tirto.id - Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang menjadi narapidana kasus korupsi, bebas bersyarat sejak 16 Januari 2024. Hal ini dikonfirmasi Kabag Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Deddy Edward Eka Saputra.
"Iya betul, beliau (Nur Alam ) bebas bersyarat sejak tanggal 16 Januari 2024," kata Deddy melalui pesan singkat, Jumat (19/1/2024).
Menurutnya, Nur Alam mendapatkan bebas bersyarat usai memenuhi syarat substantif serta administratif. Ia menambahkan, usai bebas dari penjara, Nur Alam dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kalas I Bandung hingga 27 Januari 2029.
"Yang bersangkutan telah memenuhi syarat substantif dan administratif. Saat ini yang bersangkutan berada di bawah bimbingan Bapas Klas I Bandung, dengan masa bimbingan sejak tanggal 16 Januari 2024 hingga 27 Januari 2029," urai Deddy.
Sebagai catatan, Nur Alam dinilai terbukti dalam dua dakwaan. Pertama, sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018, bersama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Provinsi Sulawesy Tenggara, Burhanuddin, dan Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi, melakukan tindak pidana korupsi.
Mereka memberikan persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi, dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp1,59 triliun.
Dalam dakwaan kedua, Nur Alam dinilai terbukti menerima gratifikasi sebesar 4,499 juta dolar AS atau senilai Rp40,268 miliar.
Uang itu diterima pada September-Oktober 2010 sebesar 2,499 juta dolar AS yang ditempatkan di rekening AXA Mandiri Financial Service. Uang itu berasal dari rekening Chinatrust Commericial Bank Hongkong atas nama Richcorp International Ltd.
Pada putusan tingkat pertama 28 Maret 2018, majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Nur Alam 12 tahun penjara.
Selain itu, Nur Alam juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar dan pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah selesai menjalani hukuman.
Mengenai uang pengganti dan pencabutan hak politik, majelis PT Jakarta sepakat dengan pengadilan tingkat pertama.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Irfan Teguh Pribadi