tirto.id - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menyebut, Indonesia dan seluruh dunia saat ini tengah menghadapi kondisi reflasi. Reflasi merupakan istilah dari risiko resesi terjadi di sejumlah negara disertai dengan tingginya inflasi.
"Bahkan sekarang istilahnya adalah reflasi risiko resesi dan tinggi inflasi," kata Perry dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR, di Jakarta dikutip Rabu (23/11/2022).
Dia menuturkan, inflasi tinggi terjadi akibat dari sisi suplai harga energi dan pangan yang meningkat tajam imbas dari perang antara Rusia dan Ukraina. Kondisi inflasi tinggi pun diperkirakan akan berlangsung lama dan membuat sejumlah negara mengambil langkah kebijakan moneternya.
"Belum tentu inflasinya akan turun, sehingga kejar-kejaran antara naikan suku bunga dan inflasi yang tinggi," katanya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan terus mengerek tingkat suku bunganya. Ini merespon kenaikan inflasi tinggi terjadi di negeri Paman Sam tersebut.
"Suku bunga tinggi akan berlangsung lama di AS kenaikan The Fed kemarin terakhir 75 bps menjadi 4 persen. Kemungkinan Desember akan menaikan lagi 50 BPS sehingga 4,5 persen dan tahun depan jadi 5 persen. Dan puncaknya (suku bunga) tidak akan segera turun," katanya.
Bank Sentral Eropa juga diperkirakan bakal terus melanjutkan era suku bunga tinggi. Sebab inflasi di Eropa mencapai 10 persen dan di Inggris mendekati 11 persen pada Oktober 2022.
"Di Eropa juga begitu, ICB bank sentral Eropa juga terus menaikkan suku bunga dan juga di Inggris. Inilah higher interest rate for longer dan tentu saja karena inflasinya dari sisi supply energi dan pangan belum tentu akan segera turun," jelasnya.
Dampak Kondisi Reflasi untuk Indonesia
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menuturkan kondisi reflasi memang menunjukan tingkat inflasi yang tinggi berbarengan dengan resesi ekonomi. Kondisi itu akan berdampak kepada kesempatan kerja menurun dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
"Imbasnya apa? Imbasnya pada pelemahan nilai tukar Rupiah, tingkat pengangguran meningkat, angka kemiskinan meningkat, dan Indonesia bisa sulit kembali lagi misalnya menjadi negara berpenghasilan menengah atas mungkin akan terjebak dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi rendah dan recovery-nya butuh waktu yang sangat lama," jelas Bhima kepada Tirto.
Menurut Bhima, Indonesia perlu mewaspadai kombinasi inflasi tinggi dengan resesi ekonomi. Sebab reflasi sendiri sudah terjadi seperti di Inggris dan Rusia akibat perang yang mengakibatkan krisis pangan dan energi
"Di banyak negara lain bahkan sudah menjadi negara bangkrut seperti Sri Lanka," imbuhnya.
Selain itu, kondisi reflasi juga bisa berdampak cukup signifikan kepada kinerja perdagangan ekspor Indonesia. Selama ini, kata Bhima ekspor Indonesia sebagian masih bergantung pada Cina, AS, dan Eropa. Sementara tiga kawasan tersebut terutama Cina tengah mengalami lockdown akibat kasus COVID-19 naik.
"Kita mengimpor dari Cina itu 30 persen sementara kita ekspor ke sana 20 persen dari total pangsa ekspor. Jadi terjadi di Cina misalnya akan merembet pada kenaikan inflasi dari sisi biaya bahan baku, biaya operasional, harga pangan juga naik, sementara dari permintaan ekspor lesu," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin