenal sebagai politisi yang banyak membela kepentingan pribumi dengan mengajukan perbaikan kampung dan pengadaan ruang terbuka seperti lapangan.

Sebelum meninggal dunia dan kalahnya Hindia Belanda pada Jepang, Thamrin dikenal dekat dengan Jepang. Ini mengakibatkan ia kemudian dikenai tahanan rumah. Thamrin tak jauh beda garis perjuangannya dengan kakak kelas jauh di atasnya, seorang Indo Belanda bernama Ernest François Eugène Douwes Dekker. Ernest yang belakangan dikenal sebagai Danudirja Setiabudi itu dibuang ke Suriname oleh Belanda karena dekat dengan Jepang. Sosok Douwes Dekker dikenal antikolonialis yang mendirikan sekolah Ksatriaan Institut dan pendiri partai pertama yang menghimpun semua etnis Indonesia dalam Indische Partij.

Tak hanya Thamrin dan Dekker saja tokoh pergerakan yang merasakan bangku sekolah ini. Masih ada Johannes Latuharhary, praktisi hukum zaman kolonial berdarah Ambon yang terjun ke dunia pergerakan. Dia adalah Gubernur Pertama Maluku. Namanya kini menjadi nama jalan di tepi sungai kawasan elit Menteng, Jakarta. Menantu Latuharhary, Josef Muskita pun juga pernah bersekolah di sini hingga kelas V. Namun, pendidikannya sempat terganggu karena perang.

Lalu ada Agus Salim, yang merupakan lulusan terbaik di angkatannya di tahun 1903. Kartini bahkan menghibahkan beasiswa untuk sekolah ke Negeri Belanda kepada Salim, karena Kartini dalam pingitan. Harapannya agar pemuda Minang itu bisa jadi sarjana. Salim menolak, dia memilih bekerja di perusahaan swasta sebentar lalu di Konsulat Belanda di Jeddah. Setelah naik haji, Salim kembali ke Indonesia. Dia pun dikenal sebagai Haji Agus Salim dan makin terpandang.

Dari angkatan yang lebih tua dari Salim adalah Achmad Djajadiningrat. Anak Bangsawan Banten itu, memakai nama Willem agar terkesan Belanda ketika bersekolah sekitar tahun 1880an. Di masa itu, orang-orang Belanda di Nusantara sering merendahkan orang-orang Indonesia. Setelah selesai dari sekolah ini Achmad menjadi pegawai kolonial. Jabatan yang pernah diduduki adalah Asisten Wedana di Bojonegoro, Bupati Serang lalu Bupati Betawi. Ketika menjadi Bupati usianya baru 20an tahun. Setelah jadi Bupati, Achmad juga anggota Volksraad.

Selain Achmad, jelang kalahnya Hindia Belanda oleh Jepang ada siswa putri dengan nama belakang Djajadiningrat juga. Nampaknya, Tira Djajadiningrat dan mereka yang yang duduk di kelas V pada 1941 tidak bisa ujian akhir di HBS KW III. Mereka banyak yang meneruskan ke Sekolah Menengah Tinggi (semacam SMA).

Latuharhary, Salim, Dekker dan Thamrin merupakan nama-nama besar dalam pergerakan nasional dari sekolah kolonial. Selain mereka masih orang-orang yang lebih muda lagi dari mereka berempat yang ikut berjuang di tahun 1945. Kesaksian dan pengakuan para alumni yang terlibat dalam revolusi itu terdokumentasi dalam buku Aku Ingat: Rasa dan Tindak Siswa Sekolah Kolonial di Awal Merdeka Bangsa (1995). Dua di antaranya adalah putri dari tokoh nasionalis Sam Ratulangie, Emilia Agustina Ratulangie yang dipanggil Zus Ratulangie yang aktif dalam Palang Merah dan Milly Ratulangie salah satu sahabat Wolter Mangisidi yang sering berkirim surat jelang eksekusi Mongisidi.

Ada di antara mantan Kawedrie yang punya darah Indo-Belanda, memilih hidup dan menjadi orang Indonesia. Jules Rudy Koot, pemuda kelahiran Tanjung Redep, Kalimantan Timur yang lulus dari Kawedrie sebetulnya pernah jadi mahasiswa kedokteran. Belakangan, ia jadi wartawan dan politisi di Partai Kristen Indonesia.

Setelah Perang Kemerdekaan, banyak mantan-mantan siswa Kawedrie yang ikut berjuang dengan caranya masing-masing. Di antara mereka ada yang menjadi dokter, pengajar, pejabat departemen, diplomat, pimpinan perusahaan, gubernur juga menteri.

Ada Sainan Sagiman yang menjadi Gubernur Sumatera Selatan seperti pendahulunya Latuharhary yang lebih dulu jadi Gubernur Maluku. Selain Harun Zain yang jadi Menteri Transmigrasi, sebelumnya ada Douwes Dekker pernah jadi Menteri Negara di masa kabinet Syahrir dan Haji Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri di era kabinet Syahrir juga.

Kawedrie Sekolah Raja

Berdasar Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 11 tanggal 5 Juni 1859, sebuah komisi pendirian sekolah bernama Collegie van Curatoren van het Gymnasium Willem III dibentuk. Seperti dikutip dalam Java Bode edisi 25 Juni 1859, Mr. A. Prins diangkat sebagai Ketua Kehormatan dan para Kurator adalah T. Ament, Dr. P. Bleeker, G. F. de Bruijn Kops, J. W. C. Diepenheim, Jhr. Mr. F. Junius van Hemert, C. F. W. Wiggers van Kerchem, Mr. T. H. der Kinderen, Mr. W. Rappard, G. Suermondt, G. H. Uhlenbeck, F. van Vollenhoven, N. H. Whitton.

Komisi itu mengusulkan pada pemerintah untuk membeli lahan milik Pierre Jean Baptiste de Perez untuk menjadi areal sekolah. Seperti dikutip Leydse Courant 19 Oktober 1860, seleksi siswa diadakan pada 13 September 1860, dari 45 calon hanya 37 calon saja yang diterima. Sekolah yang semula bernama Gymnasium Koningen Willem III, merupakan sekolah menengah. Willem III sendiri adalah gelar raja Belanda yang berkuasa ketika sekolah ini berdiri. Sekolah ini lalu berkembang menjadi Hogare Burger School (HBS), sebuah sekolah menengah lima tahun. Sekolah ini pernah dikenal sebagai HBS KW III atau Kawedrie.

Sekolah ini, menurut Claudine Salmon dalam Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (1985), disebut juga sebagai Sekolah Raja. Istilah Sekolah Raja, juga jadi sebutan untuk kweekschool (sekolah guru) Bukittinggi atau Hoofden School (sekolah kepala) di Tondano. Sebutan ini diduga mengacu asal murid-murid yang biasanya merupakan anak kepala masyarakat atau elit pribumi.

Meski HBS idealnya ditempuh 5 tahun, tapi tak semua siswa di sekolah itu menempuh pendidikan 5 tahun, ada juga yang hanya 3 tahun. Mereka yang selesai tiga tahun itu, bisa menjadi pegawai kolonial, perwira militer atau melanjutkan ke sekolah teknik di Delft Negeri Belanda.

Nasib sekolah ini selesai setelah datangnya balatentara Jepang ke Indonesia. Setelahnya tak ada lagi sekolah di sini. Bangunannya pernah jadi markas militer Batalyon Kala Hitam Siliwangi, sebelum akhirnya menjadi gedung milik PNRI. Fungsinya serba guna. Senin hingga Kamis bisa jadi tempat bedah buku atau seminar. Jumat bisa jadi tempat Salat Jumat. Sabtu dan minggu nyaris selalu jadi lokasi kondangan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti