tirto.id - Dinamika sosiopolitik dan ekonomi Jepang selama satu dekade terakhir tidak bisa dipisahkan dari sosok Shinzo Abe. Perdana menteri paling lama ini wajahnya selalu tampak letih dan serius. Fotonya yang paling ikonik mungkin terabadikan dalam pertemuan G-7 tahun 2018 silam. Abe mendekapkan kedua tangan sembari memasang raut jenuh nan maklum, sementara di depannya Kanselir Jerman Angela Merkel menekan meja dan menatap tajam Presiden AS Donald Trump.
Di balik pembawaannya yang cenderung kaku, Abe sangat menikmati kegiatan bersantai seperti menonton bioskop bersama istri dan ibunya. Film-film yang pernah ia saksikan mulai dari drama musikal Les Miserables (2012), thriller psikologis Gone Girl (2014), sampai waralaba fiksi sains Star Wars. Ia juga menggemari karya-karya dari sutradara-aktor Clint Eastwood.
Kegemaran terhadap film bahkan membuatnya pernah mengaku akan menggeluti bidang tersebut setelah pensiun dari politik. “Mungkin saya akan menyutradarai film yakuza. Hasilnya berupa gabungan dari sentuhan dokumenter Jingi Naki Tatakai dan The Godfather,” ujarnya dalam wawancara tahun 2010 silam. Film yang disebut pertama, disutradarai oleh Kinji Fukasaku pada 1973, terinspirasi dari kisah nyata tentang perebutan kekuasaan bos-bos yakuza di Hiroshima.
Sayangnya keinginan ini belum juga terwujud meski ia sudah mengundurkan diri karena sakit pada 2020 silam. Hal ini terjadi karena Abe masih dianggap berpengaruh di lanskap politik Jepang, termasuk sebagai pemimpin de facto faksi terbesar Liberal Democratic Party (LDP), partai konservatif yang mendominasi Jepang selama lebih dari setengah abad.
Abe masih disibukkan dengan aktivitas di atas podium: dari mulai memberikan pidato tentang relasi Jepang-Taiwan, mengadvokasikan pentingnya menambah anggaran militer, sampai bermain piano untuk acara wisuda kampus. Ia juga masih membantu mengampanyekan kandidat caleg.
Kegiatan yang disebut terakhir salah satunya dilakukan Abe di kota seribu rusa, Nara, pada siang hari Jumat 8 Juli 2022. Tak seorang pun menduga itulah orasi terakhir Abe. Dari kerumunan massa, seorang mantan marinir menembaknya dengan senjata rakitan. Abe dinyatakan meninggal dunia pada sore harinya.
Awal Kiprah Abe di Politik
Sejumlah media internasional mengenang Abe dengan cara yang berbeda dan kontras satu sama lain.
Ada yang menganggapnya bak pahlawan. Time, misalnya, menulis bahwa “Abe adalah pemimpin luar biasa... Karisma, kekuatan kepribadian, dan bakat politik yang hebat memberinya tempat abadi dalam imajinasi warganya.” The Economist memujinya sebagai “jagoan Jepang” dan BBC menyebutnya “sangat populer” tapi juga seorang ”nasionalis konservatif.”
Beberapa yang lain lebih konfrontatif. Situs berita radio Amerika Serikat, NPR, menyebutnya “tokoh konservatif pemecah belah,” istilah yang lebih dulu disematkan oleh Associated Press.NPR juga melabelinya “ultranasionalis.” Sementara CBS Mornings menjabarkan Abe sebagai “figur yang mempolarisasi” serta “nasionalis dan konservatif sayap kanan” dengan “pandangan-pandangan politik kontroversial.”
Abe memang memiliki segudang kisah yang membuatnya sulit dikategorikan dalam satu istilah.
Perkenalan dengan politik praktis dimulai ketika ia mengasisteni bapaknya yang menjabat Menteri Luar Negeri Jepang periode 1982-1986, Shintaro Abe. Ia benar-benar mendapat tempat dalam politik setelah terpilih sebagai anggota DPR pada 1993. Pada tahun itu juga karier Abe di LDP, partai tempat keluarganya lebih dulu berkiprah, mulai meroket.
Pada 2000, Abe diangkat sebagai Wakil Sekjen LDP dan menjalin hubungan dekat dengan perdana menteri populis Junichiro Koizumi. Enam tahun kemudian, ia terpilih jadi Ketua LDP, posisi yang otomatis membuatnya jadi perdana menteri termuda Jepang sejak 1941.
Di jabatan baru tersebut, politikus yang kala itu baru berusia 52 ini berambisi merevisi Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang atau yang juga disebut dengan konstitusi pasifis. Peraturan ini ringkasnya melarang Jepang memiliki militer yang ofensif. Tujuannya agar mereka tak lagi menjadi negara imperialis. Aturan ini dibuat setelah Jepang kalah Perang Dunia II dan ketika sedang diduduki Sekutu yang dipimpin AS.
Visi ini mirip dengan keinginan kakeknya, Perdana Menteri Nobusuke Kishi (1957-1960). Ia berharap Jepang bisa setara dengan negara-negara maju dan merdeka lain, terutama lebih mandiri secara militer dari bayang-bayang AS. Hanya saja rencananya ditolak publik yang khawatir akan dampak negatifnya.
Dalam pidato tahun 2006, Abe mengatakan kebijakan pasifis tak bisa lagi dipertahankan karena begitu banyak ancaman bagi Jepang, dari mulai senjata pemusnah masal, terorisme, dan konflik-konflik regional.
“Komunitas internasional meminta Jepang agar berkontribusi lebih banyak untuk perdamaian dan stabilitas dunia,” ujarnya, “maka dari itu, saya, yang memikul tanggung jawab besar... harus mempertimbangkan kebijakan keamanan terbaik untuk melindungi bangsa dan rakyat.”
Mungkin karena percaya dengan fungsi militerlah Abe tidak sensitif terhadap riwayat kekejaman negaranya di masa lalu. Contohnya terjadi pada 2007 lalu. Saat itu ia menepis protes dari publik Cina dan daratan Korea tentang jugun ianfu, perbudakan seksual oleh tentara Jepang di masa penjajahan.
Administrasinya kian tidak populer setelah dihinggapi berbagai skandal, termasuk kehilangan anggota kabinet yang tersandung masalah keuangan sampai bunuh diri. Abe sendiri disinyalir terlibat penghindaran pajak. Tak sampai setahun setelah diangkat jadi perdana menteri, Abe mundur karena alasan sakit.
Kembalinya Abe
Abe menemukan jalan kembali ke kursi perdana menteri pada pengujung 2012. Ketika itu ia begitu disambut antusias oleh publik.
Ia mengaku saat tidak aktif sebagai pejabat publik selama enam tahun “berkeliling negeri sekadar untuk mendengarkan.” Saat itulah menurutnya ia mendengar “rakyat menderita karena kehilangan pekerjaan akibat deflasi dan apresiasi mata uang,” bahkan “beberapa orang tak punya harapan akan masa depan.”
“Maka dari itu prioritas administrasi kedua saya adalah menyingkirkan deflasi dan mengembalikan ekonomi Jepang,” papar Abe saat diwawancaraiForeign Affairs.
Saat itu stagnasi ekonomi memang masih berlangsung di Jepang sejak dua dekade terakhir. Jepang kian hanyut dalam gelombang resesi ketika terjadi gempa bumi dan tsunami di Fukushima pada 2011.
Abe hadir menjanjikan obat mujarab yang terdiri dari strategi kebijakan moneter dan fiskal serta reformasi struktural—dikenal sebagai Abenomics. Termasuk di dalamnya mendorong partisipasi pekerja perempuan dan melonggarkan kebijakan imigrasi untuk merekrut lebih banyak pekerja asing. Tujuannya tak lain untuk menutup kekurangan tenaga kerja seiring jumlah lansia meningkat.
Kian digencarkan pula strategi soft power “Cool Japan”: ekspor produk budaya (anime, manga, kuliner) termasuk promosi pariwisata agar turis mau berdatangan.
Ia juga bergerak cepat di kancah internasional. Abe dipandang berhasil membuat Jepang lebih terbuka dan aktif dengan, misalnya, mengikuti perjanjian perdagangan bebas Trans-Pacific Partnership (TPP). Ini adalah juga merupakan upaya untuk menangkal kuatnya ekspansi dagang Cina. Abe kelak berjasa menghidupkannya lagi setelah salah satu nakhodanya, pemerintah AS, hengkang lewat inisiatif Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPATPP).
Persahabatan Jepang dan Eropa juga kian kuat melalui Economic Partnership Agreement (EPA), yang diakui sebagai “perjanjian dagang terbesar yang pernah dinegosiasikan Uni Eropa.” Abe juga berada di balik forum diskusi tentang strategi keamanan antara Jepang, AS, India, dan Australia yang disebut Quad. Tujuannya tidak lain juga menghalau ekspansi Cina di Laut Cina Timur dan Selatan.
Atas segala kebijakannya Abe lekas mendapat pujian. Media propasar Economist edisi Mei 2013 atau tak sampai setengah tahun menjabat, misalnya, menurunkan laporan dengan ilustrasi Abe dalam balutan kostum Superman. Kala itu pasar modal Jepang dilaporkan tumbuh sampai 55 persen, ekonomi kuartal pertama pun positif.
Pada 2017, ketika Abe dan partainya kembali menang pemilu, tingkat pengangguran di Jepang hanya 2,7 persen, terendah sejak 1994. Sampai 2019, jumlah pekerja perempuan meningkat hingga 3 juta orang. Dukungan Abe terhadap pekerja perempuan juga ditunjukkan lewat janji memperbanyak jumlah layanan penitipan anak sampai 320 ribu. Lebih dari 2,8 juta warga negara asing bekerja di Jepang—meningkat sampai 40 persen sepanjang kepemimpinan Abe.
Meskipun pakar setuju bahwa Abenomics membantu Jepang jadi lebih tangguh dari guncangan, Abe tetap dianggap tidak sempurna.
Selama lebih dari delapan tahun berkuasa, ekonom mencatat rata-rata pertumbuhan PDB hanya 0,9 persen. Ambisi Abe untuk mencapai rekor nilai PDB sampai 600 triliun yen pada 2020 juga gagal.
Abenomics juga dikritik memperlebar jurang ketimpangan upah karena mendorong semakin banyaknya pekerjaan rentan (tidak mendapat cukup manfaat atau tunjangan serta mudah dipecat) yang bergaji relatif rendah.
Abenomics pun tidak serta merta meningkatkan kualitas pekerja perempuan. Di balik jumlahnya yang meningkat, 56 persen perempuan bekerja di ranah nonreguler (sebagai pekerja paruh waktu atau kontrak). Dari persentase tersebut, 83 persennya menerima gaji tahunan kurang dari 1,9 juta per tahun (median gaji tahunan pegawai tetap berkisar 4,5 juta yen). Perempuan yang bekerja di level eksekutif perusahaan hanya 3,7 persen, sementara 73 persen perusahaan bahkan tidak punya pekerja perempuan di tingkat manajemen.
Jepang juga masih terseok di indeks ketimpangan gender, dari peringkat ke-111 pada 2016 jadi 114 setahun kemudian.
Editor: Rio Apinino