tirto.id - Salim Segaf Al-Jufri tersenyum ketika menerima kami di kantornya. Ia baru saja menunaikan salat Jumat bersama beberapa staf. Sesaat sebelum kami masuk ke ruangan, terlihat serombongan tamu yang keluar.
Raut muka dan sorot mata Salim tampak kelelahan. Ini tidak mengherankan. Sejak awal Juli 2021, kala Majelis Syura PKS memutuskan bahwa dirinya didorong untuk muncul dalam kepemimpinan nasional, kesibukan dan aktivitas Salim tentu kian bertambah. Dalam tiga bulan terakhir, lelaki berusia 67 tahun itu harus menyambangi banyak tempat serta bertemu dengan para kader partai.
Tapi ia tetap bersemangat dan tangkas ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Posisi sebagai Ketua Majelis Syura PKS, dewan tertinggi partai yang berisi ustaz dan ulama, tak menghalanginya untuk berkelakar sekaligus menimpali seloroh kami.
“Anda ini, kan, habib. Habib kok PKS?”
Salim tertawa terpingkal-pingkal mendengar pertanyaan kami dan saat itulah kelelahan yang tampak di wajahnya lenyap. Ia pun melanjutkan wawancara dengan antusias.
Orang kelahiran Surakarta ini panjang-lebar berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan politik di tahun 2024, strategi-strategi PKS untuk menghadapinya, dan peluang dirinya maju menjadi capres atau cawapres. Tak lupa, ia juga bercerita tentang hubungan PKS dengan ormas-ormas Islam yang selama ini berseberangan secara ideologi dan politik.
Di tengah wawancara, Doktor Salim—demikian panggilan yang dipopulerkan kader-kader PKS dalam kampanye yang mereka sebut ‘penokohan’—mengungkapkan bagaimana PKS selalu legawa menerima kenyataan tidak ada kadernya yang digandeng dalam Pilgub DKI Jakarta maupun Pilpres 2019. Bagi PKS, kemenangan partai lebih penting.
“Kami melihat apa yang bagus untuk partai, bukan pribadinya. Itu yang kami bangun di PKS. Siapa yang bisa mengangkat suara partai, itu yang kita cari.”
Kami pun menimpali: “Wah, ini sudah cocok dengan kaidah ushul fikih NU, ‘Ma la yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu’ (sesuatu yang tidak bisa diambil semua, jangan ditinggalkan semua).”
“Jadi kaidah itu juga kita gunakan. Dapat nilai 9 tidak bisa, bisanya 6, ya ambil saja. Kalau enggak, kita dapatnya zero. Hahaha…” balas doktor syariat lulusan Universitas Islam Madinah itu.
Siang itu, Jumat (15/10/2021), kami berempat dari Redaksi Tirto (Alfian Putra Abdi, Ivan Aulia Ahsan, Rio Apinino, dan fotografer Hafitz Maulana) menemui Salim di Gedung DPP PKS, Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan. Sepanjang wawancara yang berlangsung sekitar 90 menit ini, Salim didampingi dua pengurus DPP PKS, yaitu Ahmad Fathul Bari (Wasekjen Komunikasi Publik) dan Ahmad Mabruri Mei Akbari (Kabid Humas).
Berikut petikan wawancara kami.
Pembelahan elektorat terjadi dalam dua kali Pilpres. Pemilih Indonesia terbagi dalam dua kubu: kelompok berbasis islamis yang mendukung Prabowo dan nasionalis-sekular yang mendukung Jokowi. Apakah pola dua kutub ini akan bertahan hingga 2024?
Saya berharap itu tidak terjadi. Mungkin penyebab utamanya karena calonnya dua. Kalau calonnya tiga atau empat, barangkali akan berbeda. Sehingga salah satu yang perlu ditinjau adalah kaitannya dengan [ambang batas] 20 persen. Dua puluh persen ini yang membuat hanya muncul dua calon. Mudah-mudahan pada 2024 calonnya tiga sampai empat, jadi lebih variatif. Feeling saya akan ada 3 calon.
Pada dasarnya masyarakat kita bukan masyarakat sekular. Dan jika dikatakan kelompok islamis tidak nasionalis, itu tidak benar. Banyak islamis yang sangat nasionalis. Tak perlu dibenturkan. Kita baca sejarah dan lihat para pendiri bangsa. Mayoritas islamis dan nasionalis. Sehingga kalau kita baca, Pancasila itu sangat islamis. Sangat disepakati semua agama.
Pembelahan itu berat. Bahkan satu keluarga pun bisa terbelah. Ibu ke mana, bapak ke mana. Kami di PKS menginginkan tak ada pembelahan. Karena yang rugi bangsa ini. Dan yang saya khawatirkan demokrasi kita mundur. Ujungnya demokrasi hanya prosedural dan tidak ada substansi.
Kalau melihat sejarah politik Indonesia sejak 1950-an, tidak pernah terjadi bipolarisasi macam itu. Keterbelahan pemilih selalu lebih dari dua. Tapi saat ini, rupanya banyak politikus ingin mempertahankan pola dua kutub? Nah, PKS bagaimana?
Kami tetap mengutamakan semangat reformasi. Salah satunya, kami tetap di luar pemerintahan. Kami ingin demokrasi on the track. Sejak 14 tahun sampai sekarang demokrasi mundur. Kami khawatir muncul otoritarianisme lagi. Kalau itu terjadi, semakin menyedihkan bangsa ini.
Kami tak hanya bermain retorika. Kami inisiasi membuat program dan silaturahmi antara partai dan ormas. Semua memang punya keinginan. Tapi harus ada keinginan bersama yang mesti kita jaga.
Apa indikator demokrasi menurun?
Contohnya, dalam hal memberikan kritik dan pendapat. Kita lihat bagaimana beratnya dan keberanian itu mulai menghilang. Yang memprihatinkan, ada beberapa tokoh yang dulu vokal mengkritik pemerintah, lalu sekarang menjadi komisaris dan ambassador. Kan, sayang. Apa begitu cara mematikan demokrasi?
Saya tidak bilang menjadi komisaris, ambassador, atau dirut itu salah. Silakan saja. Tapi ada nilai-nilai, jangan dikorbankan.
Di parlemen, hanya ada dua partai oposisi, PKS dan Demokrat. Bagaimana PKS menempatkan posisi sebagai minoritas di parlemen?
Saya tidak mengatakan sikap [oposan] itu ngotot, tapi dengan argumentasi. Tidak asal beda. Kalau program bagus, kita dukung. Contoh pemindahan ibu kota negara. Semua partai setuju, kami tidak. Karena saat [kampanye] pilpres, [seharusnya pemindahan ibu kota] jelas menjadi program seorang calon presiden. Masa ada program dadakan? Jangan muncul hal baru. Yang sudah direncanakan, ya, diwujudkan. Kalau tidak jadi diwujudkan, jelaskan ke masyarakat.
Membangun trust itu sangat mendasar dalam berbangsa dan bernegara, apalagi sebagai pemimpin. Jika terjadi distrust, sesudah itu, ya, ujung-ujungnya nafsi-nafsi. Kepercayaan itu penting. Kenapa? Karena pemerintah tidak mampu melakukan semuanya. Anggaran kurang. Tapi kalau mampu membangun semangat kebersamaan, rakyat mau nyumbang.
Jadi, bangunlah semangat senasib dan seperjuangan. Artinya, kita bersenang-senang bersama, susah bersama. Mampu enggak pemimpin ini? Bukan hanya di pusat dan daerah.
PKS istikamah menjadi oposisi dalam tujuh tahun terakhir. Apa tidak capek?
Memang politik itu yang sering capeknya, kalau yang senengnya, buat ormas saja. Hahaha… Politik perlu kesabaran, perjuangan, dan bagaimana sampai ke tujuan. Asal dia konsisten dan bersemangat. Apalagi kami sudah mengatakan visi kami untuk 2020-2025 adalah rahmatan lil alamin. Kami partai Islam yang menjadi rahmat bagi siapapun, tidak mencari musuh. Siap melayani rakyat.
Itu bukan cuma tagline, tapi kami buktikan: membuat pembagian sembako dengan dana yang berasal dari pemotongan gaji kader. Partai memang hadir untuk mencari dukungan dan suara.
Apakah itu ria? Ya memang harus begitu. Kalau bagi pribadi-pribadi, hal itu memang ria. Tapi, kan, kami partai. Bagaimanapun partai harus menjelaskan [kepada publik], bukan saja retorika. Walaupun kemampuan parpol terbatas, beda dengan pemerintah.
Dua survei terakhir, yang dilakukan SMRC dan Indostrategic, menunjukkan tren kenaikan elektabilitas PKS. Apakah ini buah dari konsistensi PKS sebagai oposisi?
Bisa jadi demikian. Karena masyarakat semakin cerdas. Suara terbaik, kan, di kampung dan desa. Suara dari kelompok di perkotaan, kelas menengah, saya yakin juga dari situ salah satunya. Mereka melihat apa yang diungkapkan terbukti. Kami juga selalu membuat Hari Aspirasi.
Saya kemarin ke daerah, bertemu dengan kelompok-kelompok adat di pedalaman. Mereka juga punya tokoh yang paham poltik. Banyak keluhan-keluhan yang mesti diperjuangkan oleh anggota dewan di provinsi dan kabupaten/kota.
Bagaimana persiapan PKS untuk 2024 dan apa targetnya?
Kalau berdoa, kami terus melakukannya. Hahaha… PKS sudah cukup lama menjadi partai menengah. Namanya mau naik kelas, kan wajar. Kalau tidak naik kelas juga, ini masalahnya ada di guru atau muridnya. Hahaha…
Kami mesti berusaha memahami apa yang diinginkan masyarakat, bukan memaksakan yang kami inginkan. Kami cari umpan yang diinginkan masyarakat. Sama seperti nelayan. Kalau mau dapat ikan, jangan pakai umpan yang diinginkan nelayan itu sendiri. Dia sarapan nasi uduk, yang jadi umpan nasi uduk. Hahaha… Kita harus cari umpan yang masyarakat suka dan jenisnya bisa berbeda-beda.
Umpamanya, kami mulai melihat generasi milenial dan gen Z. Itu umpannya beda. Ini upaya kami untuk “naik kelas”. Misalnya, gen Z senang dengan isu kepekaan sosial dan lingkungan. Ini umpan-umpan mereka. Kami pakai, dong. Mereka juga tak senang kalau kita ngomong panjang. Lebih dari 2 menit di YouTube, langsung ditutup sama mereka.
Apalagi masyarakat sudah semakin cerdas. Kadang kita [para politikus] sudah janji, tapi tidak ditepati. Ada di sebuah video, seorang politikus berjanji buatkan jembatan, namun sampai 5 tahun tidak juga dibuatkan. Dia terus kampanye di tempat yang sama. Tapi masyarakat sudah pintar-pintar, kan? Bisa-bisa, sampai di pinggir sungai, dilempar [politikus itu] ke sungai. Hahaha…
Kami mengusahakan satu hal penting, yaitu memberikan perhatian. Meski tidak menyelesaikan masalah. Tapi masyarakat diberikan harapan. Dengan kita berinteraksi, masyarakat melihat ada cahaya di situ. Itu nambah semangat mereka.
Saya berharap pemimpin bangsa memberikan perhatian dan hadir di masyarakat. Kegelisahan mereka tersentuh. Oleh karena itu, kita ajak [masyarakat untuk] bersama-sama, jangan kalah dengan bangsa lain. Banyak masalah kita, misalnya di Papua dan daerah lain, itu berat. Mbok partai-partai ini jangan berebut posisi, tapi berebut menjaga NKRI. Kita dudukkan semua partai, cari siapa calon yang pas. Cari titik temu. Kenapa tidak bisa?
Baru-baru ini Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan PKS akan memajukan Anda sebagai calon presiden. Apakah itu benar? Kalau itu benar, apa pertimbangan sampai akhirnya PKS memajukan calon sendiri?
Kami sudah putuskan di Majelis Syura, itu bentuknya penokohan. Kami realistis. Jika kami akan mencapreskan kader PKS, popularitas dan elektabilitas [yang dijadikan pertimbangan]. Kalau yang lain, perlu isi tas. Soal isi tas, kami juga kalah dengan yang lain. Hahaha…
Kami paham [ada ambang batas] 20 persen. Tidak mungkin lah. Suara kami 8 koma sekian. Mungkin kalau tidak mendapatkan nomor 1-2, tapi perjuangan kita bisa sukses untuk membawa calon, semua itu bisa dibicarakan.
Memang 4-5 tahun lalu calon kita banyak. Strategi itu tidak pas dan masyarakat bingung. Itu siapa yang maju? Namanya juga upaya, semua punya peluang. Yang paling pas saya lihat saat ini adalah penokohan. Kalau itu semakin meningkat, kita lihat. Sekurang-kurangnya partai ini semakin dikenal. Di lapangan pun kita dapatkan yang memilih PKS masih rendah. Kami masih di level 30 ribu, misalnya, partai A dan partai B sudah sampai 200 ribu.
Sejak 1999 sampai sekarang, tidak pernah ada kader PKS yang ikut kontestasi di level pilpres, tapi perolehan suara partai menunjukkan tren kenaikan. Apa rahasianya?
Memang betul. Karena PKS itu partai kader. Walaupun ada gelombang dan masalah, kader tetap solid. Dia tidak mudah untuk berubah sikap. Saya kira, parpol harus menyediakan kaderisasi yang bagus. Kita lihat sekarang, terus terang, si anu pindah sini pindah sana. Ini tidak jelas. Jadinya partai tidak menyiapkan pemimpin, hanya menyiapkan kutu loncat saja. Penyebabnya mungkin pemerintah tidak punya anggaran untuk menyiapkan calon pemimpin bangsa.
Kader kami terus bertambah. Pendanaan partai pun dari kader juga, itu yang luar biasa. Dan semacam PKS mungkin ada 2-3 partai saja. Saya melihat banyak partai yang hanya bersandar pada satu orang. Orangnya enggak ada, tutup partai itu. Ini penting. Negara harus hadir.
Saya lihat di Jerman, partai mendapatkan dana yang besar dari negara dan itu dipertanggungjawabkan. [Pendanaan partai] ini penting karena menyiapkan pemimpin bangsa bukan melalui proses karbitan saja.
Apakah pendanaan partai dari anggaran pemerintah selama ini tidak cukup?
Awalnya 100 rupiah per suara, sekarang naik 1.000 rupiah per suara. KPK selalu menjadi referensi. Angka yang ideal itu 10.000 rupiah. Itu oke buat kami. Itu bukan cukup, tapi bagus. Bukan luar biasa juga. Dengan anggaran seribu rupiah, kami hanya menerima 11 sekian miliar. Karena suara kita 11 juta sekian. Kecil. Sebelas miliar itu untuk setahun. Gedung ini, umpamanya, bayar listriknya berapa? Terus kalau mau keliling ke daerah-daerah, ya, kita cari kelas ekonomi. Hahaha…
Ketika PKS menggaungkan nama Anda, elektabilitas Anda rendah. Bagaimana strategi Anda menaikkan elektabilitas?
Sampai sekarang belum ada keputusan Majelis Syura apakah saya dicapreskan. Sekarang ini baru penokohan. Dan itu dievaluasi setiap 6 bulan, apakah perlu diganti tokoh lain atau dilanjutkan. Saya pribadi masih sulit dinaikkan. Melalui evaluasi itu, bisa saja dicarikan yang lain.
Dari kader sendiri atau dari luar?
Kader. Kalau dari luar, kita sudah koalisi. Nanti ada tim yang mengevaluasi. Kami belum sampai pencapresan.
Kami membayangkan posisi Ketua Majelis Syura sebagai orang yang sudah selesai dengan urusan duniawi. Jika Anda menjadi capres atau cawapres, apa tidak khawatir tergelincir dalam everyday politics yang sangat “duniawiah”?
Jadi selama kita di dunia, urusan dunia tidak selesai. Terus saja mengalir. PKS tidak punya pemikiran bahwa kalau sudah di Dewan Syura, selesai urusan dunia. Artinya, orang ini layaknya di akhirat saja. Hahaha…
Kami memahami urusan dunia, tapi muatannya akhirat. Umpamanya, kami menganggap politik itu ibadah, yaitu memikirkan umat. Persepsi masyarakat, kan, selesai urusan dunia, lalu duduk di masjid dan berdoa. Itu persepsi yang sempit. Seorang politisi yang mengurus politik itu ibadah. Tinggal niatnya saja.
Di mana pun dia berada itu ibadah. Mencari rezeki adalah ibadah; tidur adalah ibadah; makan itu ibadah. Bahkan hubungan suami-istri juga ibadah.
Jadi di PKS, Ketua Majelis Syura tetap dalam kondisi duniawi juga.
Walaupun masih dalam konteks penokohan, bukan pencapresan atau pencawapresan, Anda disimulasikan untuk dipasangkan dengan Ridwan Kamil atau Prabowo. Bagaimana ini?
Pendapat masyarakat tidak bisa dilarang, kan. Namanya pengamat, kalau tidak main di situ, ya, dicocokkan terus. Namanya cocok-cocokan, belum tentu cocok juga. Hahaha… Tapi strategi kita saat ini penokohan.
Kami melihat apa yang bagus untuk partai, bukan pribadinya. Itu yang kami bangun di PKS. Siapa yang bisa mengangkat suara partai, itu yang kita cari.
Apakah hal itu yang juga menjadi pertimbangan PKS pada 2019 ketika tetap mendukung Prabowo meski Sandiaga yang dijadikan cawapres?
Kami realistis. Karena saat itu pendanaan penting. Melihat calon wakil isi tasnya kosong, dia akan berikan berapa, PKS berapa. Pasti begitu. Ketika kami tak punya pendanaan, kami paham: yang jadi calon berarti ada dana. Itu realpolitik, ongkosnya besar.
Walaupun mereka memaklumi ada Ijtima Ulama, tapi ujungnya butuh pendanaan. Yang maju Sandiaga Uno, dia punya dana dan peluang yang bagus. Daripada tidak ada yang maju. Kotok kosong juga repot. Kenapa kami tetap mengusung [Prabowo-Sanidaga]? Karena harus ada lawan, meski terbelah umat ini. Itu risikonya.
Bagaimana hubungan PKS saat ini dengan kelompok-kelompok pendukung Prabowo-Sandiaga, terutama dari nonpartai?
Kami terus bersilaturahmi. Bukan hanya kepada tokoh umat dan ormas, tapi juga tokoh politik, walaupun mereka di pemerintahan. PKS bukan musuh dan sesuatu yang menyeramkan. Kami mau mencari titik temu meski berbeda. Ada yang bisa kami lakukan bersama untuk bangsa. Kami paham tidak mungkin membawa negeri ini sendirian. Suara kami juga tak cukup karena itu perlu juga bergandengan tangan.
Jadilah kita semua negarawan. Jangan jadi kelompok yang mau ambil kue sendiri. PKS tidak mungkin membenci agama lain dan kelompok lain. Tidak perlu juga kita memusuhi yang benci kami. Kalau tidak, kita sama saja dengan mereka.
Kalau dengan Partai Gelora?
Dari mereka ada yang mau ketemu saya. Saya jawab, begini saja: Gelora silaturahmi ke PKS, namanya mau ketemu. Kan, sudah resmi ada partainya. Kami, kan, lebih senior lah. Jadi adik bertemu ke abang. Tidak ada kebencian kami kepada mereka yang keluar untuk membangun partai sendiri. Mudahan mereka bisa eksis. Kami hampir 20 tahun di samudera besar Indonesia, 10 persen saja belum kami capai. Masih banyak peluang partai manapun untuk meraih suara.
Secara politik, apakah PKS merasa terancam dengan Partai Gelora? Basis masanya mirip, kan?
Kami tidak merasa terancam. Politik ini mencari suara. Suara masih banyak. Kami tidak terganggu. Banyak partai yang baru dibuat, banyak juga yang berguguran. Saya tak sebut namanya, belum lama pada keluar. Ada yang punya uang banyak, punya statsiun televisi, suaranya rendah. Karakter masyarakat kita tidak mudah ditebak. Kelihatannya tidak paham, tapi ketika memilih, mereka sudah tahu siapa yang akan mereka pilih.
Anda termasuk “assabiqunal awwalun” (generasi awal) gerakan tarbiyah yang aktif sejak awal 1980-an. Bagaimana Anda merefleksikan gerakan tarbiyah hari ini?
Setiap masa, kan, berbeda. Saat itu Zaman Orba. Memang kami semua ini dari background berbeda dan disatukan perhatian bagaimana membangun bangsa. Saat itu ada kondisi yang hampir merata di dunia Islam, yakni kebangkitan umat. Itu terasa di tahun 1990-an. Ketika kita kesulitan mengenakan jilbab, di negara lain juga sama. Di Mesir juga begitu.
Saya bangga dengan masyarakat dan bangsa kita. Masyarakat kita saat ini semakin agamis. Turki pemerintahnya agamis, tapi dibanding Indonesia, kita jauh lebih bagus. Tidak perlu dibenturkan antara yang religius dan yang sekular.
Ketika pulang, kami membuat partai. Memang saat itu tidak semuanya sepakat. Ada sekitar 60 persen setuju [untuk mendirikan partai]. Saya sendiri setuju membuat partai. Kalau kami tidak maju buat partai, siapa yang pegang bangsa ini? Jangan menyalahkan bahwa banyak orang-orang jahat, lalu yang baik-baik kenapa tidak muncul?
Kalau [keadaan itu] dibiarkan, orang-orang jahat yang nanti memimpin bangsa kita. Tidak perlu menyalahkan bahwa politik itu jahat. Kalau digunakan untuk hal yang baik, ya, jadi baik.
Akhirnya, mayoritas kami sepakat [mendirikan partai] dengan dasar Islam.
Ketika Anda dan kawan-kawan mendirikan Partai Keadilan pada 1998, apakah Anda membayangkan harakah ini akan menjadi sebesar sekarang?
Di mata partai-partai lain saat itu, kami bukan Partai Keadilan, tapi Partai Kekanak-kanakan. Tidak dianggap. Hahaha… Isinya sebagian besar anak muda. Dan akhirnya tidak lolos [electoral threshold pada Pemilu 1999]. Lalu kami tambahi ‘Sejahtera’ [sejak Pemilu 2004]. Nah, itu baru naik. Kami ingin umat Islam punya satu partai, tapi susah buat menyatukan semua.
Sebenarnya kami tidak mau membuat partai. Oh, ini ada yang berkumpul dengan Amien Rais atau siapalah, kami makmum. Kami paham kondisi kami dan menghormati senioritas. Tapi semuanya kemudian berjalan sendiri dan bikin [partai] sendiri-sendiri.
Kami cari tokoh-tokoh yang bagus untuk jadi pemimpin, namun kami tidak dianggap. Dan kami manuver ke beberapa kota menemui para tokoh, bukan hanya ngomong. Tapi kami akhirnya merasa kesulitan dan kami pun mendirikan partai. Sebab kalau kami ikut-ikutan saja, kami tidak bersuara dan tidak dianggap.
Status Anda sebagai habib ini unik. Dalam tafsir keagamaan PKS, posisi kultural ini sebenarnya tidak diakui. Katakanlah, “Habib kok PKS?” Nah, adakah upaya untuk mengkapitalisasi posisi kultural yang seksi ini, meski tidak tercakup dalam tradisi partai Anda?
Yang berat, kan, Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama Jawa Timur. Sejak awal berdiri sampai 2014, isu wahabi kuat sekali di PKS. Tapi ketika saya turun dan berdialog [dengan para pemuka agama], mereka tidak mengatakan habib atau sayid tidak boleh berpolitik. Bahkan yang saya dengar dari mereka sendiri: “Saya tak bisa mengatakan PKS wahabi karena yang memimpin habib.”
Saya tak mau menyalahkan siapapun. Namanya parpol itu maunya partainya sendiri yang tinggi, yang lain tumbang. Itu yang kami alami. Ada partai lain yang memanfaatkan isu wahabi agar kami tidak menjadi besar. Tapi kami tetap harus bertemu dengan tokoh-tokoh yang menyebarkan isu itu.
Saya pernah bertemu [dengan beberapa tokoh NU] dan mereka mengatakan PKS itu lebih dekat dengan NU. Itu omongan mereka sendiri. NU itu, kan, punya wirid, kalau di tarekat itu punya murabbi, murysid, ada haqiqah sufiyah. Nah, itu semua ada di PKS. Tapi politik, ya, begitulah.
Sekarang bukan lagi isu wahabi. Ada isu yang lain seperti radikal, hamas, macam-macam lah. Terhadap isu-isu itu, tak perlu kami tampakkan kebencian. Kalaupun ada orangnya, kita tak mau ribut dengannya. Tetap silaturahmi.
Suatu saat seandainya ada wadah besar partai Islam dalam bentuk koalisi atau konfederasi, seperti Partai Masyumi di era 1950-an, apakah PKS mau bergabung?
Kemungkinan itu terjadi. Contoh di AS ada 2 partai. Mungkin saja namanya bisa nama Islam atau apapun. Yang penting yang terbaik untuk bangsa ini kami siap. Politik ini, kan, tujuannya untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa. Rakyat kita sejahtera di negeri sendiri, tak perlu terlunta-lunta di negeri lain. Tak perlu jadi pembantu, bangga dengan negerinya.
Kami itu sederhana sebenarnya. Ambil contoh masalah di Pilgub DKI. Tidak dapat ketua, tidak dapat wakil, Mardani [Ali Sera] jadi timses. Untuk partai-partai lain, mungkin mereka tidak mau terima. Waktu pilpres juga tak masalah. Meskipun [Prabowo] tak mau [berpasangan] dengan [kader] PKS, maunya orang lain, ya oke. PKS tak perlu rebutan jabatan, tapi bagaimana kita bergandengan tangan untuk memenangkan.
Ngomong-ngomong, sudah berapa kali dicolek istana untuk diajak bergabung?
Saya pikir wajar, ya. Tapi kami punya alasan. Sebenarnya yang diuntungkan oleh adanya oposisi itu pemerintah juga. Di mata dunia, demokrasi kita sehat. Kalau kita ke sana [bergabung dengan pemerintah], ya, dapat menteri. Tapi apakah itu tujuan kita berpolitik? Saya pikir tidak begitu.
Lalu kami mengkritik [pemerintah]. Kami tidak membenci individu, kami mengkritik programnya. Tidak boleh itu maki-maki orang, kita mengkritik program yang tak sesuai. Dalam perpolitikan, kami gunakan etika rahmatan lil alamin.
Kita tahu bagaimana Musa diperintahkan Tuhan saat itu untuk berbicara dengan bahasa yang lunak kepada Firaun, musuhnya. Itulah sikap. Masa hanya karena politk kita maki-maki orang? Kalau ada kader yang memaki-maki, saya ingatkan. Etika dalam berpolitik itu penting.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Ivan Aulia Ahsan