tirto.id - Pada masa pandemi COVID 19, Nancy Pelosi tidak hanya dikenal sebagai ketua DPR tetapi juga dipandang sebagai ikon fesyen karena belakangan ini ia selalu menyesuaikan warna dan motif masker wajah sesuai dengan busana. Di tubuh Pelosi, masker tidak sekadar benda pelindung diri melainkan juga aksesori yang membuat penampilannya lebih mencolok. Majalah gaya hidup Elle mencatat masker-masker tersebut dibeli di butik fesyen langganan Pelosi selama puluhan tahun, Donna Lewis.
Masker dari kain katun seharga $22 adalah proyek amal desainer Donna Lewis. Lewis berkata kepada Elle bahwa ia akan menyumbangkan satu masker kesehatan ke tenaga medis di Johns Hopkins Hospital untuk setiap masker yang terjual. Kini Lewis kebanjiran order dua ribuan masker setelah publik tahu Pelosi memakai masker buatannya. “Efek Nancy. Setelah dia memakai masker kami, permintaan terhadap produk masker meningkat gila-gilaan,”
Yang perlu digarisbawahi, penampilan mencolok Pelosi bukan semata karena ia pecinta fesyen. Ia rela datang ke butik untuk memilih beragam motif masker yang cocok dengan baju-bajunya. Pasalnya, bagi Pelosi, masker dan gaya fesyennya secara keseluruhan adalah cerminan sikap dan pandangan-pandangan pribadinya dalam kapasitas sebagai ketua DPR AS.
Vanessa Friedman, kritikus fesyen yang konsisten mengamati gaya busana Pelosi, berpendapat bahwa penampilan Pelosi dengan masker yang ia kenakan saat disorot para jurnalis, menyampaikan makna bahwa ia tidak menyepelekan aturan yang mengharuskan publik mengenakan masker wajah demi kesehatan bersama. Ia mau membuktikan sekaligus menginspirasi publik untuk tetap mengenakan masker dan tidak bersikap ceroboh seperti rekan sesama politisi--termasuk Trump-- yang tidak terlalu mengindahkan aturan penggunaan masker.
“Ia menunjukkan kebiasaan baik mengenakan masker, meningkatkan kesadaran publik, sekaligus membantu keberlangsungan bisnis UKM,” tulis Friedman dalam New York Times (20/5). Menurut Friedman, Pelosi selalu saja menemukan jalan untuk membuat dirinya lebih dilihat dan didengar orang, “bahkan ketika ia tidak sedang berkata apapun”.
Hal itu salah satunya ia tunjukkan dengan gaya busana. Sampai saat ini setidaknya ada tiga momen utama di mana Pelosi dan busananya jadi perbincangan kritikus fesyen dan para jurnalis mode.
Contoh pertama ketika Pelosi menggunakan pantsuit atau setelan jas putih ketika mengumumkan bahwa timnya akan memulai penyelidikan untuk pemakzulan Trump.
Menurut Friedman, saat itu Pelosi memilih pantsuit guna menyimbolkan semangat gerakan suffragette yang menuntut hak pilih perempuan di Inggris 1903. Perjuangan kaum suffragette saat itu diisi dengan aksi mogok makan, mengikat diri di rel kereta, perusakan gedung agar aspirasi mereka didengar. Gerakan Suffragette kemudian menginspirasi perempuan-perempuan di negara lain untuk melakukan gerakan serupa.
Pelosi adalah politisi yang bersikeras bertindak agar Trump dipecat. Di matanya, Trump telah melanggar konstitusi dan sumpah jabatan sebagai presiden.
Bagi Pelosi langkah ini benar-benar penting sampai-sampai busana yang ia kenakan ketika mengumumkan penyelidikan harus selaras dengan pikirannya. Pada 9 Januari lalu, Time menerbitkan hasil wawancara Pelosi dengan jurnalis Molly Ball. Pelosi berkata kepada Ball, ”Pemakzulan adalah inisiatif paling serius yang pernah aku lakukan sepanjang karierku”.
Dalam tulisannya, Ball menyatakan bahwa Pelosi adalah tipe orang yang berani ambil risiko--termasuk rela mempertaruhkan jabatan dan reputasinya di dunia politik lewat inisiatif pemakzulan--ambisius, bertekad kuat, dan selalu mengontrol segala sesuatu sampai hal-hal kecil seperti kursi yang diduduki hakim.
Contoh kedua adalah ketika Pelosi menyampaikan sumpah jabatan sebagai ketua DPR AS. Saat itu ia mengenakan terusan berwarna merah muda terang. “Dia tahu busana itu bisa membuat ia tampil mencolok. Warna tersebut biasanya diasosiasikan dengan kesan feminin tetapi saat itu Pelosi membuat kesan bahwa merah muda bisa diasosiasikan dengan kekuasaan. Keputusan ini strategis,” tulis Friedman.
Contoh berikutnya adalah ketika Pelosi mengenakan mantel oranye saat menghadiri pertemuan dengan Trump untuk membahas pendanaan pembangunan di kawasan perbatasan AS. Warna coat yang mencolok dan gaya Pelosi keluar dari ruang pertemuan mengundang komentar warganet--salah satunya Berry Jenkins, sutradara film Moonlight yang ternyata juga pemerhati fesyen Pelosi. Mereka memuji penampilan Pelosi dan hendak membeli coat tersebut. Tapi yang lebih mencuri perhatian dari itu adalah perkataan Pelosi kepada Trump saat rapat sedang berlangsung, “Tidak usah mencoba menerka-nerka kekuatan macam apa yang saya punya.”
Perlukah Tampil Gaya?
Tahun lalu penulis Women of Westminster: The MPs who Changed Politics (2019) Rachel Reeves mencoba menelusuri ulasan tentang busana anggota parlemen perempuan di Inggris. Dalam sebuah kolom di Guardian, ia menuturkan keprihatinan terhadap perilaku para jurnalis masa lampau yang kerap menjadikan busana para politisi perempuan sebagai lelucon. Media-media lebih suka mengomentari busana ketimbang prestasi yang dibuat oleh para politisi perempuan seperti regulasi perlindungan hak anak, aturan aborsi, aturan tentang kesetaraan penghasilan, cuti hamil, dan aturan tentang kekerasan seksual.
Parlemen Inggris menerima politisi perempuan pada akhir 1910-an dan pada saat itu jenis busana yang dipilih adalah setelan blazer dan rok hitam, blus putih sutera, dan topi. Reeves mengisahkan para politisi perempuan ini sebetulnya juga bingung cara berbusana. Di satu sisi mereka tidak ingin tampil terlalu formal karena tidak ingin dicap terlalu androgini tetapi di sisi lain mereka tidak mungkin tampil terlalu feminin atau mencolok supaya tidak diejek media.
Pada masanya, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pun menggunakan fesyen sebagai simbol kekuatan. Studi Fashion in politics: what makes Korean female politicians wear ‘the suit’ not ‘a dress’? (2019) menyebut Thatcher memilih menggunakan setelan suit dengan berbagai motif dan warna--jas dengan jahitan pas badan dan rok--kalung, anting, dan rambut yang disasak guna menunjukkan bahwa perempuan juga mampu memimpin di area yang didominasi laki-laki.
Seiring waktu, para politisi perempuan ini kemudian bereksperimen. Mereka menggunakan benda-benda yang dipandang sesuai dengan karakter pribadi dan mewakili ide-ide mereka. Kadang ujaran dengan nada mengejek juga datang dari sesama anggota parlemen. Pada 1945, Jean Mann pernah dibilang mengenakan busana seperti pengantin perempuan. Ujaran itu diucapkan kala mereka sedang rapat.
Pada 1960, seorang senator pernah menginisiasi kampanye penggunaan stileto (sepatu hak tinggi) saat sedang bekerja agar mereka bisa menginjak kaki anggota parlemen yang melakukan pelecehan seksual--meraba tubuh. Pelecehan seksual memang kerap terjadi pada anggota parlemen perempuan pada masa itu.
“Perjuangan untuk mencapai kesetaraan ini harus disimak. Tapi yang jadi perhatian malah tubuh dan isi lemari anggota parlemen perempuan. Meski demikian cara ini tidak akan berhasil karena para anggota parlemen perempuan ini punya tekad untuk menegaskan peran mereka dalam politik,” lanjut Reeves.
Pada masa sekarang, kritik-kritik soal busana dan penampilan anggota parlemen juga masih saja terjadi. Contohnya adalah yang terjadi dengan Alexandria Ocasio Cortez yang dikritik karena setelan jas nya tidak terlihat seperti seorang perempuan yang sedang memperjuangkan hak-hak rakyat.
Namun, pada zaman ini pula busana semakin nampak jadi pembawa pesan politik. Contohnya yang terjadi pada Kyrsten Sinema, politisi AS pertama yang mengaku biseksual. Ia menghadiri hari sumpah jabatan menggunakan rok pensil bermotif bunga, atasan tanpa lengan, dan stileto. Time menyebut gaya tersebut mewakili identitas queer-feminin.
Dalam skala kelompok, gaya busana juga dijadikan alat perlawanan anggota parlemen perempuan. Contohnya ketika para anggota parlemen dari partai demokrat AS sepakat mengenakan gaun hitam untuk mendukung gerakan #metoo dan ketika mereka sepakat menggunakan dress code putih di kongres untuk mengenang gerakan suffragette.
Kelly Dittmar, asisten profesor ilmu politik Rutgers University dan penulis A Seat at the Table: Congresswomen’s Perspectives on Why Their Representation Matters (2018) berpendapat bahwa kritik terhadap gaya busana anggota parlemen perempuan yang masih muncul sampai hari ini menunjukkan perempuan belum sepenuhnya diterima sebagai pejabat pemerintahan.
“Ketika ada aturan yang memengaruhi perempuan--misalnya aturan tidak tertulis tentang anggota parlemen perempuan tidak boleh memakai rok (aturan dihapus pada 1900-an)--maka aturan itu sebenarnya ingin bicara bahwa institusi ini tidak diciptakan untuk perempuan,” katanya kepada Vox.
“Persamaan kedudukan tidak hanya terjadi ketika orang berhenti mengkritik gaya fesyen perempuan dalam politik. Diskusi tentang gaya busana semestinya dipandang sebagai satu bagian dari representasi diri perempuan dan laki-laki sebagai seorang pemimpin dalam politik.”
Editor: Windu Jusuf