tirto.id - Man-children, atau dikenal juga dengan man child, merupakan istilah yang merujuk laki-laki dewasa yang kekanak-kanakan. Fenomena ini diakui para ahli benar adanya dan sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan pasangan.
Bukan sekadar kekanak-kanakan, arti apa itu man child juga menggambarkan laki-laki yang malas, egois, serta mengandalkan perempuan untuk mengasuhnya. Dikutip dari laman Merriam Webster, awalnya, istilah ini pertama kali muncul pada abad ke-14 hanya untuk merujuk pada anak laki-laki.
Namun, dijelaskan dalam buku The Boy-Man, Masculinity and Immaturity in the Long Nineteenth Century oleh Pete Newbon, sejak 1700-an, frasa man child mulai berubah maknanya seperti apa yang dikenal sekarang; kemunduran perilaku laki-laki dewasa yang seperti bocah.
Kemudian, pada 1980-an, konsep ini dikenal sebagai "Peter Pan syndrome" yang dipopulerkan oleh psikolog Dan Kiley yang menerbitkan buku The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up (1983). Kendati demikian, istilah ini bukan diagnosis resmi dalam dunia psikologi.
Eleanor Robertson dalam rubrik opini The Guardian menganggap bahwa konsep ini berkaitan dengan emotional labour, yakni pekerjaan emosional yang dilakukan perempuan tanpa bayaran, seperti memberi dukungan dan mendengarkan keluhan laki-laki.
Man child bergantung pada perempuan untuk segala hal, dari mendengarkan keluh kesah hingga mengingatkan hal sepele seperti jadwal ke dokter. Namun, beban yang ditanggung perempuan tak berhenti di situ, mereka juga mengurus rumah tangga hingga tanggung jawab reproduksi.
Dalam dinamika ini, man child menikmati keuntungan terbesar. Mereka bukan hanya lepas dari urusan diri sendiri, tapi juga terbebas dari kewajiban mengasuh anak, sambil tetap mendapat kebebasan untuk bersikap seperti anak kecil.
Beban Ganda dalam Hubungan dengan Man-Child
Seorang perempuan yang menjalin hubungan dengan seorang man-child memikul beban emosional dan tanggung jawab yang lebih berat dalam hubungan. Memiliki hubungan dengan man child sering kali membuat kontribusi dalam rumah tangga tidak adil.
Man child juga tidak menghargai atau mengakui usaha pasangannya meski bergantung pada pasangan untuk tugas sehari-hari yang bisa ia lakukan sendiri. Akhirnya, perempuan merasa bahwa pasangan mereka seperti "anak tambahan" yang harus mereka urus.
Sayangnya, fenomena man child sering dianggap wajar dalam budaya kita karena dianggap memang seperti itulah laki-laki. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan ketimpangan gender dalam rumah tangga yang memang sering kali terjadi.
"Ini terjadi ketika mulai ada tumpang tindih antara cara kita mengasuh anak dan cara kita mengasuh pasangan," ujar Dr. Emily Harris dari University of Melbourne dikutip dari Mamamia.
Menurutnya, anak-anak memang belum bisa membalas atau menghargai perawatan yang diberikan orang tua, dan itu wajar karena mereka masih kecil. Namun, jika pasangan dewasa juga bersikap seperti itu, maka itu tidak adil.
"Kita tidak mengharapkan anak-anak untuk membalas atau menghargai perawatan yang kita berikan karena mereka masih anak-anak. Namun, sangat wajar jika pasangan kita melakukannya," papar Dr. Harris.
Ciri-Ciri Pasangan Adalah Man Child
Ada sejumlah tanda-tanda seorang perempuan sedang menjalin hubungan dengan man child. Secara umum, laki-laki tipe ini cenderung menghindari tanggung jawab dewasa, mulai dari pengelolaan keuangan, pekerjaan rumah tangga, hingga pengambilan keputusan penting.
Berikut selengkapnya.
1. Urusannya Selalu Diurus Pasangannya
Jika seorang perempuan sering membereskan barang-barang pasangannya, membayar utangnya, atau bahkan memilihkan hadiah untuk keluarganya, itu bisa jadi tanda bahwa laki-laki tersebut belum dewasa secara emosional.Contoh lainnya adalah saat ada masalah dalam pekerjaan atau pertemanan, maka pasangan perempuannya yang justru harus turun tangan untuk menyelesaikan persoalan itu.
Laki-laki yang belum matang sering mengandalkan orang lain untuk "mengasuh" atau menangani tanggung jawabnya, demikian dijelaskan laman Psychology Today.
2. Takut Bicara Soal Masa Depan
Setiap kali perempuan membahas pernikahan, anak, atau komitmen jangka panjang, seorang man child akan terlihat panik atau berusaha menghindar. Bahkan ketika hal itu disampaikan secara santai atau bercanda, reaksinya tetap sama.3. Harus Terus-Menerus Diomeli
Perempuan merasa perlu mengingatkan atau menegurnya agar sang man child melakukan tugasnya, seperti janji yang sudah dibuat atau tanggung jawab dalam hubungan. Namun, saat mencoba berdiskusi dengan serius, dia justru mengabaikan atau menutup pembicaraan.Kebiasaan ini menunjukkan bahwa dia tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya dan malah menyalahkan pasangan karena dianggap terlalu menuntut.
4. Dia Menghindari Percakapan Serius
Setiap kali mencoba membahas masalah yang lebih dalam, seorang man child malah bercanda, mengalihkan topik, atau fokus ke ponselnya. Dia juga bisa berbalik menyalahkan, sehingga akhirnya perempuan malah merasa bersalah atas sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawab laki-laki tersebut.5. Hobi dan Pertemanannya Mirip Anak Remaja
Saat berkumpul dengan teman-temannya, dia berperilaku seperti remaja semisal dengan mabuk berlebihan, melakukan prank, atau bercanda dengan humor kekanak-kanakan. Jika saat bersama pasangannya, dia justru tampak kurang nyaman dan menganggap perempuan sebagai "pengganggu kesenangan".Punya Pasangan Man Child Berdampak pada Kehidupan Seksual
Studi membuktikan bahwa perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki berperilaku man child cenderung mengalami masalah dalam kehidupan seksualnya.
Selama ini, rendahnya gairah perempuan sering dianggap sebagai persoalan individu atau masalah medis. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor sosial, terutama ketimpangan gender dalam pekerjaan rumah tangga, juga berperan besar.
Jurnal ilmiah tahun 2022 menemukan bahwa semakin banyak pekerjaan rumah yang dibebankan pada perempuan, semakin rendah hasratnya terhadap pasangan. Hal ini terjadi karena dua faktor utama: pertama, perempuan mulai melihat pasangannya sebagai sosok yang bergantung; kedua, mereka merasa pembagian tugas tidak adil.
Penelitian oleh Dr. Emily Harris dari University of Melbourne memperkuat temuan ini. Studi yang melibatkan lebih dari 1.000 perempuan dengan anak di bawah 12 tahun menunjukkan bahwa ketika beban rumah tangga tidak terbagi secara adil, keinginan terhadap pasangan pun menurun.
Banyak perempuan mulai melihat suami mereka sebagai anak tambahan yang harus diurus, sehingga hasrat seksual pun ikut pudar.
Dengan kata lain, hasil studi-studi tersebut menantang anggapan lama bahwa rendahnya gairah seksual pada perempuan disebabkan masalah pribadi atau alasan medis.
Sebaliknya, hal ini mencerminkan ketimpangan yang lebih luas, terutama dalam ketidaksetaraan dalam hubungan dan peran laki-laki dalam kehidupan rumah tangga.
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Dhita Koesno