tirto.id - Pembunuh berantai Diogo Alves bukan hanya tewas di tiang gantungan. Pemerintah juga mengizinkan kepalanya dijadikan seperti trofi, disimpan dalam stoples selama ratusan tahun--bahkan hingga hari ini.
Alves lahir pada 1810 di Galicia, daerah otonom Spanyol, dari keluarga petani. Pada usia 19, mengikuti kebiasaan orang-orang Galicia untuk merantau, Alves dikirim orang tuanya ke Lisboa, Portugal, untuk bekerja. Sumber lain menyatakan dia pergi pada umur lebih dini, 13 tahun.
Dia bekerja menjadi pelayan keluarga borjuis, juga pekerja konstruksi pintu air (aqueduct). Pekerjaan yang disebut terakhir nantinya membantu Alves leluasa melakukan pembunuhan.
Saat itu ekonomi Portugal tak bisa dikatakan baik. Semenjak Brasil merdeka pada 1822, pemasukan Portugal cenderung turun. Raja John ke VI bahkan sampai stres dengan kondisi ini. Kemerdekaan Brasil disebut sebagai salah satu faktor yang mempercepat kematian Raja John VI pada 1826.
Situasi tersebut tentu menyulitkan semua orang, termasuk Alves. Namun sebagian orang percaya bahwa kehidupan Alves hancur karena minuman keras dan judi.
Alves kemudian beralih ke pekerjaan yang memungkinkannya bertahan hidup lebih lama. Pekerjaan itu tidak lain adalah merampok. Tidak hanya itu, ia juga menghilangkan jejak dengan membunuh korban.
Sumber lain mengatakan bahwa penjaga penginapan Maria "Parreirinha" Gertrudes berandil besar dalam mendorong Alves menjelma sebagai pembunuh berdarah dingin. Parreirinha, yang juga kekasih Alves, menjadi rekan kejahatan pada 1838.
Alves bersama gengnya memburu korban yang kebanyakan adalah warga miskin di pintu air Aguas de Livres pada malam hari. Setelah merampas harta korban, Alves dan gerombolan akan membuang korban dari atas pintu air setinggi kurang lebih 60 meter. Banyak dari mereka yang disangka bunuh diri. Tentu saja tidak ada yang selamat.
Meski beraksi bersama geng, nama Alves menjadi yang paling terkenal. Orang-orang kemudian menjulukinya Pembunuh Aqueduct--yang jelas merujuk pada tempat kejadian perkara.
Meski hanya beraksi sekitar empat tahun dari 1836-1840, korban Alves sangat banyak, diprediksi mencapai 70 orang. Dia diklaim sebagai pembunuh berantai pertama dalam sejarah Portugal.
Pada 1841, Alves dihukum gantung dan kepalanya dipisahkan dari badan, diawetkan dalam stoples berisi cairan formalin dan disimpan sampai sekarang oleh Fakultas Kedokteran Universitas Lisbon.
Mengapa diawetkan? Pada periode tersebut sedang berkembang sebuah ilmu baru bernama frenologi. Inti dari ilmu ini adalah kepribadian seseorang itu dapat dilihat dari tengkoraknya. Tentu saja seorang pembunuh yang dihukum mati menjadi objek penelitian yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Saat ini frenologi tak lagi laku. Ia termasuk ke dalam pseudosains.
Perampok Tanpa Kompas Moral
Alves atau kerap disapa O Pancada (The Blow) bukanlah satu-satunya bandit yang terkenal di Portugal pada masa itu. Setidaknya ada tiga orang lain: José do Telhado, João Brandão, dan José Joaquim de Sousa Reis alias Remexido.
Telhado adalah adalah bekas tentara dan bahkan pernah mendapat penghargaan. Dia beroperasi di Trás-os-Montes, pegunungan bagian Timur Portugal. Dia menjadi bandit karena pasukannya kalah perang dan terlilit utang. Namun dia punya kebijakan untuk membagi hasil rampasan kepada orang miskin. Oleh sebab itu dia identik dengan nama Robin Hood dari Portugal.
Remexido adalah pejuang anti-liberalisme yang melawan kekuasaan Kerajaan Portugal. Setelah Raja Miguel I kalah dalam perang, Remexido, yang merupakan bawahannya, lari ke Pegunungan Algarve dan melakukan perang gerilya. Dia meninggal karena ditembak pada 1838 dan menjadi salah satu tokoh antagonis yang dikenang sampai sekarang.
Bandit lain, Brandão, beraksi di daerah Beira. Ia adalah pendukung paham Chartista atau liberalisme tradisional Portugal. Musuhnya dalam Perang Liberal adalah kelompok Miguel. Meski kelompok Miguel sudah lumpuh, “Terror of Beira” juga dianggap musuh dan tak lolos dari sasaran pemerintah. Dia meninggal dalam pengasingan di Angola pada 1880.
Dari empat orang ini, Alves tak lebih dari sekadar bandit kejam. Seperti catatan Nilce Camila de Carvalho dalam O Assassino do Aqueduto e sua Representação na Literatura Popular Portuguesa (2012), Alves berbeda “tidak hanya karena dia bandit perkotaan, tapi juga tak punya tujuan politik.”
Selain itu, tiga orang lain setidaknya punya standar moral dengan tidak menyasar warga kota. Alves hanya gemar membunuh orang dan merebut hartanya.
Petualangan Alves berakhir ketika dia mengubah lokasi kejahatan ke perumahan, tepatnya di kawasan Rua das Flores yang berjarak ratusan kilometer dari Lisboa pada 1839. Rumah yang dia rampok adalah milik dokter Pedro de Andrade. Alves dan kelompoknya datang saat sang dokter ke luar. Korban saat itu adalah istri dan tiga anak. Kejahatan ini menjadi sorotan media dan polisi segera memburu pelaku.
Geng "Entrador" Alves dibekuk ketika melakukan kejahatan di rumah lainnya. Hukuman mati dijatuhkan dan berakhir sudah perjalanan pembunuh berantai paling fenomenal pertama dalam sejarah Portugal.
Sebuah artikel menyatakan andai saja Alves tak menyasar kelompok borjuis, dia mungkin bisa bebas lebih lama dan semakin banyak melakukan pembunuhan.
Editor: Rio Apinino