tirto.id - Hari itu, pikiran Sutjipto terus tertuju kepada seorang pemuda yang ditemuinya saat berangkat sekolah. Itulah yang membuatnya tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran.
Mulanya ia mengira sedang dikuntit. Tapi pikirannya berubah saat si pemuda, yang ditaksirnya berusia 20-an, menolong dan memperlakukannya dengan lembut. Parasnya tampan dan penampilannya menarik. Ia tak tahu nama pemuda itu, tapi setidaknya Sutjipto tahu ia bersekolah di HIS Situbondo.
“Maukah kamu jadi temanku, Dik?” kata si pemuda kepada Sutjipto sebelum mereka berpisah.
Sutjipto galau. Pikirannya rungsing. Ia merasakan sesuatu berdesir dalam dirinya. Namun, ia belum bisa memahami semua itu sepenuhnya.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Sutjipto akhirnya bertemu kembali dengan si pemuda di sebuah arena pasar malam memperingati ulang tahun ke-25 penobatan Ratu Wilhelmina.
Jam sudah beranjak menuju tengah malam saat Sutjipto lelah menonton wayang orang. Tiba-tiba hujan turun dan membuyarkan tontonan. Sutjipto lalu berlari menuju pendopo dekat penjara kota mencari tempat berteduh.
Karena tempat itu terlalu penuh, Sutjipto lalu mencari tempat berteduh lain. Ia merayap di antara kerumunan orang yang juga kebingungan mencari tempat berteduh. Tentu saja ia jadi basah kuyup karenanya.
Ia akhirnya menemukan tempat berteduh, tetapi ternyata di situ juga ada orang lain. Karena gelap wajah orang itu tersembunyi, membikin Sutjipto enggan awalnya. Tapi pundaknya keburu ditarik orang itu.
"Jadi, kamu menonton wayang orang juga, Dik?"
Sutjipto benar-benar terkejut, tak menyangka ada seseorang yang mengenalnya.
"Siapa kamu?" ia balik bertanya.
"Teman barumu," jawabnya lembut seraya menarik lengan Sutjipto.
Lamat-lamat Sutjipto mulai menyadari siapa dia. Si pemuda tempo hari. Masih dengan tindak-tanduknya yang lembut, pemuda itu mengajak Sutjipto ke rumahnya. Di sana ia bisa berganti pakaian dan istirahat. Sutjipto menurut.
Karena malam sudah terlalu larut, Sutjipto lantas menginap di rumah si pemuda. Dan malam itu juga semua rahasianya terkuak.
"Maukah kamu menjadi temanku?" tanya si pemuda kepada Sutjipto seperti tempo hari. Kali ini pertanyaan itu diikuti pelukan.
Lagi-lagi, Sutjipto merasakan ada sesuatu berdesir dalam dirinya. Kali ini lebih kuat. Napasnya memburu dan dadanya seperti mau meledak. Ia hanya bisa jatuh dalam pelukan pemuda itu.
“Aku ingin menggigit bibirnya dan menciuminya. Tubuhnya laiknya sutra saat kusentuh,” batin Sutjipto.
“Betapa menyedihkannya aku jika tidak ketemu kamu malam ini. Selama empat hari terakhir aku tidak pernah punya kesempatan melihatmu, yang terus terbayang di pikiranku," kata pemuda itu akhirnya.
"Ah, jangan bicara omong kosong," jawab Sutjipto. "Kenapa kamu sangat merindukanku? Lagipula, aku bukan gadis yang cantik."
“Tidak seperti itu, Dik. Aku tertarik pada wajahmu, yang bagiku lebih cantik daripada gadis mana pun.”
Si pemuda berkisah tentang masa lalunya di Kediri. Tentang bagaimana ia jatuh cinta pertama kali pada seorang dokter, lelaki bumiputra. Hubungan mereka putus karena si pemuda harus pindah ke Situbondo mengikuti ayahnya dan melanjutkan sekolah. Juga tentang beberapa kawannya yang juga menyukai sesama lelaki.
"Bagaimana seseorang memuaskan keinginannya?" Sutjipto bertanya sambil tersenyum.
Pemuda itu menjawab dengan ciuman dan belaian. Sutjipto tak menolak. Ia balas menciumnya. Dan terjadilah pergumulan di antara keduanya untuk saling memuaskan hasrat masing-masing.
Manuskrip Sutjipto
Sutjipto mengisahkan cinta pertama sekaligus kecenderungan seksualnya itu dalam sebuah manuskrip bertajuk Djalan Sampoerna. Namun, naskah ini bukan sepenuhnya tentang seorang homoseks yang melela di zaman kolonial. Ia hanya bagian dari kisah panjang kehidupan seorang pemuda Jawa di era 1920-an.
Secara garis besar, Djalan Sampoerna berkisah tentang masa muda Sutjipto yang penuh gejolak.
Sutjipto lahir pada 1910. Meskipun ayah kandungnya bergelar raden, ia bukanlah priyayi mapan. Sang ayah bekerja sebagai pegawai pembukuan di sebuah pabrik gula dekat Surabaya. Kedua orang tua Sutjipto kemudian bercerai karena sang ayah kepincut perempuan lain. Sang ayah juga lalu masuk penjara karena kasus penggelapan.
Sutjipto lalu pindah ikut ibunya yang tinggal di Situbondo bersama suami barunya. Ayah tirinya adalah seorang Madura yang kasar dan dalam pandangan Sutjipto sangat tidak menyukai kehadirannya. Di usia sekitar 15 Soetjipto melarikan diri dari rumah dan hidup mengembara (hlm. 40).
Naskah ini masih mencakup kisah keluarga, perjalanan spiritual, dan keterangan-keterangan tentang adat istiadat dan lembaga-lembaga kolonial di Jawa Timur. Benedict Anderson yang meneliti naskah ini menjelaskan bahwa, sesuai namanya, naskah ini adalah singgungan terhadap gagasan mistis Jawa tradisional tentang kehidupan sebagai pencarian kebenaran.
“Karya Soetjipto—yang mungkin tidak dimaksudkan untuk publikasi, tetapi lebih merupakan sarana refleksi pribadi dan untuk ditujukan ke beberapa teman saja (yang ia sebut sebagai ‘pembaca’), ditemukan di antara naskah-naskah tinggalan Hans Overbeck,” tulis Ben Anderson dalam “First Love: The Opening of Soetjipto’s Djalan Sampoerna” yang terbit di jurnal Indonesia (2006: 40).
Hans Overbeck adalah peneliti dan penerbit asal Jerman yang sejak 1920 mukim di Yogyakarta. Minat penelitiannya terutama pada cerita rakyat, lagu anak-anak, teater populer, dan budaya Jawa umumnya. Sebagian besar makalah dan naskah yang ia kumpulkan menjadi koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Ia wafat sekira 1942 saat kapal yang ditumpanginya mengungsi ke India ditenggelamkan tentara Jepang di perairan Nias. Koleksinya di Sonobudoyo sejak itu tercecer ke mana-mana.
Naskah Djalan Sampoerna mulanya ditemukan peneliti sastra Universitas London Ulrich Kratz di Perpustakaan Nasional pada 1970. Naskah itu tersimpan dalam katalog Indonesische Handschriften yang dikumpulkan Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka.
Bagaimana Overbeck bisa memiliki naskah Djalan Sampoerna yang oleh Sutjipto hanya diberikan kepada orang-orang khusus?
Ben Anderson berspekulasi bahwa Overbeck merupakan salah seorang teman Sutjipto. Ia diketahui tak menikah dan punya kecenderungan homoseksual. Lagi pula sebagian koleksi Overbeck bertema erotika Jawa.
“Di akhir teks, Soetjipto bercerita tentang ‘orang kulit putih’ baik hati yang memberinya mendorong pada saat sulit. Sangat mungkin bahwa orang itu adalah Overbeck, atau bisa juga teman Overbeck yang kemudian menyampaikan kepadanya tentang naskah itu,” tulis Ben Anderson (hlm. 41).
Homoseksualitas di Nusantara
Di Nusantara homoseksual bukanlah hal baru. Praktik ini sudah ada sejak lampau, jauh sebelum orang Eropa datang ke kepulauan. Ketika orang Eropa datang, satu per satu praktik homoseksualitas dalam budaya asli Nusantara terungkap.
Achmad Sunjayadi dalam (Bukan) Tabu di Nusantara (2018), misalnya, menyebut tentang praktik pederasty—perjantanan, hubungan seksual antara pria dewasa dan anak lelaki—di Aceh. Perjantanan itu terjadi di antara seniman Rateb Seudati. Lalu ada pula hubungan homoseksual yang dilakukan oleh bissu—kaum pendeta dan salah satu gender dalam tradisi Bugis—di Sulawesi Selatan.
Lain itu praktik homoseksualitas juga terjadi di komunitas penari Gandrung Banyuwangi di masa lalu. Umumnya penari gandrung dulu adalah anak lelaki usia 10-12 yang didandani layaknya perempuan. Ketika menari mereka disambut para lelaki dewasa yang bebas menari, menciumi, dan memberi mereka uang.
“Pada periode yang sama, pria homoseksual yang dikeramatkan juga terdapat di Jawa, kaum shaman Baree di Sulawesi Tengah, Bali, Dayak, dan penduduk asli Taiwan serta Filipina dan Polinesia,” tulis Achmad Sunjayadi (hlm. 128).
Itulah sebabnya catatan Sutjipto tak datang dari ruang hampa. Ia mungkin juga bukan homoseksual pertama yang melela. Juga, tidak tepat jika homoseksualitas dianggap sebagai budaya impor. Kisah Sutjipto dalam Djalan Sampoerna menegaskan hal itu. Menurut Ben Anderson, inilah nilai khusus dari naskah ini yang konon membikin Overbeck kepincut mengoleksinya.
“Orang dapat membayangkan mengapa dia akan menyukainya: Bukan hanya karena beberapa kisah erotisnya, tetapi ‘kemurnian’ dari sudut pandang budaya. Soetjipto hidup dalam 'lapis bawah' masyarakat kolonial, dan pendidikan formalnya berakhir di tingkat dasar. Dia tahu sedikit bahasa Belanda, tetapi pandangan dunianya benar-benar bukan ‘Barat’,” tulis Ben Anderson (hlm. 41).
Bagi Ben Anderson, Sutjipto adalah seorang penulis dan pengamat sosial yang peka. Itulah pula yang menjadikan naskah ini berbobot, lebih dari sekadar pengalaman cinta pertama seorang homoseks.
Seturut Ferdiansyah Thajib dalam artikel "Homoseksualitas Indonesia di Persimpangan “Djalan Sampoerna", kepekaan itu terlihat, misalnya, saat Sutjipto baru menyadari bahwa orang kulit putih pun bisa memiliki ketertarikan pada sesama jenis.
“Aku duduk di samping jembatan itu, sembari memikirkan peristiwa yang baru terjadi. Semula aku berpendapat, mokal sekali orang Belanda punya kehendak seperti itu… dia berkelainan kebangsaan denganku. Perkiraanku ternyata berbalik. Inilah yang kuherankan,” terang Sutjipto sebagaimana dikutip Ferdiansyah.
Yang menarik, dalam Djalan Sampoerna, Soetjipto juga melakukan pemetaan terhadap kategori-kategori homoseksual yang dia amati. Kategori itu terdiri dari lelaki yang menyukai perempuan; lelaki yang menyukai lelaki; lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki demi uang, namun sebenarnya menyukai perempuan; dan lelaki yang menyukai lelaki dan bertingkah seperti perempuan.
“Diterjemahkan ke dalam kategori kontemporer maka jenis pertama adalah mereka yang disebut heteroseksual; kedua, gay, dan keempat waria. Namun peta yang digambarkan Soetjipto di sini memang tampak belum mengangkat aspek perempuan sebagai mahluk seksual,” tulis Ferdiansyah.
Sebagai penulis ia mahir mengevaluasi sisi emosional dan psikis dirinya sendiri. Ia mengeksplorasi kesulitan-kesulitan hidup dan kondisi masyarakat di era akhir kolonialisme Belanda. Yang terpenting, menurut Ben Anderson, bagaimana ia menemukan cara untuk menjalani hidup dan menjadi dirinya sendiri di tengah kondisi kolonialisme.
Sutjipto menulis kisah cinta pertamanya sebagai refleksi atas masa lalu. Ia juga mungkin tidak terlalu peduli dengan identitas homoseksnya—dan memang pada zamannya istilah gay belum dikenal. Meski begitu moralitas kolonial memandang laku homoseksualitas adalah aib bagi maskulinitas. Di zaman itu seorang homoseks dianggap tak layak untuk memegang jabatan dalam birokrasi.
Umumnya mereka selalu menyembunyikan orientasi seksualnya. Inilah sebab Djalan Sampoerna jadi otentik: di masanya Sutjipto boleh jadi orang pertama yang menuliskan refleksinya sebagai homoseks.
“Saya tidak bisa memikirkan apa pun dalam sastra Indonesia yang cocok dengan kesegaran, humor, intensitas, rasa sakit, kebingungan, dan semangat muda dalam naskah ini. [...] Romansa antara anak laki-laki dan perempuan atau laki-laki dan perempuan dewasa sudah jamak dalam sastra populer Indonesia, tetapi percintaan antara dua pemuda belum ada presedennya,” tulis Ben Anderson (hlm. 42).
Editor: Ivan Aulia Ahsan