tirto.id - Meskipun mengisi 70 persen tuntutan konsumsi, tingkat partisipasi ekonomi perempuan masih tergolong rendah yaitu 15-25 persen. Kondisi ini dapat terjadi karena beragam faktor di antaranya karena sulitnya mencapai kesetaraan gender di dunia kerja yang sampai kini masih terjadi.
“Bisa bersumber dari internal penyedia pekerjaan karena kebijakan yang tidak sensitif gender maupun faktor eksternal dalam bentuk norma dan pandangan yang cenderung mensubordinasi perempuan,” kata Suyono Reksoprojo, Board Indonesia Coalition Business for Women Emporment (IBCWE), Kamis (7/12/2017) malam di Jakarta.
Suyono melanjutkan, rendahnya partisipasi ekonomi perempuan terjadi karena perusahaan tidak menyediakan fasilitas yang mendukung perempuan untuk berkembang.
Padahal data MSCI World Index 2016 menunjukkan perusahaan dengan kepemimpinan perempuan yang dominan, memperoleh laba bersih (return on equity) 10,1 persen setiap tahun. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan perusahaan tanpa kepemimpinan perempuan, yang laba bersihnya berkisar 7,4 persen.
Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif IBCWE menambahkan perusahaan sektor privat telah menyediakan sembilan dari sepuluh kesempatan kerja yang tersedia di negara-negara berkembang. Namun, kodisi ini berkebalikan dengan di sektor formal.
“Jumlah perempuan yang berpartisipasi di dunia kerja, di sektor formal secara global, kurang dari 50 persen," ujarnya.
Mengutip laporan Organisasi Buruh Dunia atau International Labor Organization (ILO), Dini menyampaikan kesempatan perempuan berpartisipasi di pasar tenaga kerja sektor formal 27 persen lebih rendah dari laki-laki.
Ia juga menyoroti adanya tantangan lain seperti keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat manajemen menengah hingga tingkat board, dan perbedaan penghasilan antara pekerja perempuan dan laki-laki.
Persoalan ketimpangan gender juga dipaparkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan periode 2017-2020. Salah satu bentuk diskriminasi di tempat kerja itu dilakukan dengan tidak memposisikan perempuan sebagai pencari nafkah utama seperti halnya laki-laki.
Perbedaan perlakuan ini tak hanya berdampak pada akses dan kesempatan lebih luas pada leadership perempuan tapi juga terjadi diskriminasi dalam hal pengupahan. Akibatnya, perempuan kerap tak mendapatkan tunjangan untuk suami dan anaknya.
“Karena itu penting membekali jurnalis pemahaman soal kesetaraan gender agar dapat mengali ketimpangan gender yang masih terjadi,” ujarnya.
Karena merasakan masih adanya ketimpangan itu, IBCWE berupaya mendorong terwujudnya kesetaraan gender di dunia kerja melalui berbagai kegiatan dan kerja sama. Ini langkah penting untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya isu kesetaraan gender.
"Salah satunya adalah melalui media tradisional maupun digital yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarakat," ujar Dini.
Bekerja sama dengan Sekolah Jurnalisme AJI, IBCWE menggelar “Short Course Kesetaraan Gender di Dunia Kerja” selama bulan Oktober hingga November. Tema yang diangkat pun beragam, mulai dari cuti ayah yang memberi dampak positif pada produktivitas pekerja di perusahaan dan relasi kerja, turbulensi profesi pramugari maskapai penerbangan hingga dinamika relasi pekerja rumah tangga dengan pihak penyedia kerja dan pembuat aturan dan perjuangan perempuan-perempuan yang berkiprah di dunia yang didominasi laki-laki.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari