Menuju konten utama

Ekspor Benih Lobster Tak Tepat Bagi Peningkatan Penerimaan Negara

Rencana Menteri Edhy Prabowo membuka kran ekspor benih lobster dinilai justru akan berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara yang lebih besar dari ekspor lobster.

Ekspor Benih Lobster Tak Tepat Bagi Peningkatan Penerimaan Negara
Petugas menunjukkan sebagian dari 8.891 bibit lobster yang berhasil diamankan oleh jajaran Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung saat ekspose di Markas Polair Polda Lampung, Lampung. ANTARA FOTO/Ardiansyah

tirto.id - Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan mengkritik rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang akan membuka kran ekspor benih lobster. Maftuchan justru menilai bila langkah Edhy akan berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara yang lebih besar dari ekspor lobster.

“Pemerintah harus melakukan fasilitasi budi daya benih lobster menjadi lobster di dalam negeri. Ekspor lobster dewasa akan lebih berpotensi meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjamin pengelolaan sumber daya perikanan lebih berkelanjutan,” kata Maftuchan dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (19/12/2019).

Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah dan Co-coordinator Tax and Fiscal Justice Asia (TAFJA) ini mengatakan, praktik penyelundupan benih lobster tidak dapat menjadi alasan dibukanya kran ekspor benih lobster.

Sebab, kata Maftuchan, untuk mengatasi penyelundupan, pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum dengan lebih baik. Bukan dengan cara jalan pintas merevisi kebijakan Susi Pudjiastuti yang melarang ekspor benih lobster saat jabat menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK.

Apalagi, kata Maftuchan, “Kegiatan ekspor komoditas unggulan Indonesia selama ini belum tertata dengan baik sehingga belum berkontribusi bagi optimalisasi penerimaan negara.”

Menurut dia, praktik trade misinvoicing, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor seringkali digunakan oleh eksportir dan importir untuk menghindari bea masuk, mengeksploitasi insentif fiskal-nonfiskal dan mengeksploitasi celah hukum.

“Praktik ini menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan pajak dan penerimaan non-pajak,” kata Maftuchan menegaskan.

Dari kajian yang dilakukan the Prakarsa (2019) “Mengungkap Aliran Keuangan Gelap Komoditas Ekspor Unggulan Indonesia: Besaran dan Potensi Hilangnya Penerimaan Negara” menunjukkan bahwa praktik trade misinvoicing pada enam komoditas ekspor unggulan, yaitu batu bara, tembaga, minyak sawit, karet, kopi dan udang-udangan/krustacea telah mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebesar 11,1 miliar dolar AS atau Rp155 triliun dan hilangnya potensi penerimaan negara dari royalti (dari praktik under-reported) sebesar 2,9 miliar USD (Rp40,6 triliun).

Hasil estimasi the Prakarsa menunjukkan aliran keuangan gelap dengan pendekatan trade misinvoiving dengan menghitung selisih pencatatan perdagangan antara negara asal dan tujuan pada enam komoditas ekspor unggulan tersebut di atas pada rentang 1989-2017: aliran keuangan gelap masuk (dengan cara over invoicing) dari enam komoditas ekspor unggulan mencapai 101,49 miliar dolar AS atau Rp1.420 triliun.

Sedangkan aliran keuangan gelap keluar (dengan cara under invoicing) mencapai 40,58 miliar dolar AS (Rp567 triliun). Aliran keuangan gelap keluar (outflow) terbesar bersumber dari komoditas batu bara sebesar 19,64 miliar dolar AS dan aliran keuangan gelap masuk (inflow) terbesar berasal dari komoditas minyak sawit yang nilainya mencapai mencapai 40,47 miliar dolar AS.

“Potensi hilangnya penerimaan negara tersebut dihitung dari praktik under-invoicing pada kegiatan ekspor. Hal ini dilakukan dengan cara mencatat volume ekspor yang lebih rendah dibandingkan yang sebenarnya. Sehingga perusahaan membayar pajak pendapatan dan royalti lebih rendah dari yang seharusnya dibayarkan,” kata ekonom the Prakarsa Widya Kartika.

Karena itu, kata Maftuchan, melihat besarnya aliran keuangan gelap, baik masuk dan keluar yang menyebabkan negara kehilangan potensi pajak dan royalti, maka penting bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan tata kelola impor-ekspor yang lebih baik.

Menurut dia, membuka kran ekspor benih lobster merupakan langkah kontra produktif terhadap perbaikan tata kelola ekspor-impor dan bertentangan dengan agenda peningkatan value-added economy sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia.

“Pemerintah juga perlu mengkaji secara mendalam insentif fiskal dan non-fiskal kegiatan ekspor dan impor untuk komoditas strategis. Pemerintah juga perlu melakukan audit nilai ekspor dan impor semua perusahaan sebagai mekanisme pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan eksportir-importir untuk mengatasi aliran keuangan gelap yang lebih komprehensif,” kata dia.

Baca juga artikel terkait EKSPOR LOBSTER atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri