Menuju konten utama

Infrastruktur Jangan Jadi Dalih Ekspor Benih Lobster, Pak Edhy

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menilai infrastruktur budi daya lobster memang belum mendukung, dan ekspor benih lobster perlu dilakukan demi alasan keekonomian.

Infrastruktur Jangan Jadi Dalih Ekspor Benih Lobster, Pak Edhy
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kanan) menunjukkan indukan ikan Nila saat mengunjungi Loka Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar (PBIAT) Ngrajek, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (6/12/2019). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/pd

tirto.id -

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo seperti tak kehabisan argumen untuk membenarkan rencana pencabutan larangan ekspor benih lobster. Ia menjawab berbagai kritik dan tudingan atas kebijakan tersebut dengan tenang.

Selain ingin meningkatkan devisa dan penerimaan negara, ia bilang kebijakan yang diterapkan pendahulunya, Susi Pudjiastuti, tak benar-benar berhasil menangkal penyelundupan. Di sisi lain, kebijakan itu telah membuat para nelayan yang mengambil benih lobster kehilangan mata pencaharian.

Argumen terkini yang dilontarkan Edhy terkait infrastruktur. Menurutnya, Indonesia tidak memiliki infrastruktur yang cukup untuk budi daya benih lobster.

Lantaran itu ia berencana membuka keran ekspor dengan skema yang sama dengan nikel: memberikan kuota ekspor pada pengusaha yang mau membangun infrastruktur budi daya lobster.

“Kalau tanya saya, saya maunya dibudidayakan di Indonesia. Tapi infrastrukturnya sesiap apa? Kalau diekspor itu dengan catatan kami tidak bisa besarkan sendiri," kata Edhy dalam acara Temu Stakeholders Pendidikan dan Bisnis Kelautan dan Perikanan yang digelar di Jakarta, Kemarin (16/12/2019).

Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) Wayan Sudja membenarkan pernyataan Edhy. Masalahnya, termasuk seleksi kawasan budi daya yang kompleks, pasokan pakan, logistik benih lobster, sampai mencari pembeli.

Belum lagi proses penangkaran lobster butuh waktu lama, setidaknya 1 tahun, katanya.

Namun, ia mengaku hambatan paling besar bukan itu, tapi regulasi yang tidak pro bisnis.

Ia bilang pengusaha mau-mau saja menggelontorkan modal untuk infrastruktur. Hanya saja, sebagai timbal balik, ia meminta pengusaha diperbolehkan menangkap benih lobster di alam.

Kalau keran ekspor kembali dibuka, Wayan sepakat pengusaha diberi kuota yang secara bertahap dikurangi seiring makin baiknya usaha penangkaran lobster.

“Benih lobster tidak masuk di daftar hewan terlarang atau CITES. Jika tidak masuk daftar CITES, apa alasan Susi melarang?” ucap Wayan kepada reporter Tirto, Selasa (17/12/2019).

Setali tiga uang, nelayan asal Lombok, Amin Abdullah, juga mengakui bahwa infrastruktur budi daya lobster belum mendukung terutama untuk masyarakat sepertinya.

Saat ini masyarakat masih melakukan budi daya dengan cara manual, kalah jauh dari sisi keterampilan/teknik dari Vietnam.

Daftar itu belum selesai sebab masyarakat kembali mengalami hambatan usai panen dan proses jual-beli. Perkara ini, menurut Amin, terjadi karena Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak melakukan intervensi terhadap pembudidaya lobster.

“Intervensi KKP dalam memajukan kegiatan budi daya lobster di masyarakat pesisir sebatas pengadaan benih dan bibit,” ucap Amin saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/12/2019).

Namun, pada akhirnya ia menilai ekspor benih sebaiknya tak dilakukan. Sebelum ada pelarangan, ia pernah memiliki pengalaman sulitnya mencari benih dan sempat membuat mata pencaharian masyarakat kolaps.

Bisa Dipelihara oleh Alam

Ekspor benih lobster menuai kritik lantaran kebijakan ini menguntungkan negara penerima seperti Vietnam. Saat benih di Indonesia berpotensi dieksploitasi besar-besaran, pasokan yang menipis malah akan membuat Indonesia rentan menjadi importir baik benih maupun lobster dewasa.

Periset Mandiri Ekonomi Kelautan Indonesia, Suhana, mengatakan ketiadaan infrastruktur yang memadai tidak bisa dijadikan alasan untuk membolehkan ekspor benih lobster.

Menurutnya, ekspor seharusnya tetap dilarang demi menjaga ekosistem dan pasokan benih bagi masyarakat pembudidaya.

“Pola pikir Pak Menteri keliru. Nikel dengan lobster itu beda. Lobster harus dijaga betul keberlanjutannya,” ucap Suhana dalam pesan singkat, Selasa (17/12/2019).

Suhana mengingatkan bahwa upaya budi daya benih lobster dalam skala besar juga mengandung risiko sebab pengembangbiakan lobster bergantung dari jumlah benih yang ada di alam, serta jumlah ikan curah atau teri di lautan.

Untuk mengembangbiakkan satu kilogram lobster, ujar dia, dibutuhkan 30-50 kg ikan rucah. Tanpa pakan buatan, pengembangbiakan lobster, menurutnya, akan membuat masalah apalagi saat ini belum ada pabrik yang bisa membuatnya.

Sebaliknya, ia menyarankan agar penangkaran lobster tetap mengandalkan alam. Sejalan dengan kebijakan Susi, ia menyarankan agar kebijakan itu dilanjutkan dengan hanya menangkap lobster berukuran besar yang sudah dewasa.

“Benih lobster sebaiknya tetap dijaga di alam,” ucap Suhana.

Apa yang diucapkan Suhana ini sejalan dengan kritik Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019, Susi Pudjiastuti. Menurutnya, Edhy lupa bahwa ekosistem laut adalah infrastruktur yang diperlukan bagi lobster berkembang.

Alih-alih menjadikan kerusakan alam sebagai alasan untuk membenarkan ekspor benih lobster, Susi mengatakan seharusnya terumbu karang dan pasir lautan dijaga.

Dengan demikian, lobster termasuk hewan laut lain seperti ikan bisa berkembang biak dengan baik.

“Infrastruktur yang dibutuhkan lobster untuk beranak pinak dan besar adalah terumbu karang, pasir, laut bersih. Makanya kita harus jaga terumbu karang dan jangan dijual juga,” ucap Susi dalam akun Twitternya @susipudjiastuti, Senin (16/12/2019).

Baca juga artikel terkait EKSPOR BENIH LOBSTER atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana