tirto.id - Prof. Suhatno, dr., SpOG (K)-Onk, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya, meninggal dunia karena COVID-19 dalam usia 76 tahun, Minggu (8/8/2021). Ia dikenal pasiennya sebagai dokter bertangan dingin yang pemberani dan guru yang rendah hati oleh para murid-muridnya.
Nia barangkali tak bisa melewati masa-masa sulitnya ketika hamil dan diburu aparat andai ia tak bertemu dokter Suhatno. Nia muda adalah seorang mahasiswi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya cum aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Ia yang saat itu sudah menikah juga dengan seorang aktivis diburu aparat atas serangkaian aktivitas perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Suaminya juga diburu dan Nia ditangkap pada September 1996 dalam kondisi hamil. Ia dibawa ke markas TNI bersama sejumlah aktivis. Lantaran hamil dan sakit, Nia dilepas sebagai tahanan luar. Namun ia tak benar-benar bebas, semua kegiatannya dipantau intelijen termasuk ketika ia harus memeriksakan kehamilannya ke dokter Suhatno.
Sampai di ruang pemeriksaan, orang tua Nia bertanya ke dokter Suhatno dan bilang hendak memeriksakan kandungan Nia. Ia memastikan apakah dia bersedia dan berani merawat anaknya yang berstatus tahanan politik dan diburu rezim Orde Baru.
“Berani tidak dok merawat anak saya?” tanya ibu Nia.
“Wah, ya berani. Apa yang harus ditakutkan, wong saya tidak ada urusan dengan urusan politik,” jawab Suhatno.
Nia diperiksa lalu diberikan obat penguat kandungan. Beberapa hari kemudian ia kembali ke dokter Suhatno lantaran mengalami pendarahan. Nia mengalami keguguran, ia kemudian rutin periksa dari 1996-1997.
Akhir 1997 Nia hamil lagi dan kembali rutin memeriksakan diri ke dokter Suhatno. Awal 1998 menjelang tumbangnya rezim Soeharto, tensi politik memanas, Nia kembali kerap dipanggil diintrogasi aparat.
Beberapa kali memeriksakan diri ke dokter Suhatno, ia diikuti intel di luar ruangan periksa. Ia lagi-lagi melewati kondisi kehamilan yang tak mudah melawan represi yang membuatnya stres. Dengan kondisi itu, dokter Suhatno lah yang merawatnya.
April 1996, Nia melahirkan anak pertamanya. Aparat makin sering mengikuti, rumah Nia juga digeledah mencari suami Nia yang dikira mendampingi proses lahiran. Tak hanya keluarga yang diresepsi, dokter Suhatno yang merawatnya juga dicegat dan diintrogasi.
“Tadi saya ada yang setop mobil saya,” kata Suhatno.
“Setop gimana dok?” tanya Nia.
“Dia tanya apakah suamimu ada. Saya bilang saya tidak tahu suaminya ada atau tidak. Kewajiban saya adalah menolong pasien untuk melahirkan,” jawab Suhatno.
Nia yang saat ini berusia 47 tahun bercerita kepada saya melalui telepon, Senin (9/8/2021). Ia tak bilang kabar meninggalnya dokter Suhatno, pada 8 Agustus 2021, buatnya teringat bagaimana jasa-jasa dokter yang menolongnya itu.
Meski kala itu mendapatkan intimidasi lantaran merawat seorang tahanan politik, tetapi menurut Nia dokter Suhatno tetap memberikan pelayanan terbaik untuknya. “Beliau menghadapi saya tetap dengan senyum dan tangan dinginnya sebagai dokter yang merawat seorang ibu muda,” kata Nia.
Diar Mia Ardani, putri dokter Suhatno bilang ayahnya adalah sosok yang ringan tangan pada siapapun tanpa melihat latar belakangnya. Dan itu yang selalu dipesankan kepada anak-anaknya agar menolong tanpa pamrih.
“Sangat murah hati suka memberi kayak sinterklas ke siapa saja. Pesannya waktu itu ke saya agar bekerja banyak-banyak bersyukur dengan perkataan dan perbuatan, misalnya menolong sesama tanpa pamrih,” kata Mia kepada saya melalui sambungan telepon, Selasa (10/8/2021).
Mia yang kini berusia 47 tahun juga merupakan dokter, ia dokter spesialis telinga hidung dan tenggorokan (THT) yang bertugas di RSUD dr Soetomo Surabaya. Di rumah sakit itu juga sang ayah bekerja. Ia tahu betul bagaimana hubungan sejawat dan rekan kerja dan murid-muridnya di rumah sakit. Banyak memberikan teladan dan rendah hati, kata dia.
Sepanjang hayatnya selain membantu banyak pasien, menurut Mia sumbangsih terbesar sang ayah adalah turut melahirkan dokter-dokter handal di masa kini. “berdedikasi mendidik muridnya sehingga mahir yang tersebar sampai ke daerah-daerah,” kata Mia.
Dedikasi Tinggi
Suhatno menempuh pendidikan dokter di FK Unair dan lulus pada 1970 serta mengabdikan diri di Unair setahun setelahnya. Ia melanjutkan pendidikan spesialis obstetri dan ginekologi di universitas yang sama dan lulus 1976. Lalu pada 2003 ia menyelesaikan pendidikan spesialis konsultan onkologi ginekologi. Kemudian pada 2010, Suhatno dikukuhkan menjadi guru besar FK Unair.
Selain aktif mengajar, ia sebelumnya juga masih berpraktik di sejumlah rumah sakit di Surabaya. Salah satu murid dokter Suhatno, yang sekarang menjadi Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK Unair Brahmana Askandar bilang dokter Suhatno adalah guru memiliki dedikasi sangat tinggi dan rendah hati.
“Dedikasi dan loyalitasnya sangat luar biasa. Bahkan kemarin saat beliau dalam kondisi sakit pun masih mengajar lewat online ketika pada hari-hari pertama perawatan [karena COVID-19]” kata Brahmana kepada saya, Selasa.
Brahmana mengenal dekat dokter Suhatno ketika ia menjalani pendidikan spesialis obstetri dan ginekologi pada 1999. Setelah lulus, ia kemudian diminta oleh dokter Suhatno untuk mengajar di FK Unair. Beberapa waktu kemudian Brahmana juga diminta menggantikan dokter Suhatno praktik di sebuah rumah sakit.
Bagi Brahmana, dokter Suhatno adalah salah satu orang yang berpengaruh terhadap perjalanan kariernya sebagai dokter dan kini menjadi doktor di FK Unair. “Orang yang mengajari saya mengerjakan operasi kanker adalah Prof Suhatno. Saya diajari operasi yang sulit-sulit oleh beliau,” katanya.
Dekan FK Unair, Budi Santoso saat upacara pelepasan bilang bahwa tak ada satupun ahli obstetri dan ginekologi lulusan FK Unair yang tidak melalui sentuhan bimbingan operasi dan ujian di meja operasi dokter Suhatno.
“Beliau guru di meja operasi yang kalau menurut saya terbaik. Skillnya luar biasa. Mengerjakan dengan metode ABCD, tapi dengan cara yang gamblang sehingga asistennya bisa dengan mudah memahami. Sesuatu yang susah jadi gampang di tangan beliau,” kata Budi.
Tak jarang sejumlah dokter spesialis obstetri dan ginekolog yang kesulitan melakukan operasi akan meminta bantuan dokter Suhatno. Spesialisasinya di Bidang Onkologi Kandungan menjadikannya kerap melaksanakan operasi-operasi berat. Misalnya operasi indung telur, kanker rahim, dan operasi daerah kelenjar terkait kanker kandungan.
Brahmana yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kota Surabaya menyebut, dokter Suhatno merupakan dokter ke-18 yang meninggal dunia karena COVID-19 dalam dua bulan terakhir.
Surabaya atau Jawa Timur pada umumnya menjadi provinsi dengan kematian dokter paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Tim Mitigasi IDI per 3 Agustus 2021 dari total 640 dokter yang meninggal karena COVID-19, 140 di antaranya ada di Jawa Timur.
Dari total dokter yang meninggal itu 31 dokter di antaranya berstatus guru besar. Meninggalnya dokter Suhatno ini makin menambah panjang daftar guru besar yang meninggal karena COVID-19.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz