tirto.id - Lagu "Halo-halo Bandung" diputar dan dinyanyikan bersama oleh ribuan buruh yang memenuhi Istora Senayan, Jakarta, saat bakal calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto menaiki panggung diikuti Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
“Sesuai [hasil] Rakernas KSPI, kami mendukung Prabowo di [Pilpres] 2019,” kata Said Iqbal yang langsung disambut sorak-sorai para buruh yang hadir.
Dalam kesempatan itu, KSPI secara resmi menyatakan dukungannya kepada bekas Pangkostrad tersebut. Dukungan itu sebelumnya juga disampaikan Said Iqbal di tengah massa aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2018, di kawasan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Said Iqbal bahkan sesumbar jika dirinya mampu memberikan 5 hingga 10 juta suara untuk Prabowo Subianto pada Pilpres 2019.
“[Sebanyak] 98 persen anggota KSPI memilih Prabowo Subianto. [Ada] 2,2 juta orang anggota KSPI dengan keluarga hampir 5,7 juta orang. Kami akan berusaha menyumbangkan suara 5 hingga 10 juta untuk Prabowo Subianto,” kata Said Iqbal, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (01/05/2018).
Meski demikian, tampaknya seruan Said Iqbal tak merata sampai ke akar rumput. Masih ada sejumlah anggota KSPI yang ikut merayakan May Day 2018 belum membulatkan hati untuk mendukung Prabowo.
Salah satunya Edi Suhandi (51 tahun). Pria yang menjadi buruh hampir 30 tahun di PT Unitex Bogor itu menyatakan, sampat saat ini dirinya belum menentukan sikap terkait pilihannya di Pilpres 2019.
“Justru saya melihat situasi dan kondisi dulu. Sejauh mana Pak Prabowo itu komitmen terhadap buruh. Nanti kalau udah ada komitmen yang jelas, mungkin kami ikuti alur pimpinan. Intinya saya belum ambil sikap,” kata Handi, sapaan akrab Edi Suhandi, saat ditemui Tirto, di sekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Handi mengatakan, dirinya tidak terlalu ambil pusing dengan figur dan siapa yang akan dipilih di Pilpres 2019 nanti. Menurut dia, yang terpenting adalah bagaimana keberpihakan program para calon presiden terhadap kaum buruh.
Hal senada juga diungkapkan anggota KSPI lainnya, Edi Subandi (35 tahun). Menurut Edi, selama empat tahun masa kepemimpinannya, Presiden Jokowi cukup baik dalam bekerja, khususnya dalam hal ketenagakerjaan.
“Ya kayaknya sih, masih mikir-mikir. Soalnya sementara ini sih udah bagus Pak Jokowi. Dari segi penanganannya, masalah ketenagakerjaan mungkin sudah bagus,” kata Edi kepada Tirto, di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Selasa (01/05/2018).
Inkonsistensi antara pucuk pimpinan serikat buruh dengan anggotanya juga terjadi di Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI). Dalam seruannya soal Panca Maklumat Rakyat Pekerja Indonesia, Ketua Umum KRPI, Rieke Diah Pitaloka berkali-meneriakkan “memberikan mandat kepada Presiden Joko Widodo.”
Namun, suara kekecewaan atas kepemimpinan Presiden Jokowi juga muncul dari anggota KRPI. Salah satunya adalah Suharyono (45 tahun). Ia mengatakan, selama sekitar 4 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi tidak ada perubahan dalam kehidupan pekerja.
“Ya beginilah nasib kami selama ini, enggak ada perubahan,” kata Suharyono, di trotoar Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (01/05/2018).
Salah satu yang Suharyono kritisi ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurut dia, regulasi itu merugikan dan mencekik buruh. Selain itu, ia juga menyoroti kebijakan pemerintah soal tenaga kerja buruh kasar asing.
Hal yang sama juga diungkapkan pegawai PT Dok dan Galangan Kapal Kodja Bahari, Nana Suryana. Menurut dia, Presiden Jokowi tidak melaksanakan janji yang dibuatnya kepada buruh saat bertarung di Pilpres 2014 lalu.
"Intinya di jaman Pak Jokowi tidak ada perubahan terhadap pekerja. Jadi apa yang dia janjikan di 2014 lalu, seperti dia akan peduli terhadap rakyat pekerja, itu belum terbukti," kata Nana.
Serikat Buruh Tak Satu Suara
Selain dukungan serikat buruh yang tidak mencerminkan suara para anggotanya, ada sejumlah organisasi pekerja lain yang secara tegas tidak mendukung salah satu dari Prabowo dan Jokowi di Pilpres 2019. Alasannya, Jokowi dinilai gagal menciptakan kesejahteraan bagi para pekerja. Sementara Prabowo dianggap tak lebih baik dari Jokowi karena faktor masa lalunya.
“Posisi politik kami, buruh lebih baik membangun partai sendiri sebagai kekuatan politik ketiga/alternatif,” kata Juru Bicara Serikat Buruh Demokrasi Kerakyatan (SEDAR) Sherin saat dihubungi Tirto, Senin (30/4/2018).
SEDAR menilai, kegagalan Jokowi terlihat dari lahirnya PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dengan aturan ini, kata dia, penentuan upah dihitung berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi tiap tahun.
Menurut Sherin, PP 78/2015 mengabaikan survei harga kebutuhan pokok setiap tahun yang biasa dipakai buruh untuk menuntut kenaikan upah.
Sherin juga menyebut pembangunan masif infrastruktur di era Pemerintahan Jokowi tak cukup menciptakan lapangan pekerjaan. Menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan industrialisasi nasional agar penyerapan tenaga kerja bisa berjalan masif.
SEDAR juga menganggap Prabowo tak lebih baik dari Jokowi. Serikat itu menyebut tak akan mendukung Ketua Umum Partai Gerindra itu untuk menjaga amanat reformasi. Sherin mengatakan Prabowo melalui partainya terbukti kerap mendukung wacana anti-demokrasi. Sikap politik dimaksud adalah posisi Gerindra yang mendukung penghapusan pilkada langsung dan giatnya partai itu menyuarakan gerakan "kembali ke UUD 1945".
“Mendukung Prabowo sama dengan mengkhianati reformasi [...] Kalau Prabowo jelas bermasalah karena punya track [record] pelanggaran HAM. Apalagi sekarang ditambah dengan kelompok-kelompok reaksioner dan intoleran berkumpul mendukung dia,” ujar Sherin.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani