tirto.id - Anggota Komisi IX DPR, Yahya Zaini mengusulkan adanya aturan terpisah terkait zat adiktif dalam rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Dia mengklaim usulan tersebut bakal menjadi solusi dalam perdebatan yang ramai dibicarakan oleh masyarakat
Sementara itu, dia menuturkan RUU tersebut belum dapat diajukan untuk dibawa ke rapat Paripurna. Sebab, belum selesai pembahasan di tingkat komisi. Lebih lanjut dia optimistis jika aturan tersebut disahkan bakal
minim polemik, sebab itu perlu pembahasan yang lebih matang.
"Kita usahakan demikian. Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” kata Yahya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (30/5/2023).
Dia mengklaim industri tembakau menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun. Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif dalam aspek penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi menjelaskan kekuatan hukum industri tembakau dan aktivitas turunannya bersifat kuat dan mengikat. Dia menuturkan produksi dan konsumsi rokok di Indonesia tidak bisa di ilegalkan karena didukung dengan izin usaha resmi, kemudian adanya kontribusi resmi terhadap negara. Kontribusi ini mencakup penerimaan negara hingga serapan tenaga kerja.
Sementara itu, Benny menilai tidak ada urgensi untuk memasukkan tembakau dalam satu kategori bersama narkotika dan psikotropika. Terlebih, mengingat beban industri hasil tembakau nasional dan turunannya yang sudah cukup berat untuk dapat merealisasikan kebijakan pemerintah.
“Lahirnya RUU Kesehatan yang ikut mengatur ketat produksi dan penjualan rokok akan membuat IHT semakin tertekan dan justru berpotensi menurunkan kontribusi dan dampak positif yang diberikan dari industri ini,” ungkapnya.
Pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan menuai polemik dari berbagai pihak. Dalam pasal zat adiktif tersebut, selain pasal 154 ada pula pasal 156 yang mengatur persoalan standarisasi kemasan produk tembakau, termasuk aturan kemasan, jumlah batangan, dan lainnya, serta peringatan kesehatan
Menurut Benny, jika bicara tentang kemasan produk tembakau, pasal tersebut juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Ini membuktikan deretan pasal tembakau dalam RUU Kesehatan akan menjadi tumpang tindih dengan regulasi lain bahkan berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan kementerian lain.
Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri serta 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.
"Padahal IHT adalah industri yang legal di tanah air, sehingga dalam menyusun kebijakan yang ada penting juga melihat IHT dari seluruh aspek mulai dari ekonomi hingga sosial serta lebih transparan untuk mendengarkan aspirasi dari pelaku industri dan ekosistem tembakau yang terlibat,” jelas Benny.
Untuk diketahui, tembakau sebagai bahan baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara. Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin