tirto.id - Produk roti Aoka dan Okko belakangan hangat diperbincangkan karena dituding mengandung bahan tambahan pangan (BTP) berbahaya, yakni natrium dehidroasetat atau sodium dehidroasetat. Senyawa tersebut biasanya digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme dalam produk kosmetik dan farmasi.
Kandungan senyawa itu disebut membuat produk roti Aoka dan Okko lebih tahan lama. Dua roti itu disebut mampu bertahan hingga tiga bulan. Dua produk roti ini jamak ditemui di warung tradisional atau toko kelontong.
Dijual dengan harga Rp3-4 ribu, roti Aoka dan Okko juga disebut-sebut berpotensi mengancam produsen roti lokal level UMKM.
Roti Okko diproduksi oleh PT Abadi Rasa Food yang berstatus perusahaan swasta nasional. Mayoritas saham perusahaan tersebut dimiliki warga kelahiran Cina, Wu Qiulin, yang juga direktur perusahaan. Pengurus perusahaan lainnya dijabat oleh warga Indonesia.
Sementara itu, roti Aoka diproduksi oleh PT Indonesia Bakery Family yang berstatus perusahaan penanaman modal asing (PMA). Pemegang saham mayoritas perusahaan itu adalah PT East Asia Jaya yang dimiliki perusahaan asal Singapura, Friendship International Pte Ltd.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia sekaligus Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), Hardinsyah, menyatakan bahwa senyawa natrium dehidroasetat sendiri memang banyak digunakan untuk produk nonpangan, seperti parfum, kosmetik, dan farmasi.
Belakangan, kata dia, senyawa natrium dehidroasetat mulai digunakan pada produk makanan dengan dosis yang sangat minim dan diawasi ketat.
Jika mengacu standar Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), batas asupan harian natrium dehidroasetat yang bisa diterima (ADI) adalah 0-0,6 mg per kg berat badan per hari. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) juga memperbolehkan penggunaan senyawa tersebut pada makanan dengan kadar yang sangat kecil.
Natrium dehidroasetat cuma diperbolehkan untuk produk labu kupas dengan batas dosis 65 bagian per sejuta (PPM). Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) bahkan belum menyetujui natrium dehidroasetat yang merupakan turunan dari asam dehidroasetat sebagai zat aditif makanan.
“Adapun di Indonesia sesuai dengan Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan [BTP], saya rasa juga belum masuk. Bisa dilihat sendiri aturannya,” kata Hardiansyah, Rabu (24/7/2024).
Hardiansyah menerangkan bahwa penggunaan natrium dehidroasetat dalam jumlah yang banyak akan menimbulkan sejumlah masalah kesehatan, seperti iritasi di mulut, tenggorokan, dan usus. Senyawa itu bisa menyebabkan rasa panas terbakar, seperti tergores, hingga pendarahan ringan.
Sementara itu, sebuah studi yang terbit dalam jurnal Regulatory Toxicology and Pharmacology (Volume 137, 2023) menemukan adanya potensi toksisitas pemberian sodium dehidroasetat dalam dosis tertentu. Pengujian ini dilakukan pada hewan dengan hasil efek toksik berupa gangguan pertumbuhan, gangguan hematologi, serta kerusakan jaringan dan organ.
“Studi pada binatang, tapi itu juga ada bisa menyebabkan kanker. Ingat, penelitian untuk manusia masih terbatas, tapi setidaknya ini perlu jadi perhatian batas penggunaan,” ujar Hardinsyah.
Hasil Uji BPOM
Merespons kegaduhan terkait kandungan BTP berbahaya pada roti Aoka dan Okko, BPOM pada Rabu (24/7/2024) merilis hasil pengujian dari dua produk tersebut. BPOM mengambil sampel produk roti Aoka dan melakukan pengujian pada 28 Juni 2024. Hasil pengujian menunjukkan bahwa produk roti Aoka tidak mengandung natrium dehidroasetat.
“Hal ini sejalan dengan hasil inspeksi ke sarana produksi roti Aoka pada 1 Juli 2024 yang menunjukkan tidak ditemukannya natrium dehidroasetat di sarana produksi,” kata Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPOM, Rizka Andalusia, dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Rabu (24/7/2024).
BPOM juga melakukan inspeksi ke sarana produksi roti Okko pada 2 Juli 2024. Hasil inspeksi menemukan bahwa produsen tidak menerapkan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB) dengan benar dan konsisten.
Terhadap temuan di sarana produksi roti Okko tersebut, BPOM sudah melakukan penghentian kegiatan produksi dan peredaran. Lebih lanjut, BPOM turut melakukan sampling dan pengujian di laboratorium.
“Hasil pengujian terhadap sampel roti Okko dari sarana produksi dan peredaran menunjukkan adanya natrium dehidroasetat (sebagai asam dehidroasetat) yang tidak sesuai dengan komposisi pada saat pendaftaran produk,” jelas Rizka.
Rizka menegaskan bahwa natrium dehidroasetat tidak termasuk daftar BTP yang diizinkan berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019. Atas temuan ini, BPOM memerintahkan produsen roti Okko menarik produk dari peredaran, memusnahkan, dan melaporkan hasilnya kepada BPOM.
“BPOM melalui unit pelaksana teknis (UPT) di daerah mengawal proses penarikan dan pemusnahan produk roti Okko,” terang Rizka.
Ketua Umum Pergizi Pangan, Hardinsyah, menilai perusahaan yang mengubah bahan di tengah proses produksi sehingga menjadi berbeda dengan laporan pendaftaran produk di BPOM memang wajib melaporkan bahan lain yang diubah atau ditambahkan. Jika dilakukan diam-diam, perusahaan jelas telah melanggar asas perlindungan konsumen.
Terkait roti Aoka yang dinilai BPOM aman dari natrium dehidroasetat, Hardinsyah tak ingin berspekulasi soal “rahasia” yang membuat produk roti itu awet berbulan-bulan. Namun, dia menegaskan bahwa bahan pengawet dan cara mengawetkan makanan sudah berkembang pesat.
Misalnya, dengan memastikan produk benar-benar kering dan tertutup rapat. Dia mencontohkan beras yang lembab lebih cepat memburuk kualitasnya dibanding tepung yang bertekstur kering.
“Dan juga saya tidak tahu apakah semua bahan [produksi roti] diperiksa. Biasanya kalau isu yang sedang ramai, zat yang diuji cuma zat [yang bikin ramai] itu saja,” ucap Hardinsyah.
Sebelumnya, PT Indonesia Bakery Family membantah bahwa produk roti Aoka yang mereka produksi mengandung bahan pengawet kosmetik. Head Legal perusahaan itu, Kemas Ahmad Yani, menegaskan bahwa roti Aoka telah melewati pengujian BPOM dan telah mendapatkan izin edar untuk seluruh variannya sebagaimana tercantum dalam kemasan produk.
“Seluruh produk roti Aoka tidak mengandung sodium dehidroasetat dan masa kadaluarsa bukan enam bulan,” kata Kemas.
Kemas menjelaskan bahwa tuduhan penggunaan sodium dehidroasetat pada produk roti Aoka awalnya ramai diberitakan berdasarkan hasil uji laboratorium oleh PT SGS Indonesia. Namun, dalam surat nomor 001/SGS-LGL/VII/2024 tertanggal 15 Juli 2024 dari PT SGS Indonesia kepada PT IBF, tercantum bahwa PT SGS Indonesia secara tegas membantah dan menyatakan informasi tersebut bukan berasal dari pihak PT SGS indonesia.
Guru Besar Farmasi UGM, Zullies Ikawati, memandang BPOM sudah bekerja cukup tanggap dengan segera merilis penjelasan pada publik serta melakukan tindakan pengujian. Keputusan melakukan penarikan produk pun memang perlu dilakukan sebab perusahaan sudah melanggar.
“Dalam regulasi BPOM tentang Bahan Tambahan Pangan, memang sodium dehidroasetat ini enggak masuk dalam list. Mungkin untuk kehati-hatian dan keamanan, BPOM memiliki kebijakan menarik dari peredaran,” ucap Zullies, Rabu (24/7/2024).
Zullies menjelaskan bahwa natrium dehidroasetat atau sodium dehidroasetat adalah garam natrium dari asam dehidroasetat. Ia merupakan senyawa organik yang bisa digunakan sebagai pengawet dalam industri makanan dan kosmetik. Senyawa ini berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri, jamur, dan ragi sehingga memperpanjang umur simpan.
“Di dalam industri makanan, natrium dehidroasetat dapat digunakan dalam jumlah yang sangat kecil dan sesuai dengan regulasi yang ketat untuk memastikan keamanannya. Ada kemungkinan produk yang ditarik tersebut mengandung natrium dehidroasetat melebihi batas aman,” jelas Zullies.
Soal ketahanan roti Aoka yang mencapai hitungan bulanan tanpa ditemukannya senyawa natrium dehidroasetat oleh BPOM, menurut Zullies, produk tersebut mungkin menggunakan pengawet lain yang masuk dalam daftar pengawet yang diperbolehkan BPOM.
“Jadi enggak ada masalah. Pengawet itu enggak cuma natrium dehidroasetat,” kata Zullies.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, masih merasa janggal dengan hasil uji BPOM terhadap roti Aoka dan Okko. Pasalnya, hasil uji BPOM berbeda dengan hasil uji petik yang dilakukan di laboratorium sebagaimana laporan di media massa sebelumnya.
Tulus mengingatkan BPOM agar lebih responsif terhadap isu yang berkembang di masyarakat. BPOM juga diminta agar lebih proaktif dalam pengawasan produk pascapasar.
“Proaktif dalam memberikan tanggapan cepat terhadap kasus baru di lapangan agar masyarakat tidak bingung dan simpang siur. BPOM juga harus terbuka untuk review standar baru yang lebih baik agar tingkat perlindungan pada konsumen lebih presisi,” kata Tulus.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi