tirto.id - Mulanya adalah rasa bosan yang teramat dalam.
Niels Hoegel telah menjalani profesi sebagai seorang perawat di rumah sakit wilayah Oldenburgh, Lower Saxony, Jerman sejak tahun 1999 hingga 2002. Sejak 2003, ia pindah ke Delmenhorst, Bremen bagian Utara untuk menjalani pekerjaan yang sama.
Sejak awal bekerja Hoegel dihinggapi rasa bosan karena aktivitas kesehariannya dianggap berjalan terlalu datar—berbeda dengan dokter, misalnya, yang kerap menghadapi situasi hidup dan mati bersama pasien dalam kondisi kritis. Hoegel ingin membuktikan bahwa pekerjaannya juga penting, bahwa ia juga bisa menjadi pahlawan.
Sebagaimana dilaporkan Guardian, Hoegel melakukan mal-praktik dengan menyuntikkan lima jenis obat-obatan ke tubuh pasien, meliputi ajmaline, sotalol, lidocaine, amiodarone, dan kalsium klorida. Pasien otomatis mengalami overdosis akut karena terserang aritmia jantung dan penurunan tekanan darah, sehingga penyakitnya semakin parah.
Hoegel kemudian berpose selaku juru selamat. Ia mempraktikkan upaya penanganan darurat berupa resusitasi jantung dan paru-paru (CPR). Praktik ini justru membunuh pasien. Ia berubah status menjadi pembunuh berdarah dingin yang sengaja menciptakan momen heroik dengan taruhan nyawa orang lain.
Polisi percaya Hoegel mempraktikkan pembunuhan pertama pada bulan Februari 2000, atau saat ia masih tinggal di Oldenburgh. Dua tahun berselang, Hoegel pindah ke Delmenhorst. Ia melanjutkan praktik kejamnya seminggu usai diangkat sebagai karyawan baru. Angka kematian di unit gawat darurat pun meningkat 5-10 persen selama Hoegel bekerja di tempat tersebut.
Pada 22 Juni 2005 seorang petugas di Delmenhorst tak sengaja menyaksikan Hoegel yang sedang menyuntikkan ajmaline ke seorang pasien (dan meninggal sehari setelahnya). Tetapi manajemen rumah sakit memutuskan untuk tidak menghubungi kepolisian atau memberi peringatan kepada Hoegel.
Hoegel baru ditangkap dua hari kemudian—satu hal yang disesalkan pihak rumah sakit dan kepolisian Jerman, sebab dalam dua hari itu pula Hoegel sempat membunuh dua pasien terakhirnya, yakni pada pukul 19.00, tertanggal 24 Juni 2005.
Pada tahun 2008, usai melalui berbagai macam sidang yang melelahkan sekaligus menyedihkan bagi keluarga korban, Hoegel dinyatakan bersalah atas percobaan pembunuhan. Ia didakwa tujuh setengah tahun kurungan penjara.
Usai pembacaan dakwaan, seorang jurnalis perempuan yang setia mengikuti kasus Hoegel mengontak kepolisian. Ia menyatakan bahwa ibu Hoegel yang telah meninggal kemungkinan juga menjadi korban kekejaman Hoegel.
Ditambah dengan ketidakjelasan penyelesaian kasus kematian di dua rumah sakit tempat Hoegel pernah bekerja, Hoegel kembali diseret ke meja hijau pada bulan Januari 2015. Di persidangan, Hoegel membuat pengakuan yang mengejutkan: total korban suntik malpraktik sebenarnya mencapai 90 orang; 30 di antaranya berakhir dengan kematian karena gagal melaksanakan CPR.
Saat itu Hoegel menyatakan bertanggung jawab penuh atas 30 kematian pasiennya serta menegaskan tak ada lagi korban lainnya. Hoegel pun kemudian dinyatakan bersalah atas pembunuhan dua orang pasien dan beberapa percobaan pembunuhan selama menjadi perawat. Ia menjalani hukuman penjara seumur hidup usai hakim mengetok palu.
Namun pihak kepolisian belum puas dengan jejak berdarah pria kepala empat yang dijuluki “pembunuh berantai terburuk Jerman” itu. Investigasi lanjutan dilaksanakan dengan menganalisis 130 mayat di Jerman, Polandia, dan Turki yang meninggal selama menjadi pasien di tempat Hoegel bekerja dan selama Hoegel bekerja di situ.
Kepolisian Jerman akhirnya menyimpulkan bahwa Hoegel juga bertanggung jawab atas 88 kasus pembunuhan, sehingga total korban kematian akibat praktik berbahaya Hoegel adalah minimal 90 orang. Rinciannya, 35 di antaranya dibunuh saat Hoegel bekerja di Oldenburgh, sisanya ketika sudah aktif di Delmenhorst.
Malaikat Pencabut Nyawa
Dalam dunia kriminologi, Hoegel yang bertindak bak malaikat pencabut nyawa digolongkan sebagai 'angel of death' ('malaikat maut') atau 'angel of mercy' ('malaikat belas kasih'). Pelaku kriminal 'angel of death', yang kerap melakoni praktik pembunuhan berantai ini, berstatus sebagai dokter, perawat, terapis, dan profesi lainnya, yang menarget pasien mereka sebagai calon korban.
Pelaku 'angel of death' adalah mereka yang memang memiliki kuasa atas hidup dan mati seseorang. Untuk alasan paling tak manusiawi, mereka melakukan pembunuhan hanya karena mereka merasa mampu. Dalam kata lain, bertindak bak Tuhan atas orang lain. Ada pula yang melakukannya demi uang, kenikmatan sadistik, atau alasan yang seakan-akan bermoral: mengakhiri penderitaan si pasien.
Ada tiga motivasi yang menggerakkan aksi para 'angel of death', demikian menurut BD Andersen, dkk dalam riset bertajuk "The application of pancuronium bromide (Pavulon) forensic analyses to tissue samples from an "Angel of Death" investigation".
Pertama, 'pembunuh belas kasihan'. Si pembunuh percaya bahwa korban menderita tanpa mampu ditangani medis—meski kepercayaan ini kemungkinan bersifat delusional.
Kedua, 'pembunuh sadistik'. Si pembunuh menggunakan posisi dan kuasa mereka untuk mengerahkan kekuatan serta kontrol atas korban yang tak berdaya. Tujuannya demi kenikmatan sadistik.
Ketiga, 'pahlawan ganas'. Pelaku membahayakan nyawa korban dengan cara-cara tertentu lalu “menyelamatkan” mereka. “Penyelamatan” tersebut banyak macamnya, sesuai prosedur medis yang diperlukan, namun sifatnya pura-pura. Hoegel bisa digolongkan ke jenis ini. Pelaku, misalnya, mencoba resusistasi pura-pura meski tahu korbannya sudah meninggal atau tak bisa tertolong lagi, akan tetapi ia bertindak seakan masih bisa diselamatkan.
Motivasi aneh lainnya tergambar dalam kasus Jane Toppan. Toppan adalah perawat asal Boston, Amerika Serikat, yang pada 1895-1901 membunuh lebih dari 30 orang. Kasus Toppan terbilang unik; ia mendapat kenikmatan seksual saat melihat pasiennya sekarat. Setelah memberikan campuran obat ke pasiennya, Toppan duduk manis di tepi ranjang menyaksikan sang pasien sekarat.
Selain Hoegel, jejak 'angel of death' yang berstatus sebagai perawat merentang di banyak negara. Ada Beverly Allitt, perawat RS Grantham and Kesteven, Inggris, yang membunuh empat anak, melakukan percobaan pembunuhan terhadap tiga anak, dan melukai fisik enam lainnya dengan amat parah. Salah satu metode pembunuhannya adalah menyuntik cairan insulin ke tubuh korban. Allitt dihukum seumur hidup pada 1993.
Ada juga Richard Angelo, soerang perawat di Good Samaritan Hospital, AS. Ia membunuh delapan orang dan meracuni 26 lainnya, yang untungnya bisa diselamatkan. Untuk membunuh korbannya, Angelo yang sama-sama menderita sindrom ingin jadi pahlawan seperti Hoegel, memakai suntik obat kelumpuhan. Pada persidangan tahun 1990 ia dihukum 50 tahun penjara.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf