tirto.id - Pengamat ekonomi dari IndiGo Network, Ajib Hamdani menilai, reflasi akan menjadi tantangan ekonomi bagi Indonesia untuk memulai awal tahun mendatang. Reflasi adalah istilah dari risiko resesi terjadi di sejumlah negara disertai dengan tingginya inflasi.
"Kondisi ini yang kemungkinan menjadi tantangan ekonomi 2023 nanti," kata Ajib kepada Tirto, Rabu (23/11/2022).
Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tidak akan seagresif tahun ini yang selalu tumbuh di atas 5 persen setiap kuartalnya. Untuk diketahui, laba kuartal I-2022 ekonomi domestik berhasil tumbuh sebesar 5,01 persen di kuartal II-2022 tumbuh sebesar 5,44 persen, dan kuartal III-2022 sebesar 5,72 persen.
"Tahun 2023, dengan pelemahan daya beli masyarakat, akan membuat pertumbuhan ekonomi jadi melandai. Tetapi tetap positif," kata Ajib.
Walaupun demikian, Ajib yang juga Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo optimis bahwa Indonesia tidak akan masuk ke jurang resesi pada 2023 nanti. Walaupun kondisi ketidakpastian terjadinya reflasi menghantui dalam negeri.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kondisi reflasi akan berdampak bagi Indonesia. Misalnya kesempatan kerja di Indonesia menurun dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
"Imbasnya apa? Imbasnya pada pelemahan nilai tukar Rupiah, tingkat pengangguran meningkat, angka kemiskinan meningkat, dan Indonesia bisa sulit kembali lagi misalnya menjadi negara berpenghasilan menengah atas mungkin akan terjebak dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi rendah dan recovery-nya butuh waktu yang sangat lama," jelas Bhima kepada Tirto.
Menurut Bhima, Indonesia mesti mewaspadai kombinasi inflasi tinggi dengan resesi ekonomi. Sebab reflasi sendiri sudah terjadi seperti di Inggris dan Rusia akibat perang yang mengakibatkan krisis pangan dan energi
"Di banyak negara lain bahkan sudah menjadi negara bangkrut seperti Sri Lanka," imbuhnya.
Selain itu, kondisi reflasi juga bisa berdampak cukup signifikan kepada kinerja perdagangan ekspor Indonesia. Selama ini, kata Bhima ekspor Indonesia sebagian masih bergantung pada Cina, AS, dan Eropa. Sementara tiga kawasan tersebut terutama Cina tengah mengalami lockdown akibat kasus COVID-19 naik.
"Kita mengimpor dari Cina itu 30 persen sementara kita ekspor ke sana 20 persen dari total pangsa ekspor. Jadi terjadi di Cina misalnya akan merembet pada kenaikan inflasi dari sisi biaya bahan baku, biaya operasional, harga pangan juga naik, sementara dari permintaan ekspor lesu," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin