tirto.id - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) meminta kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) untuk sementara waktu.
Sebab, menurut Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah, jika RUU Minerba diselesaikan sebelum masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 ini berakhir, maka sangat rentan dengan transaksi politik.
"Jadi kami minta pembahasan ini hati-hati dengan cara menunda dulu perbincangan. Karena berada di momen transisi politik atau pergantian dengan anggota DPR yang baru," ujarnya usai melakukan diskusi bertajuk "Rancangan Peraturan Percepatan Investasi. Predator Bagi Ruang Hidup Rakyat"
Merah menerangkan, salah satu poin yang Jatam khawatirkan yaitu pasal 169 tentang kontrak karya. Apalagi saat ini, ia mengatakan, terdapat tujuh perusahaan tambang besar yang akan habis kontraknya.
"Kami melihat ada potensi titipan [pasal] dari tujuh perusahaan batu bara terbesar di Indonesia itu agar mereka bisa meloloskan izin memperpanjang kontraknya. Makanya itu berbahaya, apalagi lagi transisi politik," ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, masih terdapat beberapa pasal lainnya yang berada di dalam RUU Minerba yang hanya menguntungkan perusahaan tambang dan tidak berpihak terhadap masyarakat. Berdasarkan penilaiannya, tidak ada satu pun pasal yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menolak ketika investasi tambang masuk.
"Jadi 99 persen RUU ini hanya membicarakan terkait perizinan tambang yang bermanfaat bagi pengusaha. Apa manfaatnya buat masyarakat dan lingkungan? Kalau misalnya sekarang disahkan, kasihan anggota DPR selanjutnya, harus menanggung. Makanya kami ingin ini [RUU Minerba] di setop dulu pembicaraannya sampai pengurus DPR baru," pungkasnya.
Kemudian, Merah pun khawatir pihak perusahaan pertambangan tersebut akan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan Peraturan Perundang-undangan (Perpu) untuk memperpanjang kontrak mereka.
"Apalagi setelah Jokowi ngomong 'Siapa yang menghalangi investasi, akan saya hajar'. Berarti akan ada kemungkinan Jokowi mengganti itu dengan Perpu. Karena ribet ketika lewat UU harus bertempur dengan DPR," terangnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Alexander Haryanto