tirto.id - Selain tapai singkong, di kawasan Priangan juga terdapat tapai ketan sebagai kudapan musiman. Di Bandung, masyarakat menyebutnya sebagai peuyeum ketan. Kudapan ini biasanya dibuat untuk jamuan hajatan atau salah satu menu makanan yang wajib disajikan di hari Lebaran.
Setiap jelang Idulfitri, ibu dan nenek saya selalu sibuk membuat olahan tapai ketan untuk disantap di hari Lebaran. Pada Lebaran tahun ini, misalnya, ibu sudah mempersiapkan dua kilogram ketan hitam untuk difermentasi menjadi peuyeum ketan. Tentu saja ketan yang bagus sangat memengaruhi kualitas hasil fermentasi, sehingga tak jarang ibu mesti memesan terlebih dulu untuk dapat ketan yang baik.
Sebetulnya, ada dua jenis tapai ketan yang sering saya makan: tapai ketan hitam dan tapai ketan putih. Meski sama-sama berbahan dasar ketan, proses pengolahan kedua jenis ketan itu agak berbeda. Proses pembuatan dimulai dengan menyiapkan beras ketan ke dalam baskom atau boboko. Lalu dicuci sampai airnya terlihat jernih. Hal ini berlaku untuk kedua jenis ketan. Setelah bersih ketan yang sudah dibuang airnya itu selanjutnya dikukus. Tunggu sekitar 30 menit sampai teksturnya terasa matang.
Untuk mengukur kematangan ketan yang sedang dikukus, ibu biasanya mengambil secuil untuk dicicipi. Jika sudah matang, ketan kemudian diangkat dan ditiriskan menggunakan wadah besar. Setelah itu ketan ditaburi ragi secara merata. Berdasarkan cara pengolahan ibu, ketan yang sudah ditaburi ragi langsung dibungkus menggunakan daun jambu atau daun pisang untuk menambah aroma yang sedap saat dimakan. Barulah ketan yang sudah dibungkus tadi didiamkan di tempat yang sejuk selama tujuh hingga delapan hari.
Proses ini sedikit berbeda pada jenis ketan putih.
Sebelum proses pematangan akhir, ketan putih yang telah dibungkus ditaruh selama tujuh hari hingga mengeluarkan air sebagai hasil fermentasi. Air yang memenuhi wadah tidak dibuang begitu saja, bahkan dimasukkan ke atas wajan bersama ketan yang sudah dibungkus oleh daun untuk dimasak sampai airnya mengering. Teknik seperti ini dalam metode ibu dinamakan ngagulampo, yaitu proses pengendapan air sampai benar-benar meresap agar cita rasa tapai ketan putih menjadi lebih empuk dan mengandung aroma yang sedap. Sehingga nantinya olahan itu disebut peuyeum gulampo yang siap untuk disantap.
Dari tahun ke tahun hidangan peuyeum ketan dalam keluarga saya selalu menghasilkan cerita unik dan menarik. Sebut saja misalnya, kisah ulen dan tapai ketan hitam yang dituturkan ibu kepada saya. Dari segi bahan keduanya sama-sama berasal dari ketan. Namun untuk urusan rasa, ulen dan tapai ketan menunjukkan rasa yang sangat berbeda.
Bila ulen rasanya asin, maka tapai ketan hitam menyuguhkan rasa manis dan asam. Anehnya, salah seorang paman yang kala itu baru datang dari Majalengka, tanpa perasaan sesal mencelupkan sepotong ulen yang sedang disantapanya ke dalam wadah yang berisi tapai ketan hitam berlumurkan air. Tentu saja hal ini membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa, meski ada juga yang hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Bagi ibu, membuat olahan tapai ketan untuk hari Lebaran merupakan kegiatan yang menyenangkan sekaligus sebagai daya tarik agar seluruh keluarga dapat berkumpul di rumah. Di samping prosesnya yang membutuhkan waktu, dalam keluarga besar saya hanya segelintir orang saja yang bisa mengolah ketan menjadi kudapan fermentasi yang lezat. Itulah mengapa ibu menganggap jika bakat membuat tapai ketan ini merupakan prestasi di tengah keluarga besar nenek yang jumlahnya ratusan. Karena menurut ibu bakat seperti itu telah memberikan manfaat berupa sajian makanan yang ditunggu-tunggu sanak keluarga ketika Lebaran datang.
Muncul dalam benak saya untuk bertanya kepada ibu. Sebenarnya, kapan tradisi membuat peuyeum ketan ini mulai dibiasakan?
Ibu tidak tahu persis kapan tradisi pembuatan peuyeum ketan pertama kali dilakukan di dalam keluarga nenek. Ibu yang kini sudah berusia 62 tahun hanya meneruskan tradisi para sesepuh zaman dulu. Katanya, pembuatan tapai ketan sudah lazim dilakukan oleh masyarakat di Bandung saat ibu masih kanak-kanak. Merasa tidak puas, saya pun lalu bertanya kepada nenek. Jawaban nenek sama: meneruskan tradisi yang sudah terbiasa dilakukan sebelum nenek lahir. Nenek sendiri lahir pada tahun 1939. Artinya, pembuatan tapai ketan dapat dipastikan telah hadir sejak zaman Hindia Belanda.
Penelusuran yang saya dapat terkait pembuatan peuyeum ketan memperoleh sumber pustaka lama yang mencatat ihwal istilah tapai ketan. Dalam buku Rempah-rempah: Sprek Taal en Stijloefeningen voor Indlansche Scholen (1908) karya D. Grivel, misalnya, tercantum suatu pengertian mengenai tapai ketan.
Buku tersebut mengartikan “ketan jang sudah ditjampoer dengan ragi diseboetkan tapai”. Meski demikian tidak dijelaskan apa yang melatarbelakangi pembuatan tapai ketan itu. Tetapi keterangan ini mengindikasikan bahwa tradisi menghasilkan olahan tapai ketan sudah muncul setidaknya sejak awal abad ke-20.
Menurut informasi yang beredar dalam mesin pencarian Google, tapai ketan yang hadir di kawasan Priangan, konon, berasal dari Cibingbin, Kuningan, Jawa Barat. Saya sendiri belum bisa memastikan, apakah peuyeum ketan yang sering ibu buat merujuk pada tapai ketan khas Kuningan itu. Sebab, kudapan fermentasi ini bisa juga ditemui di daerah lain seperti Cirebon atau Muntilan, Jawa Tengah dengan tampilan dan cara pembuatan yang tidak begitu berbeda.
Bila dilihat dari segi komposisi, tapai ketan yang diproduski di Kuningan menampilkan bahan-bahan persis dengan bahan-bahan yang diolah ibu. Meskipun dari cara pembuatan ada sedikit perbedaan, terutama dalam proses merendam ketan sebelum dikukus di dalam panci. Selain itu tapai ketan khas Kuningan difermentasi selama tiga hari, sementara olahan peuyeum ketan ala ibu difermentasi selama 8 hari.
Lain halnya dengan tapai ketan khas Muntilan. Dalam urusan bahan, tapai ketan Muntilan biasanya menyuguhkan empat bahan utama. Selain beras ketan, bahan-bahan yang mesti dipersiapkan antara lain: daun suji, ragi atau daun pandan sebagai pewarna alami. Setelah semua bahan dipersiapkan, ketan dicuci dengan bersih setelah itu direndam selama tujuh jam.
Perbedaan lain dalam pengolahan tapai ketan Muntilan tampak pada proses pengukusan. Usai direndam selama tujuh jam, ketan tersebut kemudian dimasak selama tiga puluh menit. Dalam kondisi setengah matang, ketan itu diangkat terlebih dulu untuk dicampur dengan air daun suji supaya menampilkan warna hijau yang khas. Setelah itu ketan dikukus kembali hingga benar-benar terlihat matang. Selanjutnya ketan ini dituangkan ke dalam wadah atau loyang besar untuk ditaburi ragi secara merata.
Proses fermentasi tapai ketan Muntilan hanya membutuhkan waktu selama dua hari. Berbeda dengan cara fermentasi yang dilakukan ibu, bisa menghabiskan waktu selama delapan hari.
Terlepas dari asal-muasal peuyeum ketan, bagi saya, kudapan fermentasi ini sangat nikmat bila disantap bersama dengan teh hangat di kala Lebaran. Di tengah keluarga besar yang datang dari berbagai daerah, peuyeum ketan mempersatukan kami pada hari yang istimewa dan penuh bahagia.
Penulis: Hafidz Azhar
Editor: Nuran Wibisono