tirto.id - Bulan Ramadan biasanya disambut dengan euforia masyarakat. Sayangnya semarak ini malah berujung pada perilaku konsumtif. Ramadan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, ‘tercoreng’ dengan perilaku masyarakat yang boros dan berlebihan saat membelanjakan makanan dan kebutuhan lainnya.
Sebuah lembaga riset, Kurios, mencoba melakukan survei perilaku masyarakat 7-16 April 2023 terhadap 936 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan survei ditemukan bahwa masyarakat kita memiliki pola kebiasaan berbelanja saat Ramadan dan Lebaran.
Hasil survei juga menyebutkan bahwa mayoritas (84,4 persen) responden mengamini mereka menghabiskan uang lebih banyak di bulan Ramadan dibandingkan dengan biasanya. Kemudian jika diperinci, pengeluaran yang paling besar disisihkan untuk zakat.
Penemuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Inmobi dan Glance berjudul The Marketer’s Guide to Ramadan. Dalam studi tersebut kebanyakan masyarakat Indonesia (58 persen) berencana menghabiskan anggaran lebih dari Rp3 juta untuk Ramadan tahun 2024, dengan tiga dari lima orang menyiapkan anggaran di kisaran Rp3-5 juta.
Uniknya, survei tersebut menganalisa kebanyakan masyarakat mulai membelanjakan anggaran Ramadan justru jauh-jauh hari. Belanja Ramadhan tahun ini dimulai pada akhir Februari 2024. Polanya akan meningkat sepanjang Maret sebelum mencapai puncaknya pada pertengahan April
Lebih lanjut, perilaku konsumtif masyarakat saat Ramadan, juga tergambarkan dari hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada periode Ramadan dan Lebaran April 2023 lalu. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mencapai level 126,1 pada April 2023, lebih tinggi dibanding IKK Januari-Maret 2023 yang masih di kisaran 123.
Pada April 2023, keyakinan konsumen terpantau meningkat pada seluruh kategori pengeluaran. Peningkatan optimisme terutama tercatat pada responden dengan pengeluaran Rp1–2 juta. Keyakinan konsumen dalam melakukan pembelian barang tahan lama (durable goods) juga terpantau menguat, terutama pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1–2 juta.
Peningkatan pola konsumsi selama Ramadan juga dapat terlihat dari tren aliran uang beredar di masyarakat. BI mencatat pada momentum Ramadan tahun lalu (2023), jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp8.350,4 triliun pada April 2023.
Uang tersebut tumbuh 5,5 persen secara year on year (yoy), setelah bulan sebelumnya juga tumbuh 6,2 persen (yoy). Perkembangan M2 tersebut dianalisa imbas dari kenaikan penyaluran kredit kredit produktif maupun konsumtif.
Tumpukan Sampah Menggunung
Namun tanpa kita sadari, perilaku konsumtif tersebut memberikan dampak negatif pada lingkungan. Salah satunya permasalahan tumpukan sampah dari hasil belanja makanan. Banyaknya sampah makanan dihasilkan selama bulan suci Ramadan bahkan menjadi perdebatan besar di negara-negara Muslim, tidak terkecuali Indonesia.
Karena faktanya, sekitar seperlima makanan yang dibeli atau disiapkan selama Ramadan berakhir di tempat sampah atau tempat pembuangan sampah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan mencatat timbulan sampah tercatat naik 20 persen dikarenakan jumlah sisa makanan dan sampah kemasan.
Volume timbulan sampah di Kota Surabaya misalnya, mengalami peningkatan selama bulan puasa tersebut. Saat kondisi normal, sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo Surabaya per hari mencapai sekitar 1.500-1.600 ton. Jumlah sampah tersebut meningkat 100-200 ton per hari di bulan Ramadan.
Contoh lainnya yaitu laporan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan yang mencatat kenaikan timbulan sampah sebesar 5-10 persen dibandingkan hari biasa, yakni sekitar 970 ton per hari.
Sampah organik berupa sisa makanan mendominasi komposisi sampah tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 41,2 persen. Diikuti oleh sampah plastik 18,2 persen. Sementara berdasarkan sumber, sampah rumah tangga menyumbang jumlah sampah nasional terbesar mencapai 39.2 persen.
Besarnya masalah sampah makanan di Indonesia ini sungguh ironis. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kelaparan paling memprihatinkan di Asia Tenggara. Namun merupakan negara dengan jumlah limbah pangan terbanyak di dunia.
Persamaan ini mengkhawatirkan tetapi juga menunjukkan bahwa fokus pada pengurangan dan pendistribusian kembali sampah makanan dapat meningkatkan standar hidup secara drastis dan cepat.
“Persoalan food loss dan waste menjadi perhatian serius bagi Indonesia dan negara lain,” ujar Analis Ketahanan Pangan, Febrina Cholida.
Maka, untuk mengatasi masalah ini dapat dimulai dengan mengubah perilaku masyarakat konsumtif saat Ramadan. Ini bisa dilakukan dengan strategi kampanye ‘Consumindful’, lebih fokus mengajak konsumen untuk mencegah food waste dari skala rumah tangga masing-masing
Ide utama dari inisiatif ‘Consumidful’ adalah meningkatkan partisipasi konsumen dalam mencegah limbah makanan. Gerakan ini diharapkan dapat memberikan pesan kepada masyarakat luas agar lebih bijak dalam mengkonsumsi dan tidak menyia-nyiakan makanan.
KLHK juga mengajak masyarakat Indonesia untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan di sepanjang bulan puasa. Sejumlah langkah sederhana dapat dilakukan diantaranya dengan membawa wadah makanan guna ulang dan tas belanja sendiri saat membeli takjil, mengkonsumsi makanan secukupnya, hingga memilah sampah dari rumah guna mendorong ekonomi sirkular.
Kenaikan Harga Pangan
Di luar persoalan sampah, budaya konsumtif yang telah menjadi gaya hidup sebagian umat selama Ramadan, juga memberikan dampak lainnya, yakni menyebabkan peningkatan terhadap harga-harga kebutuhan pangan.
Kenaikan harga pangan ini sudah diwanti-wanti oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencermati pola kenaikan harga secara umum pada Ramadan dengan mempertimbangkan tekanan inflasi yang meningkat pada periode tersebut.
Perkembangan inflasi menjelang bulan puasa selalu terjadi pada beberapa komoditas pangan, di antaranya daging ayam ras, minyak goreng, beras, ayam hidup, daging sapi, telur ayam ras, hingga gula pasir.
Jika merujuk panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), hampir seluruh kelompok komoditas pangan per 7 Maret 2023, sudah berada zona merah (naik). Beberapa diantaranya adalah beras premium, daging ayam ras, telur ayam ras, daging sapi murni, gula konsumsi, dan minyak goreng kemasan sederhana.
Untuk beras premium, harga rata-rata nasional sudah berada di Rp16.530 per kg. Harga tertinggi terjadi di Papua Tengah sebesar Rp24.000 per kg dan terendah di Aceh Rp14.680 per kg.
Selanjutnya untuk daging aam ras, saat ini rerata nasional dibanderol sebesar Rp38.040 per kg. Harga tertinggi komoditas ini sebesar Rp58.710 per kg di Papua Pegunungan dan terendah Rp29.040 per kg di Sulawesi Selatan.
Untuk telur ayam ras, harga rata-rata nasionalnya sudah tembus di Rp31.360 per kg. Adapun harga tertinggi terjadi di Papua Barat sebesar Rp45.980 per kg dan terendah di Bengkulu sebesar Rp27.460 per kg.
Kemudian untuk daging sapi murni harga rata-rata nasionalnya terpantau sudah di Rp134.670 per kg. Harga tertinggi sebesar Rp164.890 per kg di Kalimantan Utara dan terendahnya Rp113.320 per kg di Nusa Tenggara Timur.
Lalu untuk gula konsumsi dan minyak goreng kemasan sederhana rata-rata nasionalnya masing-masing berada di Rp17.790 dan Rp17.700 per liter. Adapun untuk gula konsumsi harga tertinggi terjadi di Papua Pegunungan dengan Rp30.860 per kg dan terendah di Kepulauan Riau Rp16.130 per kg.
Sedangkan untuk minyak goreng kemasan harga tertingginya mencapai Rp36.590 per liter di Papua Pegunungan dan terendah Rp15.580 per liter di Yogyakarta.
Peningkatan harga-harga komoditas pangan, tentu sudah menjadi siklus tahunan. Mengingat pada periode Ramadan permintaan masyarakat biasanya tumbuh dan menyebabkan beberapa kebutuhan pangan melonjak.
Dari sini, maka kita bisa melihat bahwa perilaku konsumtif saat Ramadan berdampak kepada dua hal. Pertama masalah lingkungan dan kedua adalah peningkatan harga pangan. Maka sudah sepatutnya perilaku konsumtif ini bisa diubah.
Editor: Dwi Ayuningtyas