tirto.id - Ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah kembali terjadi. Kini yang diprotes warga adalah rumah yang dijadikan gereja di RT 34 Kampung Gunung Bulu, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Rumah itu berdiri di atas tanah 335 meter persegi. Pemiliknya, pendeta Tigor Yunus Sitorus (49), membeli tanah itu pada 2002 dengan harga Rp36 juta.
Ketua RT 34 Samsuri (52) mengatakan warga menolak pendirian gereja karena Sitorus disebut telah menandatangani surat pernyataan yang isinya janji bahwa tanah yang dia beli hanya akan dibangun rumah.
Potongan redaksional surat yang diteken pada 10 April 2003 adalah sebagai berikut: "rumah yang saya bangun di wilayah RT 35 Gunung Bulu, Badut Lor, Argorejo, Sedayu, Bantul hanya untuk tempat tinggal." Dalam penutup surat itu terdapat kalimat: "apabila ada penyimpangan di kemudian hari... saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku."
Di sana terdapat tanda tangan Sitorus. Selain itu ada juga tanda tangan Ketua RT 34, Kepala Dukuh, Kepala Desa, Camat, Kapolsek, dan Danramil yang saat itu menjabat, lengkap dengan stempel dari instansi masing-masing.
"Menurut kami Bapak Sitorus mengkhianati perjanjian yang telah disepakati," kata Samsuri saat mediasi di Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019) kemarin. "Bapak Sitorus menjadikan itu rumah ibadah tanpa sepengetahuan kami."
Seorang warga, Sunardi (59), juga mengaku merasa dikhianati Sitorus. "Kami tidak pernah melarang Pak Sitorus melaksanakan ibadah, tapi kalau melakukannya di lingkungan Gunung Bulu masyarakat menolak."
Sementara Hanif Suprapto (46), warga lain, mengaku "terusik" dengan aktivitas di rumah itu. "Karena mayoritas ini Muslim," katanya.
Hanif bahkan bilang sangat mungkin dalam jangka panjang aktivitas gereja bisa memengaruhi keyakinan masyarakat. "Kami di sini harus menjaga keyakinan kami, melindungi anak cucu kami agar tidak terpengaruh."
Ditekan
Pernyataan Samsuri soal surat perjanjian dibenarkan langsung oleh Sitorus, tapi dengan konteks yang lengkap. Surat itu diteken di bawah tekanan.
Sitorus mengatakan awalnya dia memang ingin mendirikan rumah ibadah di lahan tersebut. Pembangunan dimulai setahun setelah tanah dibeli. Namun saat baru berdiri tembok setinggi 1,5 meter, orang tak dikenal merobohkannya.
"Saya tidak tahu siapa yang merobohkan. Kemudian saya mendapatkan panggilan dari kelurahan untuk pertemuan," kata Sitorus setelah mediasi.
Saat pertemuan itu Sitorus ditanya-tanya. Muncul pula usul agar Situros menandatangani surat 'perjanjian'. Surat yang redaksionalnya sudah rapi dan tak bisa lagi diganggu-gugat tersebut dikirim beberapa hari setelah pertemuan, langsung oleh kepala dukuh. Sitorus tak pernah mendapat salinan surat yang ia tandatangani itu.
"Kami (maksudnya: saya) berada dalam tekanan dan diminta membuat pernyataan yang sebenarnya bukan saya yang membuat," akunya.
Sitorus akhirnya melanjutkan pembangunan untuk rumah saja. Rumah ini akhirnya ia tempati bersama istri dan dua anak.
Lalu muncullah Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Tempat Ibadat. Sitorus melihatnya sebagai peluang merealisasikan apa yang ia cita-citakan 13 tahun lalu. Sitorus lantas mengajukan izin menjadikan rumahnya sebagai gereja pada 2017.
Semua proses dijalani dan IMB rumah ibadah pun turun pada 15 Januari 2019. Dalam petikan IMB dengan nomor 0116/DPMPT/212/l/2019 yang diperlihatkannya itu, tertulis nama pemilik izin adalah pengurus Gereja Pantekosta di Indonesia, Immanuel Sedayu.
Keluarnya izin membuat Sitorus tak ragu melakukan ibadah sejak April 2019 tiap Ahad. Dia memanfaatkan ruang tengah rumahnya, berdampingan dengan dua kamar tidur berbatas tembok dan pintu kayu. Salib dipasang di dinding, jadi latar mimbar. Belasan kursi ditata menghadap mimbar.
Ruangan itu mampu menampung sampai 50 orang jemaat. Jemaatnya banyak berasal dar luar kampung, juga mahasiswa. Jumlah yang relatif banyak ini, kata Sitorus, karena di Kabupaten Bantul belum ada Gereja Pantekosta.
Diminta Berhenti oleh Camat, Dibela Polisi
Dalam mediasi, Camat Sedayu Fauzan Mu'arif lebih condong memenuhi keinginan mayoritas. Dia meminta Sitorus menghentikan aktivitas gereja dengan pertimbangan: pertama, surat perjanjian 2003--meski Sitorus telah menjelaskan duduk perkaranya; kedua, agar hubungan antarwarga tetap harmonis; ketiga, yang beribadah di sana orang luar.
Fauzan juga mengatakan ada kemungkinan IMB yang sudah dipegang Sitorus dicabut.
"Saya tidak menekan jenengan. Berdasarkan pertimbangan yang saya sebutkan, mohon Pak Sitorus memenuhi janji menghentikan aktivitas kegiatan di tempat itu karena empat hal yang telah saya sampaikan," katanya. "Kalau tidak dan tetap kekeuh saya khawatir ini akan menyebar ke mana-mana."
Tapi Sitorus tak mau mengikutinya. Dia akan tetap melakukan apa yang dia yakini benar. Apalagi, katanya, dia dan jemaat selama ini tak punya tempat ibadah yang lokasinya dekat. "Tetap lanjut kegiatan ibadah. Meminta pengamanan aparat dan pemerintah," kata Sitorus.
Soal harapan ini, Kapolsek Sedayu Kompol Sugiarta, juga saat mediasi, merespons positif. Dia bilang polisi siap menjaga ibadah.
"Kalau mau menolak silakan ditolak. Tetap saya akan lindungi dengan darah saya. Saya lebih baik mati melindungi orang-orang yang ditindas daripada mati melindungi orang bergelimang titel dan munafik," katanya.
Dia juga bilang: "Intoleransi menandakan kita tidak dewasa. Itu menandakan kita egois. Orang egois adalah orang yang paling tolol."
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino