tirto.id - Namanya Muarif. Bagi masyarakat desa Ketanggungan, Brebes, ia legenda dari abad lalu. Orang-orang menjulukinya "Rompompom"—bebunyian yang keluar dari mulutnya ketika ia memberi aba-aba pasukan drum band. Ya, Muarif Rompompom, yang badannya tinggi-besar itu, adalah seorang mayoret.
Ia memimpin korps drum band milik Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang berafiliasi dengan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (NU) setempat. Mereka yang merasakan hidup di tahun 1960-an masih ingat bagaimana Muarif Rompompom melakukan atraksi sebagai mayoret, seringkali di atas tumpukan bass drum.
Kala itu, drum band kerap dijadikan alat unjuk kekuatan politik antara kelompok nasionalis, agama, dan komunis. Muarif dan kawan-kawan adalah satu dari sekian banyak drum band yang bertarung di medan kebudayaan rakyat di pengujung era Orde Lama itu.
Drum Band sebagai Unjuk Kekuatan Politik
Lawan politik NU adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai berlogo palu-arit itu, menurut Hasim Adnan dalam artikelnya "Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi Parahiyangan" di buku Sisi Senyap Politik Bising (2007), dalam peringatan hari ulang tahunnya yang ke-45 pada 23 Mei 1965 di Gelora Bung Karno Jakarta, dimeriahkan 15 korps drum band Pemuda Rakyat (PR) dari seluruh Indonesia (hlm. 56).
“Satu persatu, dari ke 15 pasukan drumband itu mulai memperagakan aksinya masing-masing dalam mengatur irama dengan langkah tegap barisan. Mars Kavaleri seolah menjadi pembuka wajib bagi para pasukan drumband ketika memulai aksinya,” tulis Adnan.
PR memang tidak main-main untuk urusan drum band. PR Jawa Barat, misalnya, pernah mengirim 11 wakil untuk mengikuti pemusatan latihan penuh di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, Jawa Tengah.
Drum band juga merupakan saksi konflik 1965. Sebelum Gerakan 30 September 1965 (G30S) meletus dan gagal, drum band menjadi ajang pertarungan kebudayaan. Pengerahan 15 korps drumband oleh PKI tak jauh beda dengan sebuah show of power di masa Demokrasi Terpimpin.
Lawan politik PKI tentu saja tak tinggal diam. Banser, sebagai contoh, menurut catatan kaki Hairus Salim dalam Kelompok Paramiliter NU (2004), sudah punya pasukan drum band sejak 1940 meski beberapa kiai mempermasalahkannya. Dengan bergabung ke drum band, yang di dalamnya terdapat trompet dan genderang, bagi pemuda NU adalah pertanda kemodernan (hlm. 122).
Jadi, di tahun 1960-an, drum band sudah tentu bukan hal baru bagi rakyat Indonesia di kawasan perkotaan maupun pedesaan. Di banyak tempat, sejak zaman kolonial, korps drum band serdadu KNIL kerap berparade dan ditonton warga awam kelas bawah.
Berawal dari Musik Militer
Sebuah drum band terdiri dari para peniup alat musik logam (brass) dan pemukul drum, yang jumlahnya tidak tentu. Kata musisi legendaris Amir Pasaribu, korps musik macam drum band atau marching band memang sudah ada sejak sebelum Perang Dunia II.
“Lama sebelum perang di kota-kota sudah terdapat korps musik kraton, sunan atau sultan, korps musik istana sultan di luar Jawa, korps musik perkumpulan Tionghoa, korps musik Pemadam Kebakaran. Malahan KNIL dan Marine (Angkatan Laut Belanda) mempunyai kapel-kapel yang sangat terkenal, dengan pusat latihan untuk pemimpin band ada di Gombong,” tulis Amir dalam dua bukunya, Musik dan Selingkar Wilajahnja (1955: 87) dan Analisis musik Indonesia (1986: 103).
Sementara menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1 Batas-batas Pembaratan (1996), drum band adalah bagian dari perkembangan dan pengaruh musik militer. Tak heran jika drum band terkesan kemiliter-militeran. “Sejak abad ke-19, para raja Jawa Tengah tertarik pada seruling dan genderang pasukan Belanda dan mereka ingin mempunyai pemain musik yang mampu memainkan musik mars,” tulis Lombard (hlm. 196).
Sultan Yogyakarta pada awal abad ke-20 memerintahkan pembangunan tempat di mana para pengawalnya bisa memainkan musik. Orkes ala serdadu itu salah satunya pernah dipimpin pelukis Walter Spies. Musik jenis ini, bersamaan juga dengan keroncong dan musik pop yang memakai gitar listrik, memengaruhi perkembangan musik di Indonesia sejak peralihan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20.
Drum band menyajikan orang-orang berseragam gagah dan berparade dengan musik yang mereka mainkan. Isinya memang tak melulu alat pukul seperti bass drum, snare drum, simbal, tim-tam, dan belira (yang sering disebut drum section); alat-alat tiup seperti trompet, trombon, tanjidor, dan lainnya (yang sering disebut brass section) juga ada. Drum band, juga marching band, di militer biasanya tergabung dalam korps musik.
Beda drum band dengan marching band adalah drum band memiliki alat pukul lebih banyak, sementara marching band lebih banyak alat tiup. Namun, orang awam memukul rata: entah itu drum band atau marching band, biasanya disebut drum band.
Sepasukan drum band, di luar peperangan, tak sekadar hiburan, tapi lumayan untuk gagah-gagahan. Drum band serdadu KNIL, misalnya, meninggalkan impresi tersendiri bagi yang pernah menyaksikannya.
Di masa belianya, mantan Jaksa Agung RI Soegih Arto punya pengalaman dengan drum band. “Saya terutama senang melihat orang-orang KNIL berjalan dengan drum band mereka,” tuturnya dalam buku Indonesia & I (1994). KNIL yang gagah-gagahan dengan drum band itu membuat Soegih Arto ingin jadi tentara atau polisi (hlm. 85).
Suguhan Wajib di Upacara Resmi
Sebuah upacara militer di masa damai serasa bukan upacara jika tanpa drum band. Bahkan upacara sipil kekinian yang dihadiri pejabat juga menyuguhkan pertunjukan drum band atau marching band. Dalam upacara-upacara itu, biasanya ada fanfare atau musik singkat dengan tiupan trompet dan pukulan cepat snare drum (roll).
Lagu "Indonesia Raya" juga membutuhkan iringan korps musik. Tidak hadirnya korps musik atau drum band adalah gangguan. Angkatan Darat pernah mengalaminya di tahun 1955.
Kala itu, sekitar Juli 1955, Bambang Utoyo hendak dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dalam sebuah upacara di Istana Negara. Rupanya terjadi boikot. Wakil KSAD Zulkifli Lubis dan koleganya tidak setuju dengan pengangkatan itu dan tidak hadir. Korps musik militer, yang biasanya membawakan "Indonesia Raya", juga tak muncul. Untung saja, Korps Musik Pemadam Kebakaran bisa dihadirkan.
“Musik yang biasanya dilakukan musik Garnisun Jakarta Raya, terpaksa dilakukan korps musik Pemadam Kebakaran Jakarta Raya,” aku Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999: 249).
Baca juga laporan indepth Tirto tentang lagu "Indonesia Raya":
Menurut Mangil, sebelum ada korps musik Garnisun Jakarta Raya, Istana Kepresidenan RI memang mengandalkan Korps Musik Pemadam Kebakaran untuk upacara resmi.
Korps Musik Pemadam Kebakaran, yang terkenal dengan drum bandnya itu, tentu punya cerita tersendiri. Buku rilisan Departemen Penerangan, Republik Indonesia, Volume 5Kotapradja Djakarta Raya (1957:255) mengisahkannya.
Ketika memeriahkan Pekan Olahraga Nasional Ke-2 (1951) di Lapangan Ikada, barisan musik itu sedang asyik-asyiknya membawakan lagu. Tiba-tiba muncul panggilan. Rupanya ada kebakaran. Kepala bagian musik yang juga menjabat Wakil Kepala Pemadam Kebakaran pun terpaksa meninggalkan tempat acara, demi melaksanakan tugas sejati sebagai pemadam kebakaran kota.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan