tirto.id - Berbentuk bulat, berwarna putih dan merah muda, dan berpotensi membatalkan puasa: es gempol namanya. Saya mendengar langsung kesaksiannya, tentang bagaimana minuman ini punya kekuatan untuk menggoyang niat seseorang.
Kemarin waktu mudik ke kampung halaman, selepas turun dari bus PO Haryanto yang membawa saya dari Yogyakarta ke Pati, saya dijemput oleh bibi. Saat perjalanan dari terminal menuju rumah, bibi saya bertanya apakah saya puasa. Saya memilih menjawab dengan jujur: tidak, tentu dengan perasaan cemas. Namun, di luar dugaan bibi saya malah mengungkap kesamaan kalau hari itu dia juga tidak puasa.
Perkaranya sederhana, bibi saya tergiur kesegaran es gempol ketika lewat di depan pasar langganan kami. Belakangan selama bulan April, rata-rata suhu di Indonesia memang sedang naik. Angkanya selalu tembus di atas 31 derajat celcius termasuk di hari ketika saya pulang mudik kemarin. Di kampung halaman saya, sebetulnya hari-hari biasa pun cuacanya selalu gerah, bahkan meski di halaman rumah banyak pohon rambutan. Barangkali karena terletak di kawasan Pantura dan dekat dengan Laut Jawa, sepanjang tahun ketika musim kemarau tiba kami harus pasrah dengan udara panas yang membikin badan lengket seharian.
Oleh karena itu, es adalah harta yang berharga di tempat saya tinggal. Meskipun, selama belasan tahun keluarga saya bertahan hanya dengan lemari es Toshiba berukuran kecil yang kemampuannya tak selalu bisa diandalkan. Alhasil untuk mengakalinya, ketika bulan puasa tiba, saya sering diminta untuk membeli es batu di warung dekat rumah. Berbekal es batu gelondongan seharga–kalau tidak salah ingat–Rp2 ribu, bibi saya adalah pionir dalam keluarga untuk urusan membuat beragam jenis minuman dingin. Andalannya es blewah, yang manis dan segar berkat bantuan sirup frambos yang berkarakter kuat.
Namun berbeda dengan es blewah, es gempol punya kasta tersendiri di keluarga kami. Dulu semasa kecil, saat masih rajin menemani nenek dan bibi belanja ke pasar, kami sering mampir untuk minum es gempol yang dijual di sisi depan pasar, dekat parkiran sepeda motor. Setelah lelah berkeliling, menyendok gempol dan meneguk gurihnya kuah santan yang dingin adalah sebenar-benarnya kenikmatan. Mata saya langsung merem melek mengingatnya.
Selama momen minum es gempol itu, di antara kami yang bertugas belanja ke pasar tidak ada yang berminat bicara, semuanya kicep. Kalau kata nenek saya, madep mantep. Maksudnya fokus menandaskan minuman kami tanpa riweh melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Belakangan baru saya tahu, dari salah satu unggahan almarhum Bondan Winarno di Instagram @maknyusbw, momen semacam ini tergolong sebagai solitary experience. Jadi meskipun dinikmati di tengah keramaian, tapi kenikmatannya hanya bisa dirasakan sendiri. Kenikmatan yang dihayati semacam ini kerap jadi golden memory di masa yang akan datang. Menyisakan jejak yang akan terpanggil ketika otak mendapatkan stimulus yang kurang lebih mengingatkan kita dengan momen yang telah lewat itu.
Tak Banyak yang Tahu
Es gempol bukan sejenis minuman kebanggaan daerah (local pride) yang mudah dijumpai di kota-kota perantauan. Di Yogyakarta–tempat saya hijrah untuk melanjutkan hidup–banyak kawan saya yang tidak tahu seperti apa rupa es gempol. Mereka yang tahu pun belum mesti pernah mencicipinya. Es gempol sepertinya kalah pamor dibandingkan dengan kompatriotnya, misalkan es dawet atau es cincau yang secara bahan sama-sama menggunakan santan. Padahal komposisi ketiganya hampir sama. Ada santan yang menyumbang rasa gurih, sirup atau gula merah cair sebagai pemanis, dan isian yang bertekstur lunak.
Secara rasa dan tampilan pun, es gempol sebetulnya bisa diadu. Di Jepara, es gempol biasanya disajikan dalam mangkuk bakso. Sedangkan di Solo Raya, minuman ini dihidangkan dalam mangkok kecil yang biasa digunakan untuk wedang ronde–lengkap dengan sendok cocor bebek yang terbuat dari besi. Namun, sejak kecil saya terbiasa menikmati minuman ini menggunakan gelas es teh. Walaupun sebenarnya secara ergonomi, penyajian menggunakan gelas es teh bikin saya agak kesusahan ketika hendak menyendok gempol yang jadi terperangkap di dasar gelas.
Gerobak es gempol pun sangat khas. Warna gerobaknya kalau tidak biru ya hijau. Jarang atau malah hampir tidak pernah saya menjumpai gerobak dengan warna lain. Biasanya di dalam gerobak ada wadah besar dan tebal yang berfungsi selayaknya termos untuk menyimpan kuah santan. Kemudian, selalu ada toples kaca yang digunakan untuk menyimpan sirup frambos berwarna merah pekat. Sirup atau setrup ini seringkali juga hasil buatan sendiri untuk menekan biaya produksi.
Isian es gempol sendiri terdiri dari dua macam. Pertama, yang bentuknya bulat dan berwarna putih susu. Kedua, yang bentuknya pipih dan berwarna merah muda karena diberi pewarna makanan. Konon, yang berbentuk bulat itu namanya gempol lalu yang berbentuk pipih namanya pleret. Gempol karena ukurannya sebesar jempol, pleret karena pembuatannya harus di-pletet atau digencet supaya pipih.
Meskipun sama-sama terbuat dari tepung beras, tapi secara tekstur keduanya punya perbedaan. Gempol rasanya lebih berpasir, seperti meninggalkan remah-remah di lidah. Mirip-mirip kalau makan meniran, lah. Tapi pleret ajaibnya lebih membal, seperti mengunyah permen karet namun dengan tingkat elastisitas yang lebih rendah. Kalau soal rasa, baik gempol maupun pleret sama-sama hambar. Tapi justru kenikmatannya ada di kombinasi rasa tawar, gurih santan, dan manisnya sirup. Kalau untuk takjil buka puasa, minuman ini sebetulnya sangat memenuhi kriteria. Dahaga hilang, perut juga langsung kenyang.
Diperebutkan Jepara & Solo Raya
Ada yang bilang minuman ini berasal dari Kabupaten Jepara, kota tempat Raden Ajeng Kartini menghabiskan masa mudanya yang singkat. Saya tidak heran karena kalau dilihat dari letak geografis, sangat mungkin persebaran es gempol bisa sampai ke Pati, tempat saya dibesarkan dan juga kota-kota di sekitarnya seperti di Kudus dan Rembang.
Namun, ternyata minuman ini juga disebut-sebut berasal dari Sukoharjo yang masuk dalam administrasi Solo Raya. Konon, para pedagang dari Sukoharjo banyak yang merantau ke Semarang dan menjajakan minuman ini di Kota Pelabuhan.
Meskipun sampai sekarang masih simpang siur, tetapi sepotong informasi ini membuat saya mafhum mengapa kawan-kawan saya yang sama-sama berplat K tahu soal eksistensi es gempol. Tetapi, orang-orang terdekat saya yang berasal dari daerah lain di Jawa Tengah, misalnya Kebumen atau Magelang, mereka tak tahu menahu bahkan tak pernah mendengar sama sekali tentang es gempol.
Kalau ditanya, es gempol sebetulnya tidak memuncaki klasemen minuman favorit saya. Juara pertama dan sekaligus juara bertahan tetap dipegang oleh es dawet. Tetapi, es gempol sudah jadi golden memory bagi saya. Dari dua generasi perempuan yang ada di rumah saya, nenek dan menantunya alias bibi saya, dua-duanya kompak selalu menyebutkan es gempol setiap kali menginginkan yang dingin-dingin. Jadilah, minuman ini saya anggap sebagai minuman tradisi keluarga untuk melepaskan diri sejenak dari hawa panas–baik yang datangnya dari cuaca atau karena gesekan-gesekan kecil di rumah.
Editor: Nuran Wibisono