Menuju konten utama

Hoaks Bekerja dengan Mengeksploitasi Kepedulian Kita

Korban perdana hoaks umumnya adalah mereka yang berbeda. Seringnya, yang berbeda dan tak sanggup menimpali balik hoaks adalah kelompok minoritas.

Hoaks Bekerja dengan Mengeksploitasi Kepedulian Kita
Avatar Geger Riyanto

tirto.id - Nyaris seabad silam, tepatnya pada 1919, Belanda menaklukkan wilayah-wilayah pedalaman Pulau Seram, Maluku. Sejak itu, orang-orang pedalaman harus tunduk di bawah hukum Belanda dan dikunjungi patroli polisi sewaktu-waktu. Mereka harus membayar pajak, divaksinasi, dan disensus. Sejak saat itu pula, tradisi pengambilan kepala praktis berhenti.

Tradisi pengambilan kepala dilakoni oleh berbagai suku gunung di Seram yang diklasifikasikan Belanda sebagai Alifuru. Pengambilan kepala, di antara suku Huaulu, misalkan, adalah pembuktian keunggulan sukunya atas suku lainnya dan dilakukan untuk inisiasi kedewasaan atau peresmian rumah adat. Kepala yang diambil dari suku lain ini akan ditancapkan di tengah kerumunan orang yang membawakan tarian Kahua untuk merayakan peristiwa penting.

Cerita-cerita tentang para pengambil kepala dari pedalaman Seram tidak pernah berhenti berseliweran sampai hari ini.

Ketika mengunjungi Pulau Seram baru-baru ini, saya bahkan menjumpainya bermutasi dengan cara yang tak terduga. Pengambil kepala, demikian menurut desas-desus yang beredar, tengah mengincar anak-anak yang pulang sekolah dari ibu kota. Berulang kali, katanya, anak-anak yang melewati jalan lintas desa dicegat orang misterius. Warga curiga, sosok misterius ini adalah pengambil kepala.

Buat apa mereka beraksi sekarang?

“Mereka mau menjual organ anak-anak di Cina sana,” ujar seorang warga.

“Bagaimana bisa makalua [pengambil kepala] menjual organ di Cina?” tanya saya dengan niat menunjukkan keganjilan pada penjelasannya.

“Mereka bertransaksi di Singapura. Saya tahu itu,” balas sang warga.

Pengambil kepala yang canggih memperdagangkan organ? Seperti yang saya bilang, mutasi yang menarik dari cerita lama di pedalaman Indonesia, bukan?

Saya yakin, penjelasan sang warga sangat membingungkan untuk diterima mentah-mentah. Lebih-lebih, jika kita cermati, desas-desus itu berkembang lantaran video tentang perdagangan organ kebetulan tengah marak. Sekonyong-konyong, satu kecurigaan tak berdasar campur aduk dengan kecurigaan tak berdasar lainnya.

Hasilnya? Ledakan desas-desus yang tak karuan tentang pengambil kepala cum wirausahawan organ yang tak ada di dunia nyata.

Saya tak merasa heran. Kasak-kusuk tak berdasar—yang lebih akrab kita sebut hoaks—memang beroperasi dengan modus mengempiskan akal sehat. Ia membangkitkan ketakutan-ketakutan manusiawi kita akan kepunahan dengan menggali mimpi-mimpi terburuk kita. Akibatnya, bukan saja kita akan mengesampingkan akal—setidaknya sementara—tapi kita juga dituntut ikut serta menyebarkan desas-desus sejenis jika masih ingin dianggap insan baik-baik yang peduli sesama.

Ketika memberitahukan kasak-kusuk tersebut ke mahasiswa doktoral senasib seperjuangan, respons yang saya jumpai malah membuat saya merasa miskin empati. Pasalnya, teman saya itu mempercayai cerita tersebut.

Mungkin sudah semestinya saya menghiraukan keresahan warga dan turut waspada, alih-alih berusaha sekadar mencermatinya secara dingin.

Atau, coba amati desas-desus tentang perdagangan organ itu sendiri. Anda, saya kira, pernah mendengar desas-desus ini. Ia, biasanya, dimulai dengan cerita ada seorang anak yang menghilang. Beberapa hari kemudian, sang anak akhirnya ditemukan oleh keluarganya. Namun, sesudah ditemukan, kondisinya tidak wajar. Saat diperiksakan ke dokter, diketahuilah bahwa ginjal sang anak sudah tidak ada.

Desas-desus ini, pada masanya, menyebar tak terkendali. Orang tua percaya dengannya karena hal paling pertama yang terbersit di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah keselamatan anaknya. Mereka menyebarkannya pasalnya para orang tua lain, mereka kira, harus segera mengetahuinya.

Kenyataannya, tak pernah ada laporan anak yang diculik dan dirampas organnya. Yang ada—dan paling deka—cuma klaim: “Anaknya temannya teman saya mengalami itu”. Meski semua punya klaim yang sama, “anaknya temannya teman” itu tetap jadi sosok misterius yang tak pernah bisa terbukti keberadaannya.

Membidik Perbedaan

Tak heran antropolog Ranajit Guha menandaskan bahwa desas-desus punya kemampuan untuk menempa solidaritas.

Bukankah pertempuran 10 November 1945 melawan NICA di Surabaya bermula dari hoaks bahwa Belanda dikabarkan meracuni sumur di kampung-kampung? Tidakkah desas-desus serupa berulang dan menjadi preseden pertempuran era revolusi di kota lain?

Namun, harus disadari juga bahwa solidaritas semacam ini bak pisau bermata ganda. Solidaritas yang dipupuk adalah solidaritas yang membutuhkan korban: mereka yang diproyeksikan sebagai liyan, penjahat, ancaman kepunahan dalam desas-desus bersangkutan.

Desas-desus penculikan membutuhkan sosok penculik imajiner—dan yang dibayangkan sebagai sang penculik adalah orang-orang miskin. Desas-desus pengambil kepala juga, tentu saja, membutuhkan karakter sang pengambil kepala. Pertanyaannya, dalam kekalapan warga, siapa yang dituding sebagai oknum pengambil kepala? Beberapa menuding orang-orang di kampung “Kresten” dekat desa mereka, hanya karena sekali-dua kali warga menjumpai anak-anak kampung sebelah bebas bermain di jalan. (Desa yang saya teliti adalah desa muslim.)

Pola ini akan Anda jumpai pada banyak desas-desus lain. Korban yang paling pertama dibidik adalah mereka yang berbeda. Dan seringnya, mereka yang berbeda dan tak sanggup menimpali balik desas-desus semacam ini adalah kelompok minoritas.

Tak usah heran bila persekusi-persekusi keji dimulai dari hoaks. Apa yang membenarkan genosida dari zaman ke zaman—genosida orang Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Armenia dan Yahudi di paruh pertama abad ke-20, dan orang Rohingya dalam beberapa tahun terakhir—adalah desas-desus seputar minoritas yang tengah mengancam eksistensi mayoritas.

Jadi, masih bisakah kita berbicara tentang hoaks yang membangun? Hoaks yang berfaedah melawan rezim yang menguasai segenap corong informasi?

Mungkin saja. Siapa yang bilang tidak mungkin? Orde Baru membangun negara sepanjang 32 tahun dengan memelihara ketakutan tak beralasan terhadap orang Tionghoa. Joko Widodo merangkul agamawan yang berpengalaman merisak minoritas korban hoaks dari kiri-kanan untuk mengamankan periode keduanya yang, pastinya, akan disemarakkan lagi dengan pendirian infrastruktur.

Akan tetapi, pembangunan semacam itu bukannya pembangunan yang tanpa sajian korban. Barangkali insan yang berbeda akan disembelih dengan hoaks sebelum disembelih dengan kekejaman lainnya.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.