tirto.id - ((trigger warning))
Peristiwa mengerikan terjadi berpuluh tahun yang lalu di berbagai sungai yang mengalir di Rostov-on-Don, kota besar di Rusia yang dekat dengan perbatasan Ukraina. Dan itu semua terkait dengan satu orang bernama Andrei Chikatilo.
Pada 1981, sebuah jenazah tanpa busana ditemukan di rimbun pohon dekat Don, salah satu sungai terbesar di Eropa. Badannya hanya ditutupi oleh lembaran koran dan dengan kondisi mengenaskan sekaligus mengerikan. Ia kelak diketahui diperkosa sebelum dibunuh sehari sebelum ditemukan. Usianya masih 16 tahun dan tengah menempuh pendidikan SMK.
Dua tahun kemudian, jenazah lain ditemukan ratusan kilometer dari Sungai Don. Di tubuhnya ditemukan 22 bekas tusukan pisau. Korban berinisial LB ini berusia sekitar 20-an. Ia telah dinyatakan menghilang pada 1982. Sang ayah tiri melihat LB terakhir kali di halte bus mengenakan gaun rumbai dan alas sandal.
Termasuk dua korban di atas, total korban Chikatilo mencapai 53.
Dalam buku Comrade Chikatilo (1993), Mikhail Krivich dan Olgert Ol'gin mengatakan penjelasan paling sederhana tentang Chikatilo adalah ia memang “tidak normal.” “Si maniak seks, kanibal, vampir ini punya penyakit mental. Orang yang sehat tidak mungkin berbuat begini,” katanya.
Karena modus operandinya terbiasa memutilasi dan kadang melibatkan kanibalisme korban, Chikatilo dikenal publik sebagai The Butcher of Rostov atau Red Ripper--yang mengidentifikasinya sebagai simpatisan komunis.
Sampai sekarang ia merupakan salah satu kriminal paling besar dalam sejarah Uni Soviet (dan dunia).
Komplikasi Penyakit Mental
Chikatilo tumbuh di tengah tragedi Holodomor atau Great Famine (Kelaparan Hebat) sekitar 1930-an di Ukraina, yang saat itu masih merupakan bagian dari Uni Soviet. Pada masa itu tak sedikit yang menjadi kanibal karena kelaparan. Kakak Chikatilo adalah salah satu korbannya. Ia diculik dan jadi korban tetangganya.
Peristiwa ini diduga menjadi pendorong aksi kanibalisme Chikatilo.
Chikatilo tidak tampak seperti pembunuh berdarah dingin dalam kehidupan sehari-hari. Ia, misalnya, melakukan hal yang sama dengan orang lain: menikah. Setelah itu Chikatilo punya dua anak, laki-laki dan perempuan.
Pekerjaan sebagai tentara, mekanik di bidang komunikasi, dan kepala pusat olahraga pernah ia lakoni.
Dia bahkan terbilang kaum terpelajar. Pada 1971, Chikatilo menerima gelar sarjana di bidang Bahasa dan Literatur dari Universitas Rostov. Dengan modal titel akademik itu ia kemudian menjadi guru Bahasa Rusia di kota pertambangan Novoshakhtinsk.
Di sekolah, Chikatilo tidak akrab baik dengan kolega maupun dengan murid. Bagi mereka, Chikatilo terlalu menutup diri dan tidak peduli dengan lingkungan.
Kendati demikian, dia punya kecenderungan aneh, yakni mendemonstrasikan kekuatannya. Dia ketagihan punya kuasa dan kekuatan lebih daripada orang lain.
Ia juga punya kebiasaan memuakkan lain. Peter Conradi dalam buku The Red Ripper (1992) mencatat para murid bersaksi Chikatilo mendatangi kamar mereka dan bermasturbasi. Setelah beberapa kejadian, dia akhirnya disuruh mengundurkan diri atau dipecat pada 1974.
Namun sanksi tidak membuatnya jera, bahkan semakin menjadi. Chikatilo melamar ke sekolah lain di Shakhty yang hanya berjarak 1,5 jam dari Novoshakhtinsk dengan kereta. Kali ini dia tidak melamar sebagai guru, tapi penjaga rumah inap murid laki-laki.
Dari sinilah pembunuhan berantai dimulai.
Chikatilo membeli sebuah rumah kecil tidak lama setelah mendapat pekerjaan baru. Kondisinya tidak layak untuk ditinggali sendiri, apalagi bersama istri dan anak-anak. Tapi tujuan Chikatilo memang bukan itu. Dia membeli rumah tanpa memberi tahu keluarga karena di sanalah rencana gila itu hendak diwujudkan: memerkosa orang yang lebih muda.
“Dia meyakinkan dirinya [bahwa] itu adalah satu-satunya cara untuk bisa mengobati impotensi,” catat Conradi. Impotensi yang Chikatilo ketahui saat remaja memang membuatnya menjadi kurang percaya diri. Berkali-kali dia berniat mendekati perempuan tapi tidak terlaksana karena itu.
Korban pertama adalah gadis 9 tahun berinisial LZ yang baru pulang dari rumah teman. Hari sudah hampir gelap saat Chikatilo bermuslihat mengajak gadis malang itu ke rumah. Tapi Chikatilo tetap impoten.
Semua berubah ketika Chikatilo melihat darah korban. Dia pun menemukan kegemaran baru, yakni melukai, bahkan membunuh manusia.
Psikiater asal Rusia Alexander Bukhanovsky menyatakan awalnya Chikatilo memang tidak ingin membunuh. Namun begitu aksi itu menyebabkan kepuasan seksual, dia meneruskannya.
Bukhanovsky, yang diminta bantuan untuk menyelidiki kasus ini, menyebut Chikatilo mengalami kondisi mental bernama schizoid psikopat. Penjelasan mudahnya begini: Chikatilo mendeskripsikan dirinya sebagai pria tak berguna dalam kehidupan sehari-hari, tapi mendapat kepuasan sebagai orang penting dalam kehidupan imajiner ketika mengambil nyawa orang lain.
“Dia sadar yang dia lakukan salah, dia membunuh orang,” kata Bukhanovsky dilansirLATimes. “Tapi bukan berarti dia menyesal.”
Penyelidikan Polisi Gagal
Sebetulnya Chikatilo sempat menjadi sasaran investigasi polisi segera setelah kasus pertama diselidiki. Kepribadian yang tertutup dan tempat tinggal yang gelap nan mencurigakan membuat tetangga mengadu. Polisi, ketika mendatangi rumah, juga merasakan kejanggalan yang sama: ada yang salah dengan sosok satu ini.
Namun kecurigaan polisi sekejap beralih kepada sosok lain. Di gang yang sama, tinggal pria umur 25 bernama Aleksandr Kravchenko. Polisi percaya Kravchenko adalah pelaku pembunuhan karena beberapa tahun sebelumnya pernah bersalah atas kejahatan yang sama.
Tidak sulit bagi polisi untuk menciduk Kravchenko. Setelah menunggu beberapa waktu, ia kedapatan merampok sebuah rumah. Setelah ditangkap ia didesak mengakui pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya.
Di persidangan, Kravchenko sebenarnya telah mengatakan polisi memaksanya untuk mengaku. Tapi pernyataannya sia-sia belaka. Sebagai saksi, istri Kravchenko mengklaim suaminya mengakui pembunuhan gadis 9 tahun kepada dirinya. Pengakuan ini juga disinyalir di bawah tekanan karena sang istri juga mau dijebloskan ke bui karena statusnya sebagai komplotan perampokan. Hakim akhirnya memutuskan Kravchenko dihukum 15 tahun kerja paksa.
Keberuntungan Chikatilo masih berlanjut sekitar 6 tahun kemudian. Polisi memergokinya berusaha berbuat bejat kepada perempuan di halte bus. Dia ditangkap oleh polisi yang menyamar dan di antara barang bawaannya ternyata termasuk pisau dan tali. Tapi dia akhirnya dilepas dengan alasan memiliki golongan darah yang berbeda dengan pelaku.
Pada tahun yang sama Chikatilo sebenarnya sempat mendekam di penjara selama beberapa bulan. Namun itu sekadar kasus pencurian.
Seorang pengacara dari Moskow bernama Issa Kostoyev kemudian diutus untuk melakukan supervisi kasus yang ternyata terus berlanjut ini meski “penjahat” telah ditangkap. Namun pemikiran-pemikiran yang sebenarnya bisa menuntaskan kasus tersebut tidak terealisasi. Kostoyev hanya bertugas sebagai supervisi, dan seperti catatan Robert Cullen dalam The Killer Department (1993), “Lebih mudah bagi Kostoyev menyalahkan polisi daripada menunjukkan bagaimana seharusnya penyelidikan dilakukan dengan betul.”
Pada 1990, setelah namanya masuk dalam laporan polisi berkali-kali, Chikatilo akhirnya mendapat pengawasan ketat mulai 14 November, hanya 8 hari sejak pembunuhan terakhirnya. Dia ditangkap polisi dan pada akhir bulan yang sama mengakui perbuatannya.
Chikatilo dijatuhi hukuman mati atas lebih dari 50 pembunuhan pada Oktober 1992 dan dieksekusi dengan tembakan pada Februari 1994.
“Aku tahu aku harus mati,” kata Chikatilo pada persidangannya. “Aku sadar, sejak awal aku adalah sebuah kesalahan.”
Editor: Rio Apinino