Menuju konten utama

Drama Intens di Filosofi Kopi 2

Film Filosofi Kopi 2 sedang tayang di bioskop Indonesia. Bisakah Ia melampaui pencapaian film terdahulunya?

Drama Intens di Filosofi Kopi 2
Para pemeran film Filosofi kopi 2, Chicco Jerikho (kiri), Luna Maya (tengah), Rio Dewanto (kanan) memberi keterangan saat "gala premier" film yang mereka bintangi, di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (7/7). ANTARA FOTO/Dewi Fajriani

tirto.id - Membuat film sekuel memang seperti dua sisi yang berbeda. Jika sebuah film prekuel sukses, apalagi secara finansial, para produser dan investor pasti tertarik mendanai film kelanjutannya. Bebannya tampak lebih ringan, apalagi jika karakternya sudah dikenal dan penonton ingin mengetahui kelanjutan nasib para karakter itu. Namun di sisi lain, secara artistik, film sekuel punya beban yang amat besar. Para penonton, juga kritikus film, pasti akan membandingkan kualitas film kedua dengan pendahulunya.

Pada 2011, situs Box Office Quant pernah membuat infografik tentang gagalnya kebanyakan film sekuel dibandingkan film prekuelnya. Sang penulis, Edmund, memasukkan film dengan basis argumen nilai rating Rotten Tomates. Hasilnya terlihat dalam infografiknya. Jauh lebih banyak film sekuel yang secara rating lebih rendah ketimbang pendahulunya.

Tentu ada beberapa pengecualian. Di Rotten Tomatoes, film The Dark Knight (2008) punya rating 8,6. Lebih baik dibanding pendahulunya Batman Begins (2005) yang hanya dapat rating 7,7. Secara artistik, meski masih jadi perdebatan panjang tiada akhir, The Godfather IIdianggap lebih baik ketimbang pendahulunya. Begitu pula yang terjadi pada Terminator 2, Toy Story 2, atau Star Trek II: The Wrath of Khan.

Seperti itu yang terjadi pada film Filosofi Kopi 2: Ben & Jody. Film ini tampak bisa melampaui pendahulunya. Baik dari segi cerita, maupun dari segi pengembangan karakter dan konflik.

Di awal film, Ben dan Jody serta tim Filosofi Kopi tampak amat berbahagia. Mereka berjualan kopi keliling dengan menggunakan combi. Ke Yogyakarta, Bromo, hingga Bali. Hingga suatu hari, satu per satu dari tim ini mengundurkan diri, menyisakan hanya Ben dan Jody. Dengan berbagai pertimbangan, dua orang sahabat penyuka kata cibai ini akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta. Ingin kembali menjadi kedai kopi nomor satu. Tapi masalah klasik kemudian datang: dana. Tempat yang dulu menjadi Filosofi Kopi, tak lagi dikontrakkan, melain dijual dengan harga lebih mahal.

Di saat seperti itu, muncullah Tarra (Luna Maya) yang tertarik dengan proposal bisnis Filosofi Kopi dan bersedia menjadi investor. Cerita kemudian berkembang dengan adanya karakter keempat, Brie, seorang barista lulusan Melbourne yang awalnya menganggap kopi sebagai matematika: semua harus terukur. Kehadiran Tarra dan Brie kemudian menjadi penambah konflik di antara Ben, Jody, dan Filosofi Kopi.

Apa yang membuat film ini lebih menarik ketimbang pendahulunya? Pertama, soal konflik dan jalan cerita. Di film pertama, fokusnya adalah pencarian kopi terbaik yang kemudian menuntun pada penemuan kopi tiwus. Di film kedua, konfliknya berkembang menjadi hal yang lebih besar. Porsi pencarian kopi terbaik nyaris nihil. Yang menjadi andalan tetap perfecto dan kopi tiwus. Sebagai gantinya, konflik beralih menjadi lebih personal dan lebih rumit.

Kehadiran Tarra dan Brie berhasil menghadirkan konflik yang lebih jauh ketimbang sekadar pencarian kopi terbaik. Mulai konflik keuangan, keluarga, hingga pilihan hidup.

Kedua, pengembangan karakter yang jadi lebih matang. Chicco berhasil memerankan Ben, lengkap dengan gaya sengak, perayu ulung, sekaligus rapuh karena masa lalu yang traumatik. Sedangkan Rio gemilang memerankan Jody, pria keturunan Tionghoa yang teliti terhadap uang, percaya pada feng shui, juga terjepit di antara masa depan Filosofi Kopi dan persahabatannya dengan Ben.

Hubungan antar dua karakter ini terasa lebih hidup ketimbang yang pertama. Nyaris nihil dialog aneh dan canggung, seperti yang ada di film pertama. Hubungan cinta-benci dua karakter ini terasa melengkapi. Karakter ini hidup melampaui karakter dalam cerita pendek milik Dewi Lestari. Karena itu, hubungan kimiawi antara dua karakter ini tentu hasil dari kemampuan akting yang bagus dari pemerannya.

Gemilangnya dua karakter ini, sayangnya, menutupi permainan apik dua karakter tambahan yang diperankan oleh Luna Maya dan Nadine Alexandra. Luna memang bermain apik, namun tak maksimal.

Karakter Tarra sebenarnya berpotensi untuk jadi lebih berkembang. Sayang, tak banyak eksplorasi terhadap peran ini, kecuali sedikit kisah dengan bapaknya yang muncul lewat karangan bunga. Tak ada pula interaksi intens antara Tarra dan Ben, yang seharusnya menjadi tulang punggung bisnis Filosofi Kopi. Karakter Brie juga tampak tanggung. Ia digambarkan sebagai ahli kopi, tapi tak ada penjelasan lanjut bagaimana Ia bisa menjadi jago, dan bagaimana proses peralihan dari barista matematis menjadi barista --mengutip kalimat Ben-- yang memakai perasaan ketika membuat kopi.

Filosofi Kopi 2 sebenarnya punya beban besar karena film pendahulunya sukses berat. Baik dari segi pendapatan maupun dari segi penghargaan artistik. Film ini ditonton oleh lebih 200.000 orang, dan menyabet berbagai penghargaan, mulai dari pemenang Penulis Skenario Terpuji di Festival Film Bandung, hingga Penyunting Gambar Terbaik di Festival Film Indonesia 2015. Namun Angga Sasongko dan tim tampak lepas menggarap film ini.

Hasilnya adalah film yang menyenangkan, baik dari segi cerita maupun dari segi sinematografi. Penonton dimanjakan dengan komposisi warna yang cerah dan sedap dipandang mata. Tentu saja ada beberapa kekurangan di sana-sini, yang mungkin membuat penonton bertanya-tanya. Misalkan: seberapa larisnya Filosofi Kopi hingga bisa begitu cepat ekspansi ke Yogyakarta, juga berencana buka di Makassar? Atau betapa alasan balik ke Jakarta tidak terlalu kuat. Masa hanya karena pengunduran tiga orang anggota --yang perannya tentu bisa digantikan-- membuat mereka harus kembali ke Jakarta dan merintis segalanya lagi dari nol? Penyelesaian konflik antara Ben dan Jody juga terasa amat nanggung, kalau tak mau dibilang nihil mediasi.

Terlepas dari segala kekurangannya, Filosofi Kopi 2 adalah film yang layak tonton. Apalagi bagi kalian yang menggemari film drama dengan warna cerah dan konflik yang cukup intens.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Film
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti