Menuju konten utama

Gaya 'Orde Baru' Menkominfo Johnny Plate saat Bicara Pers yang Baik

Saat Orde Baru, pemerintah bicara soal "pers yang bertanggung jawab." Pola pikir ini masih ada.

Gaya 'Orde Baru' Menkominfo Johnny Plate saat Bicara Pers yang Baik
Jonny G Plate memberikan keterangan kepada media terkait penyelenggaraan Kongres II Partai Nasdem di Kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta, Rabu (6/11/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - "Memberikan catatan soal kebebasan pers," contohnya "kebebasan pers yang bertanggung jawab," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, Selasa (10/12/2019), adalah "konsep yang selalu dipakai di zaman Orde Baru."

Pada masa itu, perusahaan pers bisa legal dan dapat menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya setelah mendapatkan Surat Izin usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang dasar hukumnya Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1984.

Dalam praktiknya, SIUPP menjadi musuh kebebasan pers. Ia dipakai rezim untuk mengontrol media. Pers yang dianggap bandel oleh pemerintahan Orde Baru akan dicabut SIUPP-nya.

"Pers yang bebas tapi bertanggung jawab" juga disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers.

SIUPP ini dicabut pada era Presiden ketiga Indonesia, BJ Habibie. Karena peraturan ini dicabut, kontrol langsung pemerintah terhadap pers perlahan memudar, hingga sekarang.

Meski tak lagi ada instrumen hukum untuk mengontrol pers secara langsung, pola pikir untuk membatasi kerja-kerja jurnalistik ternyata masih ada di kepala Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.

Selasa (10/12/2019) kemarin, Plate berkata meski pers perlu menyampaikan hal-hal yang benar kepada masyarakat, menurutnya tak semua hal yang benar itu perlu disampaikan.

"Pertanyaannya, apakah semua hal itu benar untuk sampai ke masyarakat?" kata politikus dari Partai Nasdem itu.

"Hal-hal yang benar dan baiklah yang perlu ditransmisikan kepada masyarakat. Ini demi kepentingan masyarakat, demi kepentingan negara," tambahnya.

Baginya kebebasan pers mesti diikuti tanggung jawab menjaga kepentingan bangsa.

"Kualitas informasi apa yang perlu kita transmisikan dan informasi seperti apa yang harus kita saring? Itu ada di pers, bukan yang lain," ujar mantan anggota DPR itu.

Plate menyinggung kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu. Kemkominfo, katanya, "berada di barisan paling akhir."

"Anda (pers) di lapangan yang di depan, yang mengangkat kata peace."

Dalam konteks itu pula Plate bilang saat ini pemerintah berupaya memulihkan situasi pasca-konflik. Karena itulah ia berharap "pers bekerja sama dengan visi yang sama."

"Kami mempunyai tugas sama-sama menjaga situasi kembali menjadi normal. Itu terkait dengan HAM dan kebebasan pers."

Menurut Abdul Manan, apa yang dikatakan Plate itu bukti bahwa pola pikir pemerintah belum beranjak jauh kala memandang pers.

Saat pemerintah bicara soal tanggung jawab, kadang itu berbenturan dengan kebebasan yang dijunjung tinggi pers, ujar Manan. Contohnya pemblokiran akses internet di Papua oleh pemerintahan Jokowi, beberapa waktu lalu.

"Dia merampas kebebasan untuk mendapatkan informasi," kata Manan, menegaskan saat ini AJI tengah menggugat Kemkominfo soal pemblokiran tersebut.

Pernyataan Plate terutama soal istilah "pers mengabarkan berita baik, tak hanya yang benar" dikritik oleh Direktur LBH Pers Ade Wahyudin.

"Istilah berita yang baik dalam pernyataan ini tergantung dari sudut mana. Jangan sampai berita yang isinya mengkritik pemerintah dianggap berita yang tidak baik oleh pemerintah," Kata Ade kepada reporter Tirto, Selasa (10/12/2019) malam.

Ade menegaskan ukuran pemberitaan yang baik dalam pers adalah terpenuhinya kode etik jurnalistik, termasuk informasi akurat, berimbang, dan tidak sadis serta cabul. Ia tak peduli apakah itu mengkritik atau malah mengapresiasi pemerintah.

Alih-alih berupaya membatasi, pemerintah semestinya mendukung kerja-kerja jurnalistik dengan memberi jaminan keselamatan dan perlindungan terhadap jurnalis, ujar Ade.

Masalahnya, hal itu belum berlaku sepenuhnya di Indonesia. Saat meliput demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil di DPR, September lalu, misalnya, beberapa jurnalis menjadi subjek kekerasan dan intimidasi polisi.

Jawaban Plate

Kepada reporter Tirto, Rabu (11/12/2019), Plate menegaskan apa yang sudah dia sampaikan pada Selasa kemarin.

Salah duanya: pemerintah tidak lagi menjadi penentu apa saja informasi yang dikonsumsi masyarakat dan pers penting karena saat ini yang terjadi adalah banjir informasi; kabar benar dan bohong tercampur di dalamnya. Ia kembali berharap pers sejalan dengan apa yang diagendakan pemerintah.

Meski demikian, Plate menegaskan pemerintah mengapresiasi pers yang mengkritik, asal dengan basis data.

"Di era demokrasi seperti sekarang, kritik merupakan bagian dari checks and balances. Kritik yang didukung data yang akurat dan memadai akan diapresiasi," kata Plate.

Ia mengklaim bahwa "sejauh ini pekerjaan jurnalistik tidak terganggu."

"Dan harapan saya ke depan juga tidak terganggu," tambahnya.

Baca juga artikel terkait PERS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino