tirto.id - Komisi II DPR telah melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke gudang penyimpanan e-KTP invalid atau bermasalah di Bogor, Jawa Barat, Senin (28/5/2018). Hal ini dilakukan sehubungan dengan tercecernya sejumlah e-KTP invalid di Salabenda, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/5/2018).
Wakil Ketua Komisi II DPR, Nihayatul Wafiroh yang memimpin langsung sidak tersebut menyatakan, terdapat 805 ribu e-KTP bermasalah dari seluruh Indonesia yang tersimpan di gudang tersebut selama lebih kurang 8 tahun.
Seluruh e-KTP bermasalah itu, kata perempuan yang akrab disapa Ninik ini, mengalami dua macam kesalahan. Pertama, kesalahan teknis, seperti salah cetak halaman depan dan belakang. Kedua, kesalahan non-teknis, seperti nama keliru, status salah, dan NIK tidak benar.
Dari dua jenis kesalahan tersebut, Ninik menilai, jenis kekeliruan yang kedua sangat rawan untuk diselewengkan dalam pemilihan umum (pemilu). Sebab, kata dia, kesalahan semacam itu hanya bisa dibuktikan dengan melihat ke sistem daring yang dimiliki Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Sedangkan sampai saat ini, kata Ninik, belum ada alat pendeteksi e-KTP di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sehingga, sangat mungkin e-KTP invalid lolos begitu saja digunakan pihak tertentu untuk melakukan kecurangan dalam pemilu.
“Yang jadi persoalan adalah selama 8 tahun ke belakang ini sudah banyak sekali pilkada dan mungkin sudah banyak e-KTP rusak yang diselewengkan," kata politikus PKB ini.
Saat sidak, Ninik menyatakan, pihak Kemendagri di lokasi sempat menjelaskan bahwa kemungkinan penyelewengan sangat kecil karena pemilih sudah tercatat di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Akan tetapi, kata dia, penjelasan itu tidak cukup sebagai jaminan, sebab menurutnya seseorang bisa saja mengajukan surat pindah dan dinyatakan sebagai pemilih sah.
"Kemendagri tidak memiliki jaminan bahwa e-KTP yang selama ini invalid tidak disalahgunakan," kata Ninik.
Karena itu, kata Ninik, Komisi II akan segera melakukan investigasi khusus untuk menyelidiki indikasi-indikasi penyelewengan e-KTP invalid di sejumlah pemilu atau pilkada yang telah dilangsungkan selama 8 tahun ke belakang. Termasuk untuk Pilpres 2014.
"Yang jelas kami bekerja sama dengan kepolisian untuk menyelidiki yang kemarin itu. Ini bahaya," kata Ninik.
Dugaan penyelewengan untuk pemilu juga disampaikan Wakil Ketua Komisi II lainnya, Ahmad Riza Patria. Menurut politikus Gerindra ini, penyelewengan bisa saja terjadi sejak pendataan e-KTP di tingkat Dukcapil kelurahan.
“Bisa saja sejak dari sistem sudah ada penyelewengan. Penggandaan data misalnya. Itu, kan, banyak yang keliru. Karena Kemendagri ini tidak punya sistem deteksi dini yang salah bisa dideteksi sebelum dicetak," kaya Riza kepada Tirto.
Selanjutnya, kata Riza, kesalahan prosedur juga sangat mungkin terjadi saat pengiriman dari daerah ke tempat penampungan di Bogor. Menurut Riza, tidak ada yang bisa menjamin selama pengiriman tersebut e-KTP invalid ini tidak didistribusikan ke tempat lain untuk kepentingan tertentu.
"Kami akan datang ke dukcapil. Akan melihat lagi ke dukcapilnya apakah benar sebelum dibawa ke gudang sudah memenuhi syarat atau tidak," kata Riza.
Kemendagri Harus Jelaskan Secara Transparan
Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menilai, potensi-potensi penyelewengan seperti yang dikatakan kedua pimpinan Komisi II DPR tersebut benar. Alasannya, kata Titi, e-KTP merupakan barang vital untuk menentukan keikutsertaan seorang warga negara dalam pemilu. Bahkan telah diatur sebagai syarat utama untuk memilih dalam Pilpres 2019.
"Kejadian semacam ini, meskipun sebuah kelalaian, bisa menimbulkan spekulasi dan politisasi oleh aktor politik berkepentingan. Ini bisa mengganggu jalannya pilkada dan pemilu," kata Titi, di D' Hotel, Manggarai, Jakarta Pusat, Selasa (29/5/2018).
Selain itu, kata Titi, kejadian ini bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil, jujur, bebas, dan langsung. Bukan tidak mungkin, kata dia, keabsahan hasil pemilu akan digugat sejumlah pihak dan membuat demokrasi yang telah dibangun selama dua puluh tahun ke belakang mengalami kemunduran.
"Kemendagri harus bisa jelaskan secara transparan dan akuntabel kepada publik tentang apa yang sesungguhnya terjadi," kata Titi.
Selanjutnya, kata Titi, Kemendagri harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola e-KTP dari tingkat daerah sampai pusat. "Kalau memang ada cacat atau rusak di tengah konstelasi politik, sebaiknya memang dimusnahkan dengan prosedur yang benar. Menjamin kehati-hatian dan menghindari kelalaian," kata Titi.
Perihal ini, Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, pihaknya belum memusnahkan e-KTP invalid karena digunakan sebagai bukti jika terdapat pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lebih lanjut, Zudan menjelaskan, sejak 2014 akhir wewenang pencetakan e-KTP sudah disebar ke daerah. Akan tetapi, pengumpulan lembar kartu identitas yang rusak masih terpusat di ibu kota.
E-KTP yang harus dikirim ke pusat adalah kartu yang cacat fisiknya atau memuat data invalid. Zudan berkata, e-KTP rusak itu dibutuhkan untuk membuktikan kebenaran jumlah produksi kartu identitas jika sewaktu-waktu ada pemeriksaan dari BPK.
“Iya itu untuk pembuktian ke BPK. Takutnya jika [e-KTP rusak] langsung dimusnahkan, kemudian BPK memeriksa berapa KTP yang kami produksi, jumlahnya kurang, kami dituduh memproduksi kurang dari rencana," kata Zudan kepada Tirto.
"Dijamin tidak ada penyelewengan," kata Zudan menambahkan.
Sebelumnya, atas peristiwa ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, dirinya mempertaruhkan jabatannya untuk menjamin keamanan data dan tidak adanya penggunaan e-KTP untuk kepentingan pemilu atau pilkada.
"Saya menjamin tidak mungkin data e-KTP digunakan untuk kepentingan pilkada, pemilu, dan sebagainya [...] Soal masyarakat ada yang terlambat terima e-KTP, ya kami akui memang mungkin terlambat prosesnya. Tapi kalau dipalsukan, apalagi digunakan untuk pilkada, pileg, saya mempertaruhkan jabatan dan kehormatan saya untuk tidak akan terjadi,” ujar Tjahjo di Kemendagri, Jakarta, Senin (28/5/2018).
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz