tirto.id - Sebuah video perusakan bangunan di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, tersebar pekan lalu. Beberapa berita menyebutnya sebagai musala Al-Hidayah, sebagian lagi menyebut itu balai pertemuan Muslim.
Perusakan bangunan tersebut terjadi pada Rabu (29/1/2020) sekitar pukul 18.20, kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra.
Pelaku perusakan adalah 50an orang bersenjata tajam dengan mengenakan ikat kepala merah. Per Senin (3/2/2020), lima orang sudah jadi tersangka, salah satunya diduga provokator.
Semua bermula pada Juli 2019, ketika kepala desa setempat menghentikan sebuah kegiatan keagamaan. Kepala desa beralasan izin tempat tersebut adalah balai pertemuan, bukan rumah ibadah. Kejadian tersebut kembali terjadi pada 29 Januari malam.
Pertemuan tertutup antara Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Kabupaten Minahasa Utara digelar setelah kejadian. Sejumlah pejabat hadir, termasuk Bupati Minahasa Utara Vonnie Anneke Panambunan, tokoh agama, serta tokoh setempat.
Pada pertemuan Kamis (30/1/2020) itu dihasilkan tiga kesepakatan. Pertama, jika persyaratan resmi pendirian tempat ibadah lengkap, bupati akan langsung menandatangani surat izin. Kedua, akan dilakukan perbaikan di balai pertemuan oleh masyarakat, dibantu TNI dan Polri. Ketiga, balai pertemuan ditutup sementara sambil menunggu proses pengajuan perizinan. Orang Islam di perumahan tersebut diimbau beribadah di rumah masing-masing.
Hak Beribadah Harus Dijamin
Halili, Direktur Riset Setara Institute, LSM yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan HAM, mengecam tindakan ini. Ia menegaskan sikap main hakim sendiri ini tidak dapat dibenarkan dan melanggar Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
Ia mendesak pemerintahan Joko Widodo, termasuk Menteri Agama Fachrul Razi, untuk melaksanakan mandat Pasal 28E Ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945 dengan mengambil tindakan optimal untuk melindungi kelompok minoritas serta menjamin setiap orang untuk beribadah dengan aman.
"Beberapa kasus terkini menunjukkan bahwa kelompok intoleran, atas nama mayoritas di daerah setempat, merasa memiliki kuasa untuk melakukan tindakan main hakim sendiri atas minoritas. Dengan kepercayaan diri sebagai mayoritas, mereka secara terbuka melampaui proses serta penegakan hukum," katanya.
Dalam situasi demikian, kata Halili, pemerintah tidak boleh kalah terhadap kelompok vigilante yang kerap menyangkal dan melanggar hak-hak konstitusional kelompok minoritas.
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, juga mengatakan hal serupa. Ia mengecam perusakan tempat ibadah yang tidak hanya mengakibatkan kerugian material, tetapi juga mengoyak wajah toleransi antar-umat beragama.
"Kami ingin kembali mengingatkan semua pihak untuk merawat kebhinekaan kita, menghargai dan melindungi perbedaan. Mayoritas-minoritas hanya soal angka, tetapi semua punya hak yang sama di hadapan konstitusi kita," katanya.
Yenny juga mengatakan kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang dibuat para pengambil kebijakan harus mencerminkan usaha penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak warga.
Revisi atau Langkahi Kebijakan Diskriminatif
Kementerian Agama bekerja cepat sejak kejadian tersebut viral di media sosial. Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara misalnya, telah mengeluarkan surat rekomendasi pendirian rumah ibadah (masjid) Al-Hidayah. Surat rekomendasi dengan No B-263/KK.23.13.2/BA.00.1/01/2020 itu ditandatangani oleh Kepala Kantor Kemenag Minahasa Utara Anneke M Purukan per 31 Januari 2020. Surat tersebut intinya menyatakan tidak keberatan dan menyetujui permohonan pendirian musala.
Selain kepada Kepala Kanwil Kemenag Sulut, surat rekomendasi ini juga ditembuskan kepada Bupati dan Kapolres Minahasa Utara.
"Izin resmi pendirian masjid tersebut akan diajukan pada Senin 3 Februari 2020, dan akan dikawal oleh Kapolres Minahasa Utara dan Dandim. Segera diterbitkan izinnya oleh Bupati dan dibantu pembangunannya," kata Menag Fachrul Razi.
"Musala telah diperbaiki dan Sabtu malam sudah kembali dipakai untuk salat," katanya.
Kasus musala Al-Hidayah bukan yang pertama. Tapi sikap ini berbanding terbalik dengan kasus lain.
Ada pembakaran gereja di Aceh, pelarangan pendirian gereja di Yogyakarta dan Semarang, pelarangan pendirian pura di Bekasi, hingga berlarut-larutnya kasus Gereja GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadefia Bekasi. Hampir semua kasus belum selesai.
Semua masalah ini muncul dan bermula dari peraturan diskriminatif bernama SKB 3 Menteri tentang pendirian tempat ibadah tahun 2006, yang terbit di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak peraturan itu diteken, pelarangan pendirian rumah ibadah kerap terjadi terhadap kelompok minoritas di suatu daerah.
Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menilai peraturan diskriminatif tersebut membuat Indonesia berstatus ‘darurat toleransi’. Oleh karena itu ia mendesak pemerintah, khususnya Menag Fachrul Razi, untuk segera merevisi peraturan tersebut.
"Perlu ditinjau ulang, supaya tidak melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Perlu dirumuskan aturan yang serta selaras dengan Undang-Undang Dasar dan standar HAM internasional," katanya, Jumat (31/1/2020) lalu.
Peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, mengapresiasi langkah pemerintah daerah Minahasa Utara maupun Kementerian Agama di Jakarta, yang dianggap "melewati saja peraturan soal kerukunan umat beragama."
Ia mendesak agar langkah serupa diterapkan di kasus-kasus lain yang masih menggantung.
"Saya harap langkah yang sama juga diberlakukan terhadap ribuan gereja maupun rumah ibadah non-Islam dan non-Sunni, termasuk masjid Ahmadiyah, maupun berbagai kepercayaan, yang ditutup sejak aturan diskriminatif tersebut dikeluarkan oleh pemerintahan SBY," katanya kepada reporter Tirto, Senin (3/2/2020) siang.
Ia juga meminta Kemenag mendata rumah ibadah minoritas, termasuk GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang ditutup sejak 2006--pera jemaatnya kerap menggelar ibadah di depan Istana.
"Beberapa lembaga riset mengeluarkan data namun berbeda-beda, karena kriteria juga berbeda. Kementerian Agama perlu mendata serta membantu proses pendirian rumah-rumah ibadah tersebut seperti di Minahasa Utara," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino