Menuju konten utama

Hari HAM 10 Desember: Kasus Menumpuk di Bawah Rezim "Orang Baik"

Tak banyak yang berubah dalam peringatan Hari HAM 10 Desember di bawah Jokowi. Kasus-kasus tak juga selesai; justru semakin bertambah.

Hari HAM 10 Desember: Kasus Menumpuk di Bawah Rezim
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (12/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Hari hak asasi manusia (HAM) yang jatuh pada hari ini, Selasa 10 Desember 2019, mengingatkan kita bahwa di Indonesia masih ada setumpuk masalah yang tak mampu diselesaikan Presiden Joko Widodo.

Jokowi memasukkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM dalam Nawacita--sebut saja sembilan janji utama. Beberapa kasus yang ia janjikan untuk dibongkar adalah kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari 1989, Tanjung Priok 1984, hingga Tragedi 65.

Namun, setelah berkuasa selama satu periode (2014-2019), hasil penelitian Indonesian Legal Roundtable (ILR) berkata sebaliknya. Alih-alih kasus HAM tuntas, ILR malah menyebut indeks hukum dan HAM selama masa pemerintahan Jokowi lebih rendah dibanding masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Indeks hukum dan HAM Indonesia satu tahun sebelum Jokowi menjabat berada di angka 5,4. Tahun 2014, angkanya menurun menjadi 4,15 dan bahkan turun lagi setahun setelahnya, 3,82. Dua tahun berturut-turut memang kembali naik, tapi tetap di bawah era SBY: 4,25 (2016) dan 4,51 (2017).

Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menegaskan penurunan ini adalah efek dari kebijakan pemerintah.

"Aktor penurunan indeks HAM ini bukan masyarakat sipil, seperti konflik horizontal, tetapi oleh pemerintah sendiri. Jadi problem HAM-nya bukan lagi soal konflik horizontal, tetapi konflik vertikal sebagaimana yang terjadi di Orde Baru," kata Erwin, Oktober lalu.

HAM Buram di Bawah Jokowi

Pada akhirnya pemerintah yang tak berbuat apa-apa bikin publik pesimistis dengan periode kedua pemerintahan Jokowi--kini bersama Ma'ruf Amin. Hal ini terlihat dari hasil riset Litbang Kompas. Mereka menyimpulkan publik ragu Jokowi-Ma'ruf dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Keraguan tersebut terutama dalam penyelesaian kasus penculikan aktivis 1997-1998. 51,7 persen responden menilai Jokowi tak mampu menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997-1998, sedangkan 34,5 persen menganggap mampu dan 13,8 persen menganggap sangat tidak mampu.

Selain kasus penculikan aktivis 1997-1998, ada empat kasus lain yang diteliti Litbang Kompas.

Dalam kategori keyakinan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, ada 42,6 persen yang menyatakan keduanya tak mampu menuntaskan kasus penembakan misterius (petrus) tahun 1982-1985. Untuk kasus yang sama, 7,2 persen responden menyatakan sangat tidak mampu dan 48 persen menyatakan mampu.

Untuk kasus penembakan Trisakti-Semanggi 1998, 41,8 persen responden menilai Jokowi-Ma'ruf tidak mampu menuntaskannya. 6,6 persen menyatakan sangat tidak mampu dan 48,9 persen menyatakan mampu.

Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, 42,7 persen publik menilai Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu, dan 46,8 persen menilai mampu.

Riset ini dilaksanakan dari 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen. Riset ini dilakukan di 34 provinsi dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai wajar hasil survei Litbang Kompas.

"Pelanggar HAM dijadikan Menteri Pertahanan. Mantan Kapolri yang banyak terjadi pelanggaran HAM saat menjabat, malah jadi Mendagri sekarang. Dan tentu saja, Jokowi ingkar janji penuntasan pelanggaran HAM di Nawacita," kata Asfin saat dihubungi reporter Tirto, Senin (9/12/2019) siang.

Yang paling disoroti Asfin adalah bagaimana kebebasan berpendapat yang sebelumnya masih bisa dinikmati secara bebas, saat ini perlahan berkurang--alias terkekang.

Dalam Laporan Pemantauan YLBHI dan 16 LBH Indonesia tentang Kondisi Hak Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat di Indonesia 2019, setidaknya terdapat 6.000-an kasus pelanggaran HAM di ranah kebebasan berpendapat, dan itu hanya yang terjadi di 2019.

"6.000an itu hanya menyampaikan pendapat di muka umum. Padahal tidak semua kejadian bisa kami dokumentasikan. Suram masa depan Indonesia," lanjut Asfin.

Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono menilai buruknya penanganan kasus HAM tak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik Asia Tenggara.

Andreas mengutip berbagai data dari buku terbaru Michael Vatikiotis, Blood and Silk, yang menerangkan bahwa Asia Tenggara adalah kawasan paling berdarah di seluruh dunia pasca Perang Dunia II. Dalam buku tersebut ada statistik berbagai pelanggaran dan kekerasan di semua negara-negara ASEAN, termasuk Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam maupun Timor Leste saat ada di bawah otoritas Indonesia.

"Kawasan Asia Tenggara sangat berdarah. Ada lebih banyak orang mati dibunuh oleh pemerintah atau penguasanya sendiri daripada kawasan lain. Asia Tenggara lebih banyak korban ketimbang di Suriah," kata Andreas kepada reporter Tirto.

Meski demikian, sebenarnya ada beberapa pimpinan negara-negara itu yang serius mengatasi masalah dengan cara menghapus berbagai peraturan diskriminatif yang ada di sistem hukum mereka. Mereka termasuk Gus Dur dari Indonesia, Chuan Leekpai dari Thailand, dan Benigno Aquino Jr. dari Filipina.

Kontras dengan Gus Dur, di era Jokowi pelanggaran HAM bukan hanya tidak selesai, tapi juga bertambah dan menumpuk: dari extra judicial killing, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pembantaian, hingga tahanan politik (pesakitan politik)--puluhan orang Papua ditahan hanya karena aspirasi politik mereka.

"Jadi apakah Presiden gagal selesaikan kasus pelanggaran HAM hingga kini? Saya kira, ya, ia gagal. Kalau lihat dalam konteks Asia Tenggara, Jokowi belum melakukan apa-apa," katanya.

Jokowi, misalnya kata Andreas, tak berani membongkar peraturan-peraturan diskriminatif yang terbit di era SBY.

"SKB tiga menteri, FKUB, perda-perda syariah, hingga penguatan pasal penodaan agama. SBY tidak hanya membiarkan pelanggaran HAM, tapi juga menciptakan infrastruktur yang diskriminatif. Kunci menghentikan pelanggaran HAM adalah menghapus atau mencabut aturan yang diskriminatif. Aturan-aturan tersebut menyebabkan orang cenderung main hakim sendiri," katanya.

Absen dalam Pidato

Ada lima hal yang jadi fokus pemerintahan Jokoi-Ma'ruf Amin, setidaknya itu terlihat lewat apa yang Jokowi sampaikan dalam pidato pelantikan Presiden-Wakil Presiden 2019-2024 yang digelar di Gedung DPR/MPR, Ahad, 20 Oktober 2019.

Tak ada penegakan hukum dan HAM dalam pidato itu. Saat itu Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan tidak ada penegakan hukum dan HAM dalam pidato pelantikan "bukan lagi upaya melupakan, melainkan untuk menyangkal kejahatan masa lalu."

Tapi bagi mantan Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, forum tersebut memang bukan tempat untuk memaparkan seluruh detail rencana kerja--penuntasan kasus HAM ada di dalamnya.

Sementara Ma'ruf Amin mengatakan "pemerintah tetap memegang komitmen untuk terus berupaya mencari solusi yang terbaik."

Pernyataan ini menegaskan pemerintah masih berupaya menuntaskan kasus HAM, yang entah terealisasi atau sama seperti periode pertama lalu yang tak menghasilkan apa pun kecuali kekecewaan para keluarga korban kekerasan.

Baca juga artikel terkait HARI HAM SEDUNIA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino