Menuju konten utama

Divestasi Freeport dan Hitungan Untung-Rugi untuk Indonesia

Divestasi Freeport resmi tuntas di akhir tahun ini. Namun, benarkah Indonesia diuntungkan dalam aksi korporasi Inalum?

Divestasi Freeport dan Hitungan Untung-Rugi untuk Indonesia
Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, menyaksikan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson dan Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin, menandatangani Sales and Purchase Agreement, di Gedung Setjen Kementerian ESDM, Kamis (27/9/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

tirto.id - Proses divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah masuk tahap final. PT Inalum dan Freeport McMoRan (FCX) bersama Rio Tinto meneken perjanjian Sales Purchase Agreement (SPA) di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Kamis sore (27/9/2018).

Yang ditandatangani meliputi: Perjanjian Divestasi PTFI, Perjanjian Jual Beli Saham PT Rio Tinto Indonesia (PTRTI) dan Perjanjian Pemegang Saham PTFI. Tahap ini melanjutkan kesepakatan soal Pokok-Pokok Perjanjian (Head of Agreement) yang diteken Inalum, FCX dan Rio Tinto, 12 Juli lalu.

Penandatanganan SPA memastikan divestasi PTFI hampir tuntas. Pemerintah menyatakan Inalum akan resmi memegang 51,23 persen saham PTFI usai menyelesaikan transaksi pembayaran kepada Rio Tinto dan FCX di akhir November 2018. Pemda Papua juga dinyatakan mendapat porsi 10 persen saham PTFI setelah divestasi ini selesai.

"Dengan selesainya proses divestasi saham PTFI dan peralihan Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK, dapat dipastikan PTFI akan memberikan kontribusi penerimaan negara yang secara agregat lebih besar dibandingkan saat KK berlaku," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam siaran resmi pemerintah.

Untuk aksi korporasi ini, Inalum harus membayar 3,85 miliar dolar AS atau sekitar Rp56,9 triliun (dengan kurs Rp14.800 per dolar AS). Duit itu untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto dan sebagian saham FCX di PTFI (100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama).

Setelah pembayaran itu selesai, menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, PTFI akan mengajukan surat ke kementeriannya mengenai perubahan komposisi kepemilikan saham. Kemudian, kata dia, status kontrak PTFI pun segera berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Dengan ditandatanganinya perjanjian ini [SPA], pemerintah akan menerbitkan IUPK [untuk PTFI] dengan masa operasi maksimal 2x10 tahun sampai tahun 2041," kata Jonan.

Jonan juga memastikan pemerintah terus memantau pelaksanaan kewajiban PTFI untuk membangun smelter tembaga berkapasitas hingga 2,6 juta ton per tahun. “Diharapkan dapat selesai dalam waktu kurang dari 5 tahun," ujar dia.

Selama pembayaran Inalum untuk keperluan divestasi PTFI belum tuntas, pemerintah memperpanjang masa IUPK sementara bagi perusahaan itu, setidaknya sampai November mendatang.

Bagaimana Penyelesaian Kerusakan Lingkungan di Papua?

Usai SPA diteken, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya juga menyampaikan sikap pemerintah soal penyelesaian masalah kerusakan lingkungan akibat operasi PTFI di Papua.

"Dalam hal pengelolaan lingkungan, PTFI saat ini menyusun roadmap penanganan masalah lingkungan yang merupakan peta jalan pengelolaan lingkungan secara menyeluruh di wilayah PTFI," kata Siti.

Pernyataan Siti menunjukkan persoalan lingkungan akibat operasi PTFI belum sepenuhnya beres saat ini. Inspektur Jenderal KLHK Ilyas Asaad mengakui dampak lingkungan itu merugikan Indonesia.

"Berdasarkan data BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] ada kerugian lingkungan. Namun, perhitungan dari BPK akan dibahas lebih lanjut dengan kementerian kami. Artinya itu rekomendasi. Pembahasan yang kami lakukan sekarang, bagaimana perbaiki masalah-masalah lingkungan," ujarnya, Kamis kemarin.

Menteri LHK sudah pernah meminta Freeport bertanggung jawab atas pengelolaan limbah tailing yang merusak lingkungan di Papua. KLHK memberi masa peralihan enam bulan agar PTFI mengurangi limbah tailing dengan mengolahnya, terhitung sejak Kepmen LHK 175/2018 terbit pada April 2018.

Meski belum beres, Ilyas mengklaim KLHK telah memperhitungkan secara matang solusi atas dampak operasi PTFI sebelum menerbitkan izin lingkungan. Menurutnya, roadmap penanganan kerusakan lingkungan akan selesai dibuat dalam waktu dekat. Targetnya, masalah tailing tuntas dalam satu tahun.

"Kami perhitungkan transaksi, soal lingkungan, semua sudah dipertimbangkan. Di Kepmen itu hampir seluruhnya selesai, kecuali tailing, kami beresin nanti sekalian [penyusunan] roadmap," ujar Ilyas.

Daftar Masalah Divestasi Freeport

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menilai terdapat sejumlah hal yang patut dipertanyakan meski divestasi Freeport hampir resmi selesai, terutama mengenai manajemen risiko dalam aksi korporasi Inalum itu.

Bisman mengakui setiap aksi korporasi memiliki potensi untung dan rugi. Namun, dia menyayangkan pemerintah belum membuka detail klausul perjanjian divestasi PTFI ke publik. Akibatnya, jaminan bahwa proses divestasi ini telah "clean dan clear" saat ini belum terang bagi publik.

Misalnya, Bisman mempertanyakan penyelesaian kewajiban PTFI membangun smelter. Sebab, meski sudah diberi waktu sejak 2014, realisasi pembangunan smelter PTFI selama ini sangat minim.

"Soal smelter jelas pemerintah tidak diuntungkan karena progres janji Freeport bangun smelter jalan di tempat. Target 5 tahun [ke depan] terlalu lama," kata Bisman saat dihubungi Tirto, Jumat (28/9/2018).

Agar pihak Indonesia tidak dirugikan, Bisman mengatakan semestinya tanggung jawab pembangunan smelter tidak turut dibebankan ke Inalum meski BUMN itu memegang saham 51 persen.

"[realisasi] Smelter sekian tahun enggak sampai 5 persen. Jelas ini full tanggung jawab Freeport,” kata Bisman.

Dia pun mempertanyakan isi perjanjian Inalum dan FCX mengenai pembagian tanggung jawab dalam melunasi kewajiban PTFI sebelum divestasi berlangsung. Soal tanggungan pembangunan smelter PTFI hanya salah satu contoh.

"Mengingat ada temuan audit BPK bernilai triliunan yang Freeport harus bertanggung jawab, tidak fair kalau pasca-akuisisi ini Inalum ikut bertanggung jawab," kata Bisman.

Duit Rp56 triliun yang harus dibayar Inalum untuk memiliki 51 persen saham PTFI, kata Bisman, juga berpotensi terlalu mahal. Dia berpendapat demikian karena hitungan pendapatan pemerintah dari dividen, pajak, dan pemasukan lain, belum dibuka secara terang benderang.

"Setelah 2021, Freeport akan mengembangkan tambang bawah tanah yang butuh investasi besar. Apa bisa dijamin proyeksi keuntungan dan pemasukan bagi negara?" Dia menambahkan, "Potensi untung pasti ada [bagi pemerintah], tapi apakah sebanding dengan nilai Rp56 Triliun?" ujar Bisman.

Bisman menambahkan, masih ada kemungkinan terjadi penambahan modal saat PTFI butuh investasi besar. Jika ada penambahan modal oleh FCX, dia khawatir saham Inalum terdilusi sehingga porsi 51 persen akan menyusut.

“Hal ini sudah pernah terjadi tahun 2012, sebelumnya saham pemerintah 10 persen, tapi karena ada penambahan modal perseroan, maka turun terdilusi jadi 9,3 persen [posisi sebelum divestasi],” ujarnya.

Sebagai catatan, siaran resmi pemerintah 12 Juli lalu menyebut, PTFI memiliki cadangan terbukti dan cadangan terkira: tembaga 38,8 miliar pound, emas 33,9 juta toz (troy ounce) dan perak 153,1 juta toz.

"Kita perlu berkaca dari kasus divestasi Newmont. Sekarang lagi ramai karena diduga ada 'permainan' melibatkan elite-elite tertentu," ujar Bisman.

Infografik CI Freeport, Temuan, Tekanan, dan Pengerukan

Sementara Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menganggap kesepakatan Kamis kemarin memang layak dinilai positif. Namun, kata dia, hal itu perlu disertai sejumlah catatan.

"Di perjanjian antarpemegang saham, [harus ada klausul] keputusan diambil berdasar suara terbanyak sederhana [51 persen] baik di tingkat RUPS, dekom [dewan komisaris] maupun direksi," kata dia seperti dilansir Antara.

Dia pun berpendapat kewajiban membangun smelter dan menyelesaikan masalah lingkungan di Papua harus dibebankan ke FCX. Sebab, 2 hal itu menjadi tanggungan PTFI sejak sebelum Inalum memiliki 51 persen saham.

Dalam perjanjian antarpemegang saham PTFI, kata dia, juga harus ada klausul bahwa saham Inalum tidak akan terdilusi, meski BUMN itu tidak ambil bagian saat terjadi penambahan modal. Selain itu, Hikmahanto mengingatkan usai divestasi ini, PTFI wajib diaudit BPK layaknya BUMN lain.

Meski demikian, pakar ekonomi UGM Fahmy Radhi menilai langkah pemerintah dan Inalum setuju membayar 3,85 miliar dolar AS untuk divestasi 51 persen saham Freeport adalah realistis. Menurut Fahmy, hal itu lebih rasional ketimbang opsi akuisisi 100 persen usai Kontrak Karya (KK) berakhir pada 2021.

"Pasalnya, berdasarkan perjanjian KK, pemerintah tidak bisa mengambil tambang Freeport begitu saja tanpa alasan yang wajar. Kalau pun pemerintah dan Freeport McMoran sepakat untuk menghentikan KK, pemerintah harus membayar semua peralatan yang digunakan sesuai dengan nilai buku,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto.

Fahmy mencatat nilai buku seluruh peralatan tersebut diperkirakan sekitar 6 miliar dolar AS atau jauh lebih mahal ketimbang yang harus dibayar Inalum ke FCX dan Rio Tinto. Selain itu, kata dia, opsi membayar 3,85 miliar dolar AS diambil karena negosiasi pemerintah dengan FCX soal harga saham sempat macet.

Fahmy pun optimistis pengeluaran Inalum sebesar 3,85 miliar dolar AS berpeluang terlunasi dalam waktu 3 tahun. Perhitungan Fahmy itu didasarkan laporan keuangan 2017 PTFI yang sudah diaudit. Dia mencatat laporan itu menyebut, PTFI dapat membukukan pendapatan setelah dikurangi pajak (EAT) sebesar 4,44 miliar dolar AS.

Baca juga artikel terkait DIVESTASI FREEPORT atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Mufti Sholih