tirto.id - "Emang sudah gila otak gue ya kan. Gue yang bikin aturan, gue juga yang enggak tahu, gue juga yang bingung, gue juga yang protes sendiri. Masuk akal enggak tuh?"
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Viani Limardi meradang. Ia kena razia kebijakan ganjil-genap yang diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan ganjil genap di ibu kota kembali berlaku per 12 Agustus 2021.
Wacana tersebut diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo pada 10 Agustus 2021.
"Kami akan memberlakukan kembali Kawasan Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap pada ruas-ruas jalan tertentu. Kami imbau juga kepada masyarakat agar tidak melakukan mobilitas yang tidak perlu, kecuali yang bersifat mendesak dan tetap patuhi protokol kesehatan," kata Syafrin pada Selasa (10/8/2021).
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo mengatakan 100 titik penyekatan di daerah Jakarta dan sekitarnya diganti dengan tiga kebijakan baru, salah satunya penerapan ganjil-genap yang dimulai pada 12 Agustus 2021.
“Sudah (dimulai penerapan ganjil-genap)” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (12/8/2021).
Penerapan sistem ganjil-genap berlaku di delapan ruas jalan, yakni Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Pintu Besar Selatan, dan Jalan Gatot Subroto. Kegiatan ini berlangsung pukul 06.00-20.00.
Selain ganjil genap, pemerintah menggunakan konsep patroli petugas gabungan TNI-Polri. Setidaknya ada 20 titik ruas jalan yang dimonitor, yakni Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin, Jalan Sabang, Jalan Bulungan, Jalan Asia-Afrika, Banjir Kanal Timur, Kota Tua, Kelapa Gading, Kemang, Kemayoran, Sunter, Jatinegara, Pintu I Taman Mini, Pantai Indah Kapuk, Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Jalan Raya Bogor, Jalan Mayjend Sutoyo (Cawang hingga PGC), Otista-Dewi Sartika, Warung Buncit-Mampang Prapatan dan Ciledug Raya.
Kebijakan ketiga ialah pengendalian mobilitas dengan sistem rekayasa lalu lintas. Aturan ini bersifat situasional, artinya disesuaikan dengan kondisi lalu lintas di kawasan tersebut. Misalnya, jika ada kemacetan yang berpotensi menimbulkan kerumunan.
Meski sudah berjalan, pihak Provinsi DKI Jakarta mengklaim penerapan pembatasan sudah berjalan baik meski masih ada kendala.
"Sementara ini alhamdulillah berjalan dengan baik, sekalipun masyarakat mungkin sebagian ada yang belum paham," kata Wagub DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Kamis, 12 Agustus 2021.
Riza meminta publik mulai memahami penerapan ganjil genap sehingga pelaksanaan ganjil genap kali ini berjalan lancar. Ia pun mengatakan DKI masih menerapkan surat tanda registrasi pekerja untuk masuk-keluar Jakarta.
"Sementara ini kan sudah mulai dibuka penyekatan. Jadi akan diatur kemudian ya. Bagi yang STRP kan tetap diperlukan bagi mereka yang dari daerah dan sebagainya ya keluar masuk Jakarta," kata Riza.
Ganjil Genap saat Pandemi, Tepatkah?
Sebagai catatan, DKI Jakarta masih masuk pada Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 atau level tertinggi dalam penanganan pandemi. Hal tersebut sesuai Inmendagri Nomor 30 tahun 2021 tentang PPKM Jawa-Bali.
Berdasarkan data Satgas COVID-19 per 12 Agustus 2021, kasus kumulatif Jakarta mencapai 836.687 kasus. Angka penambahan harian pada 12 Agustus adalah 1.078 kasus atau peringkat 8 dalam penambahan kasus secara nasional.
Dalam seminggu terakhir, kasus COVID Jakarta di atas 1.000 pasien, kecuali pada 9 Agustus 2021 pada angka 727 kasus dengan angka tertinggi dalam seminggu terakhir adalah 6 Agustus 2021 sebanyak 2.185 kasus. Kasus konfirmasi positif Jakarta memang mengalami pelandaian, tetapi apakah itu tepat?
Peneliti kebijakan publik Perkumpulan PRAKARSA Eka Afrina Djamhari berpendapat penerapan ganjil genap belum tepat. Ia beralasan, Jakarta masih berstatus level 4 dalam penanganan COVID-19.
"Sebetulnya untuk penerapan ganjil genap itu nggak efektif sama sekali," kata Eka kepada reporter Tirto, Jumat (13/8/2021).
Alasannya, kata dia, penyekatan yang berlangsung selama ini di masa PPKM darurat belum efektif. Pemerintah justru membuka mobilitas masyarakat lewat ganjil-genap. Padahal, perilaku masyarakat sudah tidak ingin bermobilitas karena susah bepergian akibat ada kebijakan SIKM.
"Kalau kita mau membatasi mobilitas, nggak tepat sih. Kemarin sudah tepat penutupan full begitu, jadi orang beralih ke kendaraan umum dan orang malas pakai kendaraan umum jadi akhirnya orang di rumah. Sekarang gak terlalu efektif," kata Eka.
Di sisi lain, mobilitas tidak serta-merta membuat ekonomi hidup. Ia mengakui pembukaan tempat usaha dan mobilitas sebagai upaya mengaktifkan ekonomi daerah. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak serta-merta membawa ekonomi Jakarta pulih jika menggunakan pendekatan ekonomi.
Ia beralasan, daerah Jakarta masih berstatus level 4 penanganan COVID. Masyarakat juga belum tentu ke mal. Sejumlah masyarakat, terutama fokus pada kesehatan, akan lebih memilih berbelanja atau beraktivitas khusus di dekat rumah saja.
Oleh karena itu, menurut Eka, ganjil genap belum bisa dilakukan saat ini, apalagi beberapa daerah mulai melonggarkan penyekatan. Penyekatan adalah cara paling efektif hingga pandemi di Jakarta menurun.
"Efektif penyekatan dulu sementara sampai situasinya betul-betul tertekan (kasus COVID)," kata Eka.
Pemerintah Tidak Boleh Lupa Testing, Tracing dan Treatment
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman beranggapan, ganjil-genap adalah sebuah kebijakan pembatasan seperti PSBB, PPKM maupun lockdown di Indonesia. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa pembatasan bisa saja dikesampingkan jika testing, tracing dan treatment (3T) kuat di suatu daerah.
"Hakikatnya pembatasan itu strategi penguatan, strategi tambahan untuk namanya kalau penguat berarti ada yang sangat mendasar, apa? Ya 3T. Isolasi karantina. Itu yang harus diperkuat dan ditingkatkan," kata Dicky kepada reporter Tirto, Jumat (13/8/2021).
Dicky mengatakan, pembatasan hanya penunjang dalam penanganan pandemi. Pembatasan, kata Dicky, tidak bisa dilakukan dalam rentang waktu lama. Ia beralasan, pembatasan bisa mengganggu situasi masyarakat padahal poin utama penanganan pandemi berfokus pada 3T.
"Pembatasan itu berat ongkosnya dan secara sosial ekonomi politik sehingga yang harus dikejar diperkuat esensinya, esensi responsnya yang 3T itu," kata Dicky.
Bagi Dicky, pemerintah harus mulai memahami risiko di masa pandemi. Sebagai contoh, masyarakat sadar dampak ketika beraktivitas di masa pandemi dan bisa meminimalisir risiko terpapar. Pemerintah bertugas membantu agar penerapan 3T berjalan lancar. Dalam pandangan Dicky, Jakarta belum bisa menerapkan pembatasan ideal dalam penanganan pandemi.
"Kalau bicara menerapkan pembatasan, kalau bicara ideal, konsep ideal memang belum, tapi kalau bicara konsep realita di mana pemerintahan daerah sekarang tertekan secara ekonomi dan sosial ya, itu bisa dimaklumi adanya pembatasan pelonggaran ini. Pelonggaran dengan bentuk pembatasan ganjil genap ini," kata Dicky.
Di sisi lain, pemerintah juga harus sadar DKI Jakarta tidak bisa berjalan sendiri. 3T daerah penyangga Jakarta harus ikut berjalan dengan baik agar penanganan COVID berjalan optimal, kata dia.
"Jadi itu esensinya sehingga sekali lagi ya aktivitas ini, ya bisa dilakukan tapi kalau tidak memperkuat 3T secara merata di semua daerah, tambah nanti vaksinasinya, ya ini akan jadi lama dan makin banyak batasan-batasannya. Repot kan?" kata Dicky.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz