tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (PDF). Surat yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah itu merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/11/2020), untuk merespons kerumunan massa yang terjadi di sejumlah wilayah beberapa waktu terakhir.
Inti dari surat tersebut ada tiga. Pertama, agar kepala daerah konsisten menegakkan protokol kesehatan COVID-19; kedua, proaktif mencegah penularan yang upaya terakhirnya adalah membubarkan kerumunan; ketiga, menjadi teladan. Tiga instruksi tersebut ditambah peringatan, tertera pada poin keempat: bahwa kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya jika tidak patuh.
"Saya sampaikan kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk mengindahkan instruksi ini karena ada risiko menurut UU. Kalau UU dilanggar dapat dilakukan pemberhentian," kata Tito dalam rapat di Komisi II DPR, Jakarta, Rabu (18/11/2020).
Tito menjelaskan pemberhentian kepala daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (PDF). "Sesuai pasal 78," jelas mantan Kapolri itu. Pasal ini disalin-tempel dalam surat instruksi.
Pemberhentian yang dimaksud Tito bisa dilakukan dengan berbagai cara. Hal tersebut tertuang dalam pasal 79 yang terdiri dari tiga ayat.
Ayat (1) berbunyi: “Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden melalui Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota untuk mendapatkan penetapan pemberhentian.”
Ayat (2): “Dalam hal pimpinan DPRD tidak mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden memberhentikan gubernur dan/atau wakil gubernur atas usul Menteri serta Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.”
Ayat (3): “Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak mengusulkan pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.”
Politis
Mengingat pandemi sudah melanda Indonesia sejak berbulan-bulan yang lalu dan instruksi ini baru keluar untuk merespons kerumunan yang disebabkan oleh Rizieq Shihab dan FPI, yang merupakan individu serta organisasi oposisi pemerintah, apa yang dilakukan Tito dinilai sebagai tindakan politis belaka, alih-alih dalam rangka menekan penyebaran virus.
Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Ikhsan Maulana mengatakan instruksi ini tak lebih dari sekadar menakut-nakuti alias gertak. Faktanya proses pemberhentian kepala daerah tidak sesederhana instruksi Tito. “Prosesnya sangat panjang, dan instruksi Mendagri tidak bisa menegasikan ketentuan yang rigid di UU Pemda soal pemberhentian kepala daerah,” kata Ikhsan saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (19/11/2020) sore.
“Kasus Bupati Jember adalah contoh bahwa mekanisme pemberhentian melalui UU Pemda saja masih belum menemukan titik terang, apalagi hanya melalui instruksi Mendagri,” tambahnya.
Bupati Jember Faida dimakzulkan oleh DPRD pada Juli lalu karena dianggap telah melanggar sumpah jabatan dan melanggar peraturan perundang-undangan. Menindaklanjuti aspirasi tersebut, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa telah mengirimkan surat usulan pemberhentian kepada Tito sejak 7 Juli 2020. Namun hingga 15 November lalu, kata Inspektur Pemprov Jatim, Helmy Perdana Putera, “belum ada jawaban apa pun.” Kini Jember dipimpin Pelaksana Tugas Bupati.
Ikhsan bilang tidak adanya penjelasan soal detail isi UU Pemda membuat instruksi Tito kurang tepat.
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Bivitri Susanti juga melihat serupa. Kata Bibip—sapaan akrabnya, mengutip Pasal 78 UU Pemda tidak tepat. Justru yang lebih relevan adalah pasal 80 dan 81.
Pasal 80 dan 81 menjelaskan keputusan DPRD atau Pemerintah Pusat—jika tidak ada usulan dari DPRD—untuk memberhentikan kepala daerah harus melewati proses hukum putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai pembuktian bahwa memang ada pelanggaran. Proses ini yang belum rampung di Jember.
Alurnya seperti ini: DPRD membuat keputusan lewat rapat paripurna dan membawa keputusan itu ke MA. Jika dikabulkan, DPRD membawa keputusan itu ke Presiden (untuk level gubernur) atau Mendagri (untuk level wali kota dan bupati). Begitu juga alurnya jika tidak diusulkan oleh DPRD. Dengan kata lain, ada mekanisme panjang dalam pemberhentian kepala daerah.
“Intinya harus ada putusan MA dulu, tidak bisa langsung dicopot,” kata Bibip saat dihubungi pada Kamis sore.
Oleh karena itu ia juga menduga ada motivasi politis dari instruksi itu. “Itu instruksi bahasanya, kan, 'mengingatkan', tetapi memang seperti menakut-nakuti.”
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus menilai apa yang diinstruksikan Tito rentan menimbulkan persepsi bahwa dia tak mampu membedakan antara jabatannya saat ini dengan kewenangannya dulu, ketika jadi Kapolri.
“Dia [Mendagri] enggak sama dengan Kapolri yang kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apa saja, bisa memberhentikan kapolres, kapolda,” kata Guspardi saat dihubungi wartawan, Kamis. “Kepala daerah itu, kan, bukan dipilih oleh Presiden atau menteri. Dia dipilih oleh rakyat. Ada aturan main.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino