tirto.id - Baru saja pada tanggal 6 Desember 2022, polisi mengungkap bahwa mereka telah menemukan penyebab kematian keluarga di Kalideres, Jakarta Barat, yang sempat meramaikan pemberitaan sejak awal November 2022 lalu.
Berita awal yang beredar menimbulkan kontroversi karena dikabarkan penyebab kematian satu keluarga ini adalah kelaparan. Pasalnya, setelah pemeriksaan, tidak ditemukan sari-sari makanan di dalam lambung mereka. Masyarakat pun langsung bereaksi, termasuk menyindir para tetangga yang dianggap melakukan pembiaran. Padahal, berita ini kemudian dikoreksi oleh kepolisian. Keluarga tersebut tidak tewas karena kelaparan.
Kondisi lambung memang bisa mengungkapkan cerita mengenai jenazah. Namun ini lebih mudah dilakukan jika masih ada sisa makanan dalam lambung, sehingga bisa diperkirakan kapan mendiang makan terakhir kali dan apa yang dimakan.
Sebaliknya, lambung kosong hanya berarti makanan terakhir yang masuk sudah selesai dicerna. Durasi pengosongan lambung pun berbeda pada setiap orang, antara lain tergantung jenis dan jumlah makanan yang diasup. Menyantap semangkok salad tentu berbeda bila dibandingkan dengan menyantap seporsi steak.
Makanan yang telah dicerna butuh 2—5 jam lagi untuk meninggalkan lambung dan masuk bertahap ke usus halus. Kemudian perlu 24—72 jam untuk melalui seluruh saluran pencernaan. Jadi, jika lambung mayat kosong, bisa saja hal itu terjadi karena ia terakhir makan sekian jam lalu. Tapi bukan berarti penyebab kematiannya adalah kelaparan.
Menurut ahli forensik, dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.FM (K) dari RSUD Dr. Drajat Prawiranegara, Serang, isi lambung dan pencernaan memang bisa menjadi salah satu informasi untuk tim forensik. Salah satunya untuk memperkirakan waktu kematian.
Namun data ini sebaiknya tidak berdiri sendiri. Dokter forensik harus mengolah temuan-temuan lain terkait perubahan pada bagian tubuh mayat. Setelah itu, baru bisa ditarik kesimpulan, salah satunya berupa perkiraan rentang waktu kematian.
Penurunan Suhu Mengungkap Perkiraan Waktu
Dalam dunia kedokteran forensik, dikenal tanatologi, yakni ilmu yang mempelajari tentang kematian, perubahan pasca kematian serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya, untuk memperkirakan waktu kematian.
Hal ini bisa menjadi informasi penting, terutama dalam investigasi kriminal. Meskipun begitu, ilmu kedokteran forensik hanya mampu memberikan perkiraan (estimasi) saat kematian. Tetapi tidak dapat menentukan saat kematian yang pasti (determinasi).
“Buku Ajar Kedokteran Forensik dan Medikolegal” karya dr. Abdul Gafar Parinduri, M.Ked (For), Sp.F menjelaskan tentang tanatologi dan perubahan pasca kematian. Buku ini menjabarkan secara rinci dua jenis perubahan setelah kematian, yakni perubahan segera pasca kematian dan perubahan lanjutan pasca kematian.
Perubahan segera terdiri atas penurunan suhu tubuh (algor mortis), adanya lebam mayat (livor mortis) dan terjadinya kaku mayat (rigor mortis). Perubahan-perubahan ini dapat mengungkap berbagai informasi seputar kematian seseorang, termasuk perkiraan waktu kematiannya.
Penurunan suhu tubuh mayat terjadi karena terhentinya metabolisme yang menghasilkan panas (energi) dari badannya karena ketiadaan oksigen. Ada beberapa teori untuk menentukan lamanya kematian berdasarkan penurunan temperatur tubuh mayat.
Salah satunya, teori Marshall dan Hoare dengan rumus (98,6ºF – suhu) : 1,5 = saat kematian. Suhu 98,6ºF (37ºC) adalah suhu normal tubuh, sedangkan 1,5 adalah angka rata-rata hilangnya panas per jam dalam suhu lingkungan sebesar 70ºF (21ºC). Biasanya dalam 12 jam, suhu mayat akan sama dengan suhu lingkungan.
Namun faktor 1,5º per jam ini bervariasi, tergantung pada suhu lingkungan sekitar, usia, ukuran mayat, penutup tubuh, lokasi mayat, dan faktor lainnya. Suhu mayat akan turun lebih cepat pada: mayat dengan perbedaan suhu tubuh dan sekitar jauh; mayat anak dan lansia; mayat bertubuh kurus; mayat tenggelam.
Sementara suhu mayat akan turun lebih lambat pada: mayat yang tertutup rapat atau terbungkus; mayat yang terletak di ruang tertutup tanpa ventilasi; mayat yang mati dengan demam akut.
Menilik Lebam dan Kaku Mayat
Selain penurunan suhu, lebam mayat dan kaku mayat juga merupakan perubahan segera pasca kematian yang bisa dijadikan indikator perkiraan waktu mati.
Lebam mayat adalah perubahan warna pada tubuh mayat berupa warna ungu kemerahan. Setelah seseorang meninggal, darahnya akan berkumpul di daerah tubuh yang letaknya paling rendah, sesuai hukum gravitasi. Aliran darah ini menekan pembuluh kapiler di daerah rendah tersebut, menyebabkan sel-sel darah keluar dari kapiler menuju sel serta jaringan sekitar dan memberi kesan warna.
Setelah enam jam, lebam mayat ini semakin meluas dan menetap, dan akhirnya membuat warna kulit menjadi gelap. Jika lebam mayat ditekan dan warnanya masih bisa hilang, berarti kematiannya masih di bawah enam jam.
Lebam mayat juga bisa membantu menentukan posisi mayat saat kematian. Misalnya, jika mayat terletak pada posisi punggung di bawah, lebam mayat awalnya terlihat pada bagian leher dan bahu, baru kemudian menyebar ke punggung. Pada mayat dengan posisi tergantung, lebam mayat tampak pada bagian tungkai dan lengan. Posisi mayat ini juga penting untuk menentukan apakah kematian disebabkan oleh pembunuhan atau bunuh diri.
Sementara kaku mayat adalah perubahan pada jasad berupa kekakuan karena proses biokimiawi. Kaku mayat dimulai sekitar 1—2 jam setelah kematian. Setelah 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap di seluruh tubuh, lalu berangsur hilang setelah 24—36 jam.
Selain itu, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Kaku mayat akan lebih cepat terjadi jika suhu tubuh dan lingkungan cukup tinggi, juga pada mayat anak-anak dan mayat berbadan kurus, dan bila sebelum mati ia beraktvitas fisik lebih banyak.
Pada mayat yang tersengat listrik, malnutrisi, dan keracunan striknin, kaku mayat juga berlangsung lebih cepat. Sementara pada kasus di mana mayat dimasukkan ke dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan bertahan lebih lama.
Perubahan Lanjutan Pasca Kematian
Pembusukan, adiposere, mumifikasi, dan penulangan adalah perubahan-perubahan lanjutan pada mayat. Pada pembusukan mayat, perubahan yang dapat dilihat antara lain adalah perubahan warna.
Mula-mula perut bagian kanan tampak berwarna hijau kekuningan. Selanjutnya, perubahan warna juga tampak pada seluruh abdomen, bagian depan genitalia eksterna, dada, wajah dan leher. Semakin lama, warnanya berubah semakin ungu. Perubahan warna mulai terjadi setelah 6—12 jam pada musim panas dan 1—3 hari pada musim dingin.
Perubahan warna ini lalu diikuti pula dengan pembengkakan mayat. Selanjutnya, setelah 36 jam, mulai muncul lepuhan kulit (blister) yang disebabkan oleh gas pembusukan. Kulit ari juga akan mudah terkelupas.
Kecepatan pembusukan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain lokasi. Pembusukan mayat di dalam air lebih lambat daripada pembusukan di dalam tanah atau pada udara terbuka. Tapi begitu mayat dikeluarkan dari air, pembusukannya akan terjadi 16 kali lebih cepat dari biasanya, sehingga pemeriksaan post-mortem harus segera dilakukan. Namun ini harus dilihat dari kondisi airnya juga. Pada air yang kotor dan tidak mengalir, pembusukan akan lebih cepat.
Selain pembusukan biasa, ada pula adiposere. Mayat yang terbenam dalam air atau rawa-rawa bisa mengalami adiposere karena adanya enzim bakteri dan air. Mayat akan diliputi oleh substansi mirip lilin yang lunak, licin dan warnanya bervariasi dari putih keruh sampai coklat tua. Berbau tengik seperti minyak kelapa. Lama pembentukan adiposere ini dari satu sampai sepuluh minggu.
Pengawetan alami lain adalah mumifikasi, yang diakibatkan oleh proses pengeringan dan penyusutan bagian-bagian tubuh. Mayatnya mengecil, kulit mengering dan melekat erat pada tulang. Mumifikasi terjadi di daerah yang panas dan lembap, sehingga mempercepat penguapan cairan tubuh.
Diperlukan waktu tiga bulan atau lebih bagi mayat untuk mengalami mumifikasi. Mayat yang mengalami pengawetan alami, meskipun telah lama mati, tapi lebih mudah diidentifikasi karena mayat masih utuh dan masih tampak ciri-cirinya.
Setelah pembusukan, akhirnya terjadilah penulangan. Bagian tubuh, kulit, dan jaringan mulai hancur, terurai, dan tersisalah tulang belulang. Penulangan mulai terjadi setelah empat minggu. Biasanya saat ini masih tersisa ligamen (jaringan berserat) pada tulang dan berbau busuk.
Setelah tiga bulan, tulang tampak berwarna kuning. Setelah enam bulan, tulang tak lagi memampakkan ligamen dan berwarna kuning keputihan. Bau busuk mayat pun tak lagi tercium.
Tantangan Forensik
Menurut dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.FM (K) biasanya diperlukan kurang lebih dua minggu untuk melakukan pemeriksaan, menganalisa dan mengambil kesimpulan bervariasi tergantung kasus, termasuk memperkirakan waktu kematian.
“Tantangan dalam pemeriksaan forensik adalah memeriksa jasad yang rusak. Mungkin karena dirusak oleh pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejak atau menyulitkan pemeriksaan. Atau dirusak oleh binatang, tergantung di mana jasad itu berada. Menjadi tantangan tersendiri untuk mengungkap kasus terkait perkiraan waktu kematian, juga sebab mati dan mekanisme matinya,” jelas dr. Budi.
“Bila jasad dirusak dan tim forensik hanya menemukan sedikit saja sisa jasad, dari sanalah kami mulai menganalisa. Memperkirakan waktu kematian jadi lebih kompleks dan pengungkapannya juga lebih lama. Tapi itu juga tergantung kesegaran jasad,” lanjutnya.
Menantang, tapi bukan berarti tidak bisa. Semakin banyak temuan dan data yang didapat, akan semakin kecil rentang (interval) perkiraan waktu kematian. Sebaliknya, semakin sedikit temuan, semakin lebar rentang perkiraan waktu kematian. Selain berbagai perubahan pasca kematian yang telah disebut, masih ada hal-hal lain yang bisa diperiksa, antara lain kekeruhan kornea mata dan aktivitas serangga pada mayat.
“Jika korban masih hidup, ia bisa menceritakan apa yang dialaminya. Tapi karena ia sudah meninggal, kitalah yang bertanggung jawab untuk menerjemahkan apa yang dialaminya,” tutup dr. Budi.
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi