tirto.id - Malang menimpa Akhmad Khotib (45) pada Minggu (4/11/2018). Sejumlah warga Kalibaru, Cilodong, Depok, mencurigai gerak-geriknya, lalu menangkap Akhmad, menginterogasi, dan akhirnya menuduhnya sebagai penculik anak. Massa menghajar Akhmad hingga babak belur sebelum akhirnya menyerahkannya pihak kepolisian.
Akun @depok24jam mengutip pemberitaan media yang menyebutkan bahwa tuduhan itu sebenarnya bohong belaka. Tim penyidik kepolisian melakukan langkah pemeriksaan terhadap Akhmad, terutama pada barang bawaan yang dicurigai massa sebagai anak.
“Ternyata seekor kucing,” kata Kapolresta Depok Komisaris Besar Didik Sugiyarto.
Penyelidikan lanjutan menyatakan tidak ada peristiwa penculikan dan tidak ada warga yang merasa anggota keluarganya telah diculik. Kasus Akhmad murni karena massa pelaku kekerasan terpicu oleh isu penculikan anak yang berkembang akhir-akhir ini.
Didik menghimbau masyarakat agar lebih bijak menyikapi informasi yang beredar di media sosial. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Setyo Wasisto juga berkata hal yang sama saat mengumumkan bahwa pihaknya telah menangkap 11 tersangka penyebar hoaks penculikan anak, Selasa (6/11/2018).
Sebagaimana dilaporkan Antara, merujuk pada hasil penyelidikan sementara, ke-11 tersangka awalnya menyebarkan informasi palsu agar masyarakat lebih waspada.
“Iseng-iseng untuk mengingatkan teman dan saudara,” kata Setyo. Tapi Setyo mengatakan postingan tersangka justru menimbulkan keresahan, sehingga mereka terancam pidana.
Tersangka mengunggah gambar, video, maupun tulisan dengan konten penculikan anak di Pasuruan (Jawa Timur), Terminal Sukaraja di Sentul (Jawa Barat), dan di Ciputat (Tangerang) melalui akun Facebook masing-masing. Seluruhnya hoaks belaka, dan Setyo belum menemukan motif politik di baliknya.
Di Kendal, Jawa Tengah, seorang pria juga tewas diamuk massa akibat dituduh sebagai penculik anak. Radar Pekalongan melaporkan korban bernama Ahmad Fauzi Muslih (28) asal Dukuh Kenayan, Desa Karanganom, Kecamatan Weleri.
Korban dikeroyok sekelompok warga dari Dukuh Sinom, juga masuk di wilayah Desa Karanganom, pada Kamis (1/11/2018) sore karena termakan hoaks. Korban saat itu sedang melintas di Dukuh Sinom, dicurigai, lalu diamankan untuk kemudian dibawa ke rumah kepala RT.
Tapi saat itu rumah kepala RT sedang kosong. Korban berusaha kabur dan membuat warga makin tersulut emosi. Seorang pelaku menghantam tengkuk korban dengan sebatang bambu hingga tersungkur, lalu dikeroyok beramai-ramai oleh beberapa tersangka lain.
Korban pulang dalam kondisi memar-memar dan penuh luka sobek. Keluarga membawanya ke Rumah Sakit Islam Weleri untuk menjalani rawat jalan. Tapi keesokan harinya kondisi korban terus memburuk, dan akhirnya meninggal dunia.
Pihak keluarga kemudian melapor ke pihak kepolisian. Usai penyelidikan, tiga orang tersangka diamankan. Aparat setempat menyatakan kemungkinan tersangka bisa bertambah, mengingat saat kejadian korban dipukuli beramai-ramai sembari diteriaki maling.
Mulai dari Indonesia hingga ke Sri Lanka, juga Meksiko sampai ke India, aparat berwenang di negara-negara berkembang sedang direpotkan oleh fenomena yang sama. Penyebaran hoaks melalui media sosial, termasuk aplikasi WhatsApp, melahirkan ketakutan massal beserta aksi persekusi terhadap para tertuduh.
Mata warga dunia kini tertuju ke India, di mana angka korban meninggal akibat diamuk massa yang tersulut hoaks WA terus bertambah sejak pertengahan tahun ini. Mengutip laporan interaktif New York Times, Rabu (18/7/2018), korban pertamanya adalah perempuan berusia 54 tahun bernama Rukmani.
Pada bulan Mei, ia dan empat anggota keluarganya sedang berkendara menuju sebuah kuil di daerah selaran negara bagian Tamil Nadu. Saat sudah mendekati lokasi tujuan, rombongan berhenti sejenak untuk bertanya arah.
Di saat yang bersamaan seorang nenek tua melihat rombongan tersebut dengan penuh kecurigaan. Si nenek kemudian memberitahu anak laki-lakinya, dan si anak laki-laki membunyikan alarm tanda bahaya ke warga lain.
Melihat gelagat yang tak normal, rombongan Rukmani panik, lalu memutuskan untuk berbalik arah. Sayangnya mobil berhasil dicegat oleh warga desa. Rukmini sekeluarga diseret keluar, ditelanjangi, dan dipukuli dengan menggunakan batang besi, tongkat kayu, atau tangan kosong, plus injakan kaki.
Massa terpicu oleh provokasi bahwa Rukmani sekeluarga adalah kelompok penculik anak. Seorang warga merekam kejadian tersebut dan videonya kini beredar luas di dunia maya. Terlihat Rukmani yang lumpuh, sekarat, lalu ditinggalkan begitu saja hingga ia meregang nyawa. Anggota keluarga lain luka berat serta mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
Respon pihak kepolisian mudah ditebak: tidak mampu meredakan situasi karena kalah jumlah dan datang ke lokasi kejadian saat korban sudah babak belur. Mereka menangkap 46 orang tersangka dan memburu 74 lainnya.
India jadi ladang keuntungan bagi WhatsApp sebab memiliki pengguna aktif sebanyak lebih dari 200 juta orang. Meski populer, WhatsApp juga mudah dijadikan medium penyebar informasi palsu. Baik antar teman atau keluarga, atau di grup-grup khusus.
Sumber konten kerap tidak jelas, tapi secara hiperbolis menggambarkan bahwa India sedang darurat penculikan anak. Ketakutannya menyebar bak bom waktu. Seperti kasus Rukmani, korban biasanya berstatus sebagai orang asing yang kebetulan sedang berada daerah asing.
Ada juga kasus yang didorong oleh sentimen SARA. Juli lalu, Associated Press melaporkan terbunuhnya lima laki-laki di sebuah desa di negara bagian Maharashtra. Mereka adalah korban pengeroyokan oleh warga setempat usai dituduh sebagai penculik anak.
Selain mendeskripsikan bahwa pelaku termakan oleh hoaks yang disebar melalui WhatsApp, polisi juga mengungkap fakta yang tak kalah penting: korban adalah anggota komunitas pengembara yang baru datang dari tempat asalnya yang jauh.
Mulanya korban terlihat mengobrol dengan seorang anak kecil di pasar pedesaan. Warga setempat ada yang curiga, lalu menyebar isu bahwa kelimanya sesuai dengan ciri-ciri kriminal yang mereka lihat di pesan WhatsApp. Tak lama kemudian korban didatangi massa yang marah, lalu dikeroyok sampai meregang nyawa.
“Massa benar-benar buas,” kata M. Rajkumar selaku pejabat kepolisian setempat. 23 orang diamankan, 17 lainnya diburu atas keterlibatan dalam pengeroyokan. Para tersangka berhadapan dengan pasal-pasal pidana karena telah melakukan kerusuhan dan pembunuhan.
Dari sekian banyak bentuk informasi palsu yang beredar, ada satu video yang jadi pemicu timbunan peristiwa berdarah yang belakangan menghebohkan India. Isinya menggambarkan dua orang pria yang sedang berboncengan motor, lalu tiba-tiba menculik anak yang sedang bermain di jalanan.
Guardian melaporkan video tersebut sebenarnya bagian dari kampanye anti-penculikan anak di Pakistan, namun dipotong dan diedit sedemikian rupa oleh penyebar hoaks.
Dalam kurun waktu bulan April hingga Juli 2018, setidaknya sudah ada 30 orang korban meninggal akibat persekusi berdasarkan hoaks di India. Pemerintah India mengaku telah menjalankan berbagai tindakan pencegahan dan penanggulangan, tapi belum mencapai hasil yang diharapkan.
Aparat India berhadapan dengan jutaan orang berpendidikan rendah, terutama soal literasi digital, sehingga mudah terpengaruh oleh pesan yang bersifat sensasional. Banyak juga yang baru pertama kali berkenalan dengan dunia online, sehingga belum bisa menilai informasi secara kritis.
Perusahaan WhatsApp sendiri menyatakan telah melakukan berbagai upaya penanggulangan, meski sifatnya dinilai masih terbatas.
Mereka telah mencoba untuk mengekang penyebaran informasi yang keliru dengan cara membatasi jumlah pesan yang dapat diteruskan oleh seseorang ke orang atau grup lain. Mereka juga membeli ruang iklan di beberapa koran nasional India untuk menyebarkan kampanye anti-hoaks dalam beberapa bahasa.
Pada akhir Oktober kemarin BuzzFeed News melaporkan pemerintah India menekan WhatsApp untuk menyediakan data lokasi dan identitas pengguna aplikasi agar memudahkan proses penelusuran para penyebar hoaks. Mereka ingin dimudahkan dalam proses menangkap si pembuat onar.
“Saya menegaskan bahwa kita berbicara soal pelacakan. Ini soal pesan yang mengarah pada provokasi kekerasan, pelanggaran yang keji, dan kejahatan serius lainnya,” kata Menteri Teknologi dan Informasi India, Ravi Shankar Prasad.
WhatsApp merespon dengan menyatakan bahwa langkah tersebut akan melanggar enkripsi end-to-end—fitur privasi yang membuat aplikasi itu diminati para pengguna. Pernyataan resmi lanjutan yang diterima BuzzFeed News juga tidak secara teknis menyanggupi permintaan Prasad yang amat spesifik.
"Pimpinan baru WhatsApp India, yang akan diumumkan pada akhir tahun ini, akan membangun tim lokal yang dapat melayani pelanggan kami di India, serta bekerja sama dengan beberapa mitra dan aparat berwenang setempat untuk membantu menjaga keamanan orang-orang."
Editor: Windu Jusuf