Menuju konten utama

Matinya Charles Manson, Pemimpin Sekte Pembunuh

Pemimpin sekte berbahaya macam Charles Manson biasanya kharismatik, tapi juga manipulatif.

Matinya Charles Manson, Pemimpin Sekte Pembunuh
Charles Manson. FOTO/AP

tirto.id - Di Penjara Negara Bagian California, 19 November 2017, Charles Manson menemui ajal. Usianya 83 tahun. Meninggalnya Manson membuat namanya kembali diperbincangkan. Apalagi setelah ia disebut-sebut di Mindhunter, film serial terbaru keluaran Netflix yang berkisah tentang upaya membongkar kondisi psikologis para pembunuh berantai. Namun, Manson bukanlah pembunuh berantai.

Pada 1968, Manson membentuk sekte bernama Keluarga Manson. Ia dikenal sebagai sosok karismatik. Ia kenal beberapa pesohor dan musikus. Karena karismanya pula, banyak anak muda yang rela menjadi pengikutnya. Mereka loyal dan tak pernah membantah perintah Manson. Termasuk seorang anggota perempuan yang dimanipulasi untuk melayani nafsu seorang tua berusia 80 tahun, supaya mereka diperbolehkan menumpang di peternakannya.

Baca juga:Pemimpin Sekte Charles Manson Meninggal Usai Empat Dekade Dipenjara

Manson percaya akan adanya Helter Skelter, diambil dari judul lagu milik The Beatles, yakni kiamat yang disebabkan oleh perang antar-ras. Ia sangat terobsesi dengan kiamat itu. Dalam pikirannya, untuk mempercepat perang ras, maka kelompoknya harus membunuh.

Pada 8 hingga 9 Agustus 1969, Tex Watson, tangan kanan Manson, mengajak tiga orang anggota perempuan Keluarga Manson untuk pergi ke rumah artis Sharon Tate. Saat itu suami Tate, sutradara Roman Polanski, sedang tidak ada di rumah karena harus syuting di Eropa. Hanya ada Tate dan tiga orang temannya.

Perintah Manson adalah membunuh semua orang di sana, tanpa ampun. Dalam Helter Skelter – The True Story of the Manson Murders 25th Anniversary Edition (1994), Watson berujar kepada para korbannya bahwa ia adalah, "Iblis, dan di sini untuk melakukan urusan iblis."

Total ada 6 orang yang tewas hari itu, termasuk Tate yang sedang hamil 8,5 bulan. Ia ditusuk 16 kali, dan dengan darah itu, sang pembunuh menuliskan "PIG" di pintu depan. Ditambah Donald Shea, yang dibunuh pada 26 Agustus, total ada 7 pembunuhan yang dilakukan oleh Keluarga Manson.

Scott Bonn, dosen kriminologi di Universitas Drew, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Keluarga Manson ini bukanlah pembunuhan berantai, melainkan pembunuhan dengan misi, mission kill.

"Manson punya ide besar tentang kiamat ini, dan hal itu membuatnya merancang pembunuhan yang dianggap bisa mempercepat kiamat," tulis Bonn dalam situs Psychology Today.

Baca juga:Arsip Rahasia Seputar Pembunuhan Massal 1965 Dibuka AS

Sekte-Sekte Berbahaya

Manson tidak sendirian sebagai pelaku pembunuhan dengan misi ini. Dalam sejarah, ada banyak kisah tentang pembunuhan atau teror yang dilakukan oleh kelompok pemujaan atau sekte. Salah satu yang paling bikin geger adalah kasus bunuh diri massal di Jonestown, California, yang dilakukan oleh para anggota Peoples Temple.

Peoples Temple adalah gerakan keagamaan baru yang dibentuk oleh mantan pastor Jim Jones. Peoples Temple kemudian berkembang menjadi sekte yang memadukan unsur keagamaan, dengan politik, dan persamaan ras. Pada masa puncaknya, diperkirakan anggota sekte ini mencapai 20.000 orang, walau jumlah itu dianggap mengada-ada dan jumlah faktualnya adalah 3.000 hingga 5.000 anggota.

Jones jadi menarik karena ia adalah seorang yang mendukung persamaan hak bagi semua ras. Pada 1960, Jones sempat jadi direktur Komisi Hak Asasi Manusia di Indianapolis. Lalu pada 1977, ia mendapat penghargaan Martin Luther King, Jr. Humanitarian. Ia dikenal sebagai orator dan propagandis ulung.

Sejak 1974, Jones dan anggota Peoples Temple menyewa lahan seluas 15,4 kilometer persegi di Guyana. Tempat ini kemudian diberi nama Jonestown. Awalnya, populasi mereka hanya 500 orang. Namun kemudian berkembang hingga mencapai hampir 1.000 orang.

Di komunitas itu, Jones berilusi sebagai seorang Mesiah. Ia menyuruh para pengikut memanggilnya Bapa. Jones juga membual bahwa ia punya kekuatan magis, termasuk bisa menyembuhkan tumor, atau membangkitkan orang mati. Para pengikutnya percaya, dan itu membuat Jones jadi tambah menggila.

Banyak anak muda terpesona dengan ide masyarakat utopianya: sebuah kelompok masyarakat yang semua anggotanya diperlakukan sama. Saat itulah, Jones kemudian mengontrol para anggota. Ia memerintahkan para anggota untuk menjual semua barang pribadi, dan menyerahkan uang ke Peoples Temple. Di mata publik, Jones tampak seperti seorang yang kebapakan dan mendamba masyarakat adil serta sejahtera.

Namun, di dalam organisasinya, ia jauh berbeda. Hal ini terungkap dalam penelitian Rose Wunrow, "The Psychological Massacre: Jim Jones and Peoples Temple, An Investigation" (2011).

"Jones membentuk ulang kehidupan para pengikutnya, dengan menggunakan taktik kasar, yang berujung pada sikap tunduk para anggotanya, hingga mereka kehilangan kehendak bebas," tulis Wunrow.

Kegiatan anyir Jones di kotanya terendus oleh media, yang kemudian melaporkan ada pelanggaran hak asasi manusia di dalam Peoples Temples. Seorang anggota DPR, Leo Ryan, kemudian memimpin investigasi. Setelah sempat disambut, pesawat yang dinaiki oleh Ryan ditembaki oleh anggota sekte. Ryan tewas, begitu pula tiga wartawan yang mendampingi Ryan, dan satu anggota Temple yang terkena peluru nyasar.

Keesokan harinya, 18 November 1978, tentara Guyana menerobos hutan untuk masuk ke Jonestown. Di sana, mereka menemukan hal mengerikan: 909 penghuni Jonestown tewas. Dalam rekaman yang kemudian ditemukan, Jones menyebut usaha itu sebagai "bunuh diri revolusioner". Ditambah dengan empat anggota Temple yang bunuh diri, dan lima korban sebelumnya, total ada 918 orang yang tewas.

Kasus besar lain yang sempat bikin geger adalah apa yang dilakukan oleh sekte Aum Shinrikyo. Sekte ini didirikan oleh Shoko Asahara yang menyebut dirinya sebagai Kristus serta satu-satunya orang Jepang yang tercerahkan. Ia mendaku diri bisa menghapus dosa para pengikutnya, dan meramalkan kiamat. Dunia akan berakhir, ujarnya, kecuali bagi para pengikut Aum.

Pada 20 Maret 1995, 10 orang anggota sekte Aum Shinrikyo menyerang stasiun bawah tanah Tokyo, di jam sibuk. Mereka menggunakan gas sarin, bahan kimia yang juga mereka pakai di penyerangan kecil sebelumnya. Karena serangan di stasiun itu, 12 orang tewas, dan ribuan orang lain mengalami kebutaan sesaat. Teror ini membuat Jepang dilanda kepanikan. Pemerintah kemudian mengganjar hukuman mati bagi Asahara, yang hingga sekarang eksekusinya ditunda.

Infografik sekte para pembunuh

Para Narsisis yang Lihai Memanipulasi

Para pemimpin sekte ini punya banyak persamaan: mereka pandai memainkan kondisi psikologi para pengikutnya. Dalam Thought Reform and the Psychology of Totalism (edisi kedua, 1989), psikolog Robert J. Lifton menulis ada 8 cara yang sering dipakai untuk mengubah jalan pikiran seseorang, alias doktrinasi.

Langkah pertama yang paling dasar adalah kontrol lingkungan (milieu control). Seorang pemimpin sekte biasanya mengontrol informasi para anggotanya. Ia membatasi akses informasi, membatasi apa yang boleh dibaca, dilihat, atau ditulis para anggotanya.

Cara lain yang termasuk kontrol lingkungan adalah kontrol kelompok. Biasanya kelompok yang sudah terdoktrin akan mengisolasi anggota baru dari orang-orang di luar kelompok dengan berbagai cara, misalkan: membuat markas yang jauh dari keramaian dan sukar dijangkau. Hal ini membuat anggota baru mengalami tekanan psikologis dan kadang tekanan fisik.

Selain itu, ada pula doktrin "kita melawan mereka." Orang di luar kelompok dilabeli sebagai musuh yang harus diwaspadai, bahkan dilawan. Lifton menyebutnya sebagai, "membangun keinginan melawan dunia luar." Cara lain adalah pertemuan kelompok yang semakin sering, yang bisa meningkatkan isolasi anggota kelompok dari dunia luar. Dengan cara ini, anggota semakin kesusahan untuk keluar dari kelompok.

Kisah seperti ini pernah ditulis Lisa Kerr dalam artikel "How Cults Gain Power Over an Individual: A True Story." Kerr pernah tergabung dalam sebuah sekte pemujaan di California. Cara cuci otak yang digunakan oleh pemimpin sekte juga nyaris sama: berlapis dan perlahan.

Pertama, tulis Kerr, korbannya akan diisolir dari dunia luar. Kedua, para pemimpin dan senior di sekte akan membatasi informasi bagi para anggota baru. Ketiga, ada berbagai ritual yang kemudian membentuk pola pikir baru dan membuat anggota baru ini bersedia menuruti apapun perintah para pemimpin. Kalau ada yang mulai menentang dan ingin keluar, anggota lain akan mengancam.

Memang ada berbagai rupa sekte pemujaan. Ada yang tidak berbahaya—pemuja bintang pop, misalkan—tapi ada pula yang berbahaya, bahkan cenderung destruktif. Sejak 1930-an, sekte pemujaan ini sudah menjadi bahan studi di ranah sosiologi. Beberapa psikolog dan ahli pemetaan profil juga kerap menganalisis kondisi kejiwaan para pemimpin sekte ini.

Baca juga:JKT48: Gelap Terang Grup Idola

Salah satunya seperti yang ditulis oleh Joe Navarro, mantan agen FBI dan penulis buku Dangerous Personalities: An FBI Profiler Shows You How to Identify and Protect Yourself from Harmful People (2014). Menurut Navarro yang pernah meneliti para pemimpin sekte berbahaya—mulai dari Jim Jones, Charles Manson, hingga David Koresh—para pemimpin ini punya banyak sekali persamaan.

Mereka semua menderita penyakit narsisisme. Mereka semua merasa dirinya istimewa dan cuma mereka yang bisa menyelesaikan semua permasalahan. Selain itu, mereka menuntut loyalitas tanpa batas dari para pengikut, dan mereka tidak suka ditentang.

"Yang mengherankan adalah, mereka tidak kesulitan menarik banyak orang," tulis Navarro.

Para pemimpin sekte ini menggunakan berbagai pola dalam kepemimpinannya. Semua bertujuan sama: menggapai keuntungan pribadi, membahayakan orang lain, bahkan menebar teror. Ada yang menggunakan pola sekte kiamat (Manson, Asahara), sekte revolusioner (Jones), pola sekte pedofil berkedok poligami (Warren Jeffs), hingga sekte memakai nama agama (Abu Bakr al-Baghdadi).

Dari bukunya, ia mendaftar setidaknya 50 gejala pemimpin sekte yang berbahaya. Mulai dari menganggap dirinya paling agung, eksploitatif, bekerja paling sedikit tapi menuntut bagian paling besar, hingga mengisolasi anggota dari keluarga dan teman-temannya. Navarro menyarankan agar kita berhati-hati dan menghindar. Jika sudah terlanjur bergabung: kabur atau keluarlah.

Baca juga artikel terkait SEKTE BERBAHAYA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Humaniora
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani