Menuju konten utama

Hari AIDS Sedunia: Tantangan & Peran Penting Komunitas Relawan

Setiap tahun masih ditemukan anak dengan HIV, yang menunjukkan bahwa upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak memerlukan penguatan.

Hari AIDS Sedunia: Tantangan & Peran Penting Komunitas Relawan
Mahasiswi menunjukkan alat peraga usai melakukan screening dengan tes cepat HIV AIDS kepada warga di Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Minggu (20/11/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/nz

tirto.id - Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tanggal 1 Desember sejak 1988. Kali ini, tema dunia dari Hari AIDS 2023 adalah Let Communities Lead yang menekankan betapa pentingnya peran komunitas bagi para ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Sementara untuk tema nasional adalah “Bergerak Bersama Komunitas: Akhiri AIDS 2030.”

Anggota Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Zubairi Djoerban, menilai bahwa penanganan HIV/AIDS di Indonesia mengalami banyak kemajuan saat ini. Zubairi merupakan salah satu pionir yang menggeluti dan menangani HIV/AIDS di Indonesia, sejak era 80-an.

Kendati demikian, Zubairi menilai, kondisi global yang terhempas pandemi COVID-19 selama hampir tiga tahun lebih membuat penanganan HIV/AIDS tidak baik-baik saja. Di sejumlah negara, termasuk Indonesia, pandemi membuat upaya penanganan HIV/AIDS mengalami perburukan.

“Indonesia juga sama, tata laksana HIV saat COVID-19 menjadi agak terbengkalai,” kata Zubairi dalam konferensi pers yang diikuti Tirto, Kamis (30/11/2023).

Dia menekankan, terapi antiretroviral atau ARV pada orang dengan HIV menjadi kunci keberhasilan dalam memutus penularan di masyarakat. Masalahnya, kata dia, tidak semua orang dengan HIV (Odhiv) sudah minum obat ARV.

Padahal, ARV sangat penting berperan untuk menekan jumlah virus HIV dalam tubuh. Setelah mengonsumsi ARV rutin 3-6 bulan, jumlah virus dalam tubuh akan berkurang secara signifikan.

“Jika semua orang dengan HIV terdiagnosis dan minum obat, seharusnya tidak akan terjadi penularan lagi. Masalahnya, tidak semua terdiagnosis. Yang terdiagnosis pun tidak semua minum obat,” ungkap Zubairi.

Ketika sudah rutin menerima terapi ARV, virus tidak lagi terdeteksi sehingga risiko penularan akan sangat berkurang. Risiko pasien mengalami AIDS (acquired immune deficiency syndrome) juga mampu dicegah.

Sebagai informasi, AIDS merupakan penyakit yang ditandai sejumlah gejala dan infeksi yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. Sementara, HIV sendiri merupakan virus yang menginfeksi serta menghancurkan sel darah putih manusia (sel T CD4-positif) dan dapat menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.

“Yang minum obat juga tidak semua viral load tersupresi karena kepatuhan minum obat yang rendah serta putus obat yang masih banyak,” sambung Zubairi.

Zubairi menambahkan, salah satu tantangan yang perlu disoroti adalah masih terdapat orang dengan HIV yang putus obat dan mengalami perburukan, hingga meninggal. Maka dari itu, dia menekankan pentingnya peran komunitas dan relawan untuk terlibat dalam menjaga rutinitas Odhiv mengonsumsi obat.

Peran Relawan dan Komunitas

Relawan dan komunitas yang mendampingi orang dengan HIV/AIDS, terbukti menambah persentase akses ODHA melakukan terapi ARV. Mereka juga terbukti dalam sejumlah penelitian menekan angka putus obat dari pada ODHA.

“Amat sangat diperlukan peran relawan, dan juga konseling sederhana untuk orang dengan HIV, karena banyak penelitian amat sangat bermanfaat,” tutur Zubairi.

Di sisi lain, Zubairi menyayangkan masih terjadinya penularan HIV dari Ibu ke anak di Indonesia. Menurut dia, di banyak negara hal ini sudah mampu ditangani dengan melakukan tes HIV pada Ibu hamil dan pemberian ARV rutin bagi yang positif HIV.

“Temuannya, kami melihat dari Januari sampai November 2023 saja masih ada satu daerah, di Jakarta, ada 7 bayi positif HIV yang baru,” ungkap dia.

PB IDI, kata dia, menyarankan kepada pemerintah untuk mengadakan Hari Tes HIV Nasional. Hal ini untuk menjamin kemudahan akses dan agar kasus HIV di masyarakat bisa ditemukan.

“Tentu disediakan laboratorium untuk menjaga identitas dari yang tes. Kalau positif maka laboratorium punya sistem rujukan, nah maka nanti konseling juga menjadi penting setelahnya,” tutur Zubairi.

Untuk mencapai pengetesan AIDS 2030 di Indonesia, dia juga menyarankan agar pemberian obat ARV secara multibulan dapat menjadi program berkelanjutan. Saat ini, pemberian ARV dilakukan setiap satu bulan sekali. Hal ini bisa menimbulkan rasa jenuh bagi pasien dan membuat mereka khawatir dengan stigma di masyarakat.

Pengobatan ARV perlu dilakukan orang dengan HIV seumur hidup. Namun, ketika sudah rutin dilakukan dan jumlah virus (viral load) tidak lagi terdeteksi, pengobatan bisa dilakukan multibulan atau tidak perlu sebulan sekali.

“Jika Odhiv ini hanya perlu datang tiga bulan sekali ke fasilitas kesehatan, diharapkan kepatuhan dalam pengobatan bisa lebih baik,” kata Zubairi.

Zubairi juga meminta agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan sosial bagi ODHIV. Banyak dari mereka yang tidak memiliki penghasilan tetap dan tidak mempunyai pekerjaan. Maka pemerintah diharapkan dapat mengadvokasi serta membuka lapangan pekerjaan bagi mereka.

Sementara itu, Ketua PB IDI Adib Khumaidi menilai, HIV/AIDS masih menjadi fenomena gunung es di Indonesia. Perlu peran dari masyarakat, komunitas, keluarga, hingga negara untuk dapat membantu tatalaksana penanganan HIV/AIDS.

“Perlu ada kebijakan regulasi negara sehingga kemudahan akses menjadi sangat penting. Kemudian berkaitan dengan privasi pasien ODHA dengan mendapatkan hak konsultasi,” ujar Adib.

Faktor penting dalam penanganan HIV/AIDS, kata Adib, adalah membantu mental pasien untuk terus mau melakukan pengobatan. Maka penting adanya intervensi multisektoral yang dapat memberikan kemudahan akses pengobatan dan dukungan bagi ODHA.

Dihubungi terpisah, Supervisor Program dari Yayasan Spiritia, Gina, menyatakan tantangan selama membersamai dan membantu ODHA sejauh ini, masih banyak dari mereka yang kurang informasi soal pentingnya ARV. Akibatnya, banyak dari ODHA yang belum mau terapi atau enggan melakukan pengobatan.

“Banyak juga yang putus obat, artinya mereka yang lost to follow up artinya yang mereka tidak melanjutkan pengobatan. Dan ini akan membuat mereka kembali sakit,” kata Gina kepada reporter Tirto.

Sementara itu, Gina menilai program penanggulangan HIV/AIDS masih banyak bergantung pada donor. Maka, ia berharap pemerintah dapat membantu program ini ke depan untuk relawan dan komunitas yang melakukan tatalaksana penanggulangan HIV/AIDS. Yayasan Spiritia sendiri merupakan lembaga non-pemerintah yang melakukan dukungan dan perawatan untuk orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS sejak 1995.

“Jadi ketika nanti donornya sudah tidak lagi mau membantu, kita sudah ready, kita sudah siap,” tutur Gina.

Gina juga berharap masyarakat lebih banyak mencari informasi soal penularan HIV/AIDS dari sumber yang resmi. Hal ini agar stigma dan diskriminasi kepada ODHA bisa segera dihapuskan di masyarakat.

“Penularan HIV itu susah-susah gampang gitu, jadi tidak serta serta-merta orang yang berhubungan berkontak sosial dengan orang yang HIV itu lantas HIV,” kata dia.

AKSI PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA

Sejumlah mahasiswa membawa spanduk saat memperingati Hari AIDS Sedunia di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (1/12/2021). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/wsj.

Upaya Pemerintah

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, menyampaikan penanggulangan HIV dilakukan menurut siklus kehidupan, agar memastikan setiap orang mendapatkan pelayanan pencegahan dan pengobatan sesuai ketentuan yang berlaku. Pemerintah berfokus pada sejumlah program seperti pemberian obat ARV (PrEP), Pencegahan Penularan dari Ibu dan Anak, Pemberian obat multibulan, Pengentasan TB-HIV, dan Integrasi Pencatatan HIV-IMS.

Setiap tahunnya, kata dia, masih ditemukan anak dengan HIV, yang menunjukkan bahwa upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak memerlukan penguatan.

“Tantangan besar lainnya dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah infrastruktur belum optimal dan merata di setiap daerah, regulasi dari berbagai sektor belum mendukung percepatan pengendalian HIV, serta masih dirasakannya stigma dan diskriminasi,” kata Imran dihubungi reporter Tirto, Kamis (30/11/2023).

Kementerian Kesehatan mencatat, sejak 2004 sampai September 2023 menunjukkan, ada 285.381 orang dengan HIV yang mendapatkan pengobatan ARV dan masih hidup. Namun, sebanyak 75.860 orang atau sekitar 26 persen di antaranya tidak mendapatkan tindak lanjut (loss to follow up).

Ditambah, ada 233 orang yang berhenti mendapatkan obat ARV. Jumlah orang dengan HIV yang tercatat masih mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 209.288 orang.

Imran menambahkan, terjadi penurunan infeksi baru HIV sebesar 54%, akibat dampak akselerasi pengendalian yang berfokus pada intervensi pencegahan dan ekspansi berskala besar terapi ARV. Namun, disadari bahwa penurunan infeksi baru tersebut masih belum mencapai target penurunan yang diharapkan.

“Selain itu, pencapaian penurunan infeksi baru ini masih belum diiringi dengan penurunan kematian akibat AIDS,” tutur dia.

Berdasarkan data September 2022 dari SIHA 2.1, capaian target 95-95-95 persen penanggulangan HIV di Indonesia belum optimal. Baru didapati 88 persen ODHIV hidup mengetahui statusnya, 40 persen ODHIV hidup yang mengetahui status dan sedang mendapatkan pengobatan ARV, dan 33 persen ODHIV sedang dalam pengobatan ARV yang virusnya tersupresi.

“Diperlukan dukungan semua pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan tersebut, baik oleh pemerintah Pusat dan daerah, akademisi/praktisi, masyarakat, komunitas, swasta, dan media di sektor kesehatan dan di luar sektor kesehatan,” ujar Imran.

Baca juga artikel terkait HIV-AIDS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz