tirto.id - Dalam peta musik Indonesia, Palembang nyaris tidak pernah diperhitungkan. Meski begitu, kancah di Palembang bukannya sama sekali nihil riwayat historis. Pada dekade 1960-1970, Palembang punya dua musisi jagoan. Mereka adalah Arulan, yang dikenal sebagai “musisi Istana Negara,” serta kolektif rock Golden Wing, yang namanya kembali diperbincangkan setelah masuk album kompilasi bertajuk Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970 – 1978 (2011).
Butuh waktu sekitar dua dekade, tepatnya era 1990an, agar kancah musik Palembang untuk hidup lagi. Semua bermula dari sebuah tongkrongan anak-anak extreme metal di International Plaza dan komunitas hardcore, punk, dan grunge yang tergabung dalam Independent Youth Society di area pertokoan Pulomas. Dari yang awalnya hanya nongkrong, anak-anak ini lantas menuangkan gairah muda mereka lewat musik.
Gairah tersebut perlahan menciptakan ekosistem baru. Perhelatan gig mulai bermunculan di lingkungan sekitar kampus dan band-band seperti Peniti, F.O.I, Koesoet, D.J.L, Tali Jemuran, hingga Malam Satu Suro pun hadir satu per satu. Kendati tak seriuh Medan, Jakarta, atau Bandung, scene Palembang, kala itu, tetap tergolong ramai. Pencapaian penting darikancah Palembang 1990an adalah lahirnya sepasang album kompilasi, Berisik Bersatoe I (1998) dan Berisik Bersatoe II (1999), yang dikerjakan secara amatir dan dijual terbatas.
Masalah utama sekaligus menjadi ganjalan besar scene kala itu ialah minimnya sarana dan prasarana seperti studio rekaman yang layak. Bahkan, studio musik biasa pun menolak berkompromi terhadap scene dengan kerap memajang aturan larangan akan musik “keras” macam grindcore, metal, dan hardcore punk. Walhasil, rilisan musik menjadi barang langka.
Memasuki era milenium, kancah musik Palembang berkembang dengan aktivitas street gig yang menjamur di pelataran gedung DPRD Provinsi Sumatera Selatan. Dinamika scene juga turut merangkul subkultur lain yang dianggap “satu ideologi” seperti skateboarding dan BMX—keduanya berbagi tongkrongan di Lumban Tirta. Ragam musik yang dimainkan band pun tak monoton. Aliran seperti indie pop, indie rock, hingga garage rock berdatangan. Semua kian lengkap dengan pengorganisasian gig di kampus dan tempat-tempat lain yang lebih proporsional.
Upaya membangun scene terus berlanjut dan mendapati momentumnya pada 2010, ketika rilisan musik dari band-band lokal meningkat secara signifikan. Salah satu penyebabnya: internet yang mudah diakses. Dengan adanya internet, anak-anak muda Palembang seperti mendapatkan ruang tak terbatas guna menggali inspirasi dalam proses berkarya.
“Internet ini memang jadi faktor krusial. Dengan internet, scene Palembang terus tumbuh dan berjejaring,” kata Farid Amriansyah, atau akrab disapa Rian Pelorr, pegiat kancah Palembang, kepada Tirto.
Kemajuan scene Palembang bisa dilihat dari beberapa indikator. Acara tahunan Record Store Day, misalnya, tak lagi hanya tempat transaksi euforia akan vinyl, melainkan juga, mengutip pernyataan Pelorr, jadi ajang “mengapresiasi rilisan fisik serta mengapresiasi merilis rilisan fisik.” Record Store Day dipakai band-band lokal untuk bertukar demo CD. Kondisi ini, mau tak mau, turut memacu band-band lokal untuk terus produktif.
“Tiga tahun pelaksanaan, respons dari band-band muda sangat luar biasa dengan antusiasme yang besar, dan harapannya adalah, ke depan, grup musiknya bertahan dan terus aktif mengeluarkan rilisan yang bisa memperkaya warna di kancah musik lokal Palembang,” ujar Pelorr.
Sementara di saat bersamaan, sarana dan prasarana penunjang tak lagi memprihatinkan seperti era sebelumnya. Kolektif event organizer banyak bermunculan. Panggung-panggung alternatif yang mengambil lokasi di studio maupun kafe-kafe di pusat kota pun kian banyak diminati serta menjadi garda terdepan pertunjukan yang intim.
Lalu, label rekaman mandiri juga saling bertebaran. Tak ketinggalan, Palembang perlahan jadi tujuan tetap band-band dengan reputasi moncer seperti Efek Rumah Kaca, Shaggydog, Pure Saturday, Seringai, sampai Barasuara. Kondisi ini membuka kemungkinan bagi band-band lokal untuk unjuk gigi bersama nama-nama besar tersebut.
Kendati begitu, dalam perjalanannya, scene Palembang tak luput dari masalah. Kultur kekerasan dan perkelahian dalam panggung-panggung pertunjukan yang marak terjadi pada 2012 sempat membikin scene tak kondusif. Insiden tersebut kemudian sedikit banyak berpengaruh terhadap akses izin keramaian, venue, dan gedung pertunjukan, sehingga hanya menyisakan ruang bagi acara-acara bersponsor garapan event organizer.
Kehadiran event organizer pun tak selalu berdampak positif. Banyak dari mereka yang memperlakukan band-band lokal semaunya sendiri. Memotong durasi tampil hingga tidak menepati kesepakatan rider adalah dua contohnya. Mereka beranggapan, band lokal merupakan band kecil yang tak perlu diprioritaskan kala satu panggung dengan band yang lebih besar—dalam hal ini band-band tamu dari Jakarta.
Masalah demi masalah itu rupanya tak menyurutkan scene Palembang untuk terus bergerak dinamis. Pelorr mengungkapkan ada tiga tahapan yang merangkum perjalanan scene Palembang secara keseluruhan.
“Diterima di komunitas sendiri. Berjaya di kota sendiri. Dan membawa lokalitas untuk tanding tandang,” pungkasnya.
Setelah Dua Menara Roboh
Palembang sempat jadi sorotan dunia musik tanah air karena pencapaian dua band bernama Semakbelukar dan ((AUMAN)). Mereka dipandang jadi aroma segar di tengah stagnansi musik kota-kota besar, terutama di Jawa, sekaligus membungkam sinisme yang beranggapan bahwa Sumatera tak punya band berkualitas.
Semakbelukar merupakan kuarter folk Melayu yang didirikan di Palembang pada 2009 oleh David Hersya. Anggotanya terdiri dari Ricky Zulman (akordeon), Mahesa Agung (gong mini), dan Angger Nugroho (jimbrana).
“Awalnya Semakbelukar dibuat sebagai perlawanan. Tapi, lama-lama, malah jadi untuk senang-senang saja, tak begitu peduli lagi terhadap perlawanan,” kata Hersya. “Nama Semakbelukar dipilih karena layaknya bunga-bunga jika tanpa kehadiran semak belukar, niscaya takkan nampak indah.”
Selama berkarier di dunia musik, Semakbelukar telah mengeluarkan tiga mini album dan satu album kompilasi. Untuk yang terakhir, Semakbelukar bahkan diganjar penghargaan Best Album dalam ajang Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) 2014.
Akan tetapi, pencapaian dan segala puja-puji itu tak menghentikan keputusan mereka untuk bubar jalan. Pada 2013, bertempat di perpustakaan Kineruku, Bandung, mereka tampil untuk terakhir kali. Tak tanggung-tanggung, demi menegaskan sikap bahwa mereka benar-benar “selesai,” selepas konser berlangsung, Semakbelukar menghancurkan semua alat musik yang dimainkan dengan menggunakan linggis dan palu.
“Menghancurkan alat itu suatu pernyataan bahwa Semakbelukar sudah selesai dan [kami] tak akan reuni lagi,” ujar Hersya, seperti dikutip Tempo.
Pernyataan Semakbelukar sudah jelas: mereka tak akan pernah kembali. Mengharapkan mereka bernyanyi lagi adalah tindakan naif lagi sia-sia.
“Mungkin Semakbelukar tidak sabar menunggu kebebasan yang bakal segera datang selepas dibelenggu musik selama kurang lebih satu dekade,” tutur Taufiq Rahman, pemilik Elevation Records serta pendiri situs Jakartabeat, menanggapi bubarnya Semakbelukar.
Duka Palembang akibat bubarnya Semakbelukar perlahan terobati dengan pencapaian ((AUMAN)) yang menyabet penghargaan tahunan Editors’ Choice dari Rolling Stone Indonesia pada 2014. Mereka diganjar karena album debut Suar Marabahaya (2012), begitu eksepsional dan menghentak jagat rock kala itu.
((AUMAN)) beranggotakan Zarbin Sulaiman (bass), Farid Amriansyah (vokal), Aulia Effendy (drum), Erwin Wijaya (gitar), serta Ahmad Ruliansyah (gitar). Mereka memainkan heavy rock yang eksplosif. Lagu-lagu mereka bercerita tentang kondisi sosial politik, bahayanya fanatisme agama, serta kebanggaan menjadi orang Palembang. Seketika, ((AUMAN)) menjadi garda terdepan rock Palembang.
Tapi, sama seperti Semakbelukar, kiprah mereka juga tak berlangsung lama. Pada 2015, ((AUMAN)) resmi bubar. Alasannya: adanya pergeseran dari arah, tujuan, dan prioritas dari para personel.
Bubarnya Semakbelukar dan ((AUMAN)) praktis mendatangkan pertanyaan: bagaimana wajah scene Palembang setelahnya?
Jawabannya bisa bermacam-macam: ada yang ragu Palembang bisa gahar kembali usai bubarnya kedua band tersebut, tapi ada pula yang optimistis bahwa scene Palembang masih bisa bertaji.
Terlepas dari mana yang tepat, satu hal pasti, mengutip ungkapan khas Melayu, “Patah tumbuh hilang berganti takkan melayu hilang di bumi.”
Semakbelukar dan ((AUMAN)) boleh hilang, namun band-band baru yang tak kalah bernas telah banyak bermunculan.
Palembang punya Gerram, kolektif hardcore, yang album debutnya, Genderang Bencana, terpilih sebagai salah satu album terbaik versi Rolling Stone Indonesia pada 2014. Lalu, ada Archie, kelompok indie pop yang namanya semakin diperhitungkan. Black Coffee Ice yang mantap memainkan reggae dan ska. Sumar yang mengingatkan pop punk ala Descendents atau Green Day. Tak ketinggalan, ada Detention, trio hardcore punk yang sudah melepas dua album dan menjadi sosok penting dalam kancah Palembang.
Pemandangan serupa juga terjadi di ranah folk. Noviarie Pratamarsyah, solois folk yang memakai nama panggung Sembilu, mengungkapkan bahwa pergerakan folk di Palembang sangat sulit untuk melepaskan diri dari nama Semakbelukar.
“Walau telah memutuskan diri bubar beberapa tahun silam, namun keberadaan mereka di kancah musik folk Palembang, menurut saya, telah menjadi folklore tersendiri yang semakin mempertegas identitas musik Melayu,” katanya.
Meski begitu, folk di Palembang tak lantas surut usai bubarnya Semakbelukar. Justru, yang ada, folk kian bersinar. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir, folk jadi komoditi panas yang dirayakan di mana-mana, dari album sampai festival.
“Karena tak dapat dipungkiri jika kata folk itu sendiri bukan hanya sebatas warna musik, tapi juga sebuah identitas dari kehidupan rakyat yang bercerita melalui musik,” tambahnya.
Beberapa kolektif folk yang patut diwaspadai antara lain Hutan Tropis, yang getol berdendang tentang lingkungan, kesetaraan, dan kesederhanaan hidup. Kemudian ada Diroad yang menggabungkan corak musik etnik Melayu dengan warna modern dan klasik. Lirik-lirik dalam lagunya bertutur tentang adat-istiadat, budaya, dan perjalanan kehidupan.
Tak kalah seru, terdapat kelompok bernama Candei Banaspati. Kelompok ini dianggap sebagai penerus dari ragam musik tradisi Batanghari Sembilan. Lagu-lagu mereka menggunakan bahasa Besemah serta banyak berkisah mengenai pentingnya saling merawat kehidupan sampai kritik terhadap eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan tambang.
Pelorr menyebut, bubarnya ((AUMAN)) dan Semakbelukar telah meninggalkan pelajaran penting bagi band-band setelahnya. Bahwa, kata Pelorr, dalam bermusik tak ada kata “setengah-setengah.” Pilihannya tinggal satu: totalitas. Dan sikap tersebut diterapkan betul oleh pegiat scene di Palembang.
Pada akhirnya, sekali lagi, yang membikin scene Palembang bergerak dinamis adalah karena ia tak punya ekspektasi apa pun kecuali ingin terus eksis di tanahnya sendiri. Geliat kancah di Palembang merupakan hasil kombinasi antara regenerasi yang berjalan sehat, medium yang representatif, hingga gairah yang meletup di benak para scenester.
“Karena musik adalah petualangan, lihat ke mana ia akan membawa kita. Begitu juga dengan mau dibawa ke mana kancah musik lokal di Palembang selanjutnya, tergantung pada semua yang terlibat di dalamnya,” pungkas Pelorr.
========================
Tulisan ini adalah bagian dari serial liputan Musik dan Kota. Dalam beberapa hari ke depan, Tirto akan menurunkan liputan kancah musik di kota-kota luar Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Editor: Nuran Wibisono