tirto.id - Rekaman sebuah CCTV menampilkan seorang pria yang tiba-tiba mendorong seorang gadis di sebuah jalan ramai. Ia terlihat membawa sebilah pisau dan menikam wanita tersebut secara membabi buta. Walau ramai orang berlalu lalang, tak satupun dari mereka yang mencoba menghalau pria tersebut.
Tak puas melihat darah korbannya menggenang di jalan, si pria masih terus melakukan aksinya sampai akhirnya memukul kepala si gadis dengan batu dan menendangnya. Karuna, gadis yang ditikam lebih dari 20 kali itu tewas di jalanan ramai, New Delhi, India tanpa ada bantuan yang berarti dari sekitar.
Di belahan dunia lain, Tokyo, pusat fasilitas penyandang cacat yang terletak 30 kilometer di luar ibukota Jepang diserang seorang pria. Awalnya polisi menerima laporan telepon bahwa seorang pria dengan sebilah pisau di tangannya telah memasuki gedung. Sedikitnya 19 orang tewas dan 45 lainnya terluka karena tikamannya yang membabi buta. Belakangan diketahui, pria tersebut adalah mantan karyawan di pusat fasilitas tersebut.
Pembunuhan-pembunuhan sadis yang terjadi di tempat umum dan dilakukan secara acak tak hanya terjadi luar negeri. Di Indonesia, tepatnya di Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, beberapa hari lalu dibuat ramai dengan aksi penikaman membabi buta yang terjadi kepada murid kelas 5 dan 6 SD Negeri Sabu Barat di sekolahnya.
Pada Selasa (13/12/2016) pagi itu, suara riuh anak-anak sekolah tergantikan oleh riuhnya jerit ketakutan para murid dan guru. Seorang pria secara yang tak diketahui identitasnya menyerang secara brutal dan menyandera tujuh orang anak sekolah dasar tersebut.
Pelaku masuk ke sekolah sekitar pukul 09.00 pagi dan menikam secara acak para korbannya yang masih anak-anak. Ketujuh anak tersebut menderita luka tikam di leher, kaki, dan tangan, kesemuanya dirawat di puskesmas dan tidak ada korban meninggal. Dugaan sementara, pelaku yang sudah diamankan pihak kepolisian ini menderita stres.
Di Bandung, pada hari yang sama juga terjadi penikaman acak terhadap delapan pria oleh Muhammad Aziz Ghozari (19). Seorang korbannya bahkan sampai meninggal dunia akibat dua luka tikam di bagian dada, sementara korban selamat lainnya masih mendapat perawatan di Rumah Sakit.
Diceritakan Dadan, salah seorang korban selamat yang mana ayahnya menjadi korban meninggal, pelaku awalnya membawa beberapa pisau, berdiam diri di Jembatan Tol, Jalan Batureungat, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung. Ia sempat mengira, Aziz merupakan seorang penjual pisau sampai akhirnya secara tiba-tiba Dadan mendapat tikaman di punggung kanannya.
Saat perjalanan pulang menggunakan sepeda motor, ia melihat pelaku masih mengejar dua orang pejalan kaki, hendak melancarkan serangan ke korban berikutnya. Si ayah yang tak terima anaknya diperlakukan sedemikian rupa bergegas kembali ke TKP penikaman anaknya. Tapi nahas ia pun menjadi korban Azis selanjutnya dan malah tak terselamatkan. Warga yang geram kemudian bersama-sama mengeroyok Azis hingga babak belur.
Mengapa itu semua bisa terjadi?
Jawabannya: Manusia memiliki sifat dasar dan naluri untuk membunuh.
Dave Grossman, penulis buku On Killing: The Psychological Cost of Learning to Kill in War and Society menyatakan bahwa manusia memiliki sifat dasar seperti primata lainnya. Dave yang juga merupakan mantan tentara Amerika Serikat ini menganalogikan manusia seperti kera dalam kerajaan primatanya.
“Mayoritas para kera tidak ingin membunuh spesiesnya sendiri kecuali muncul sesuatu hal yang mengganggu.”
Jika muncul konfrontasi antar-kelompok yang dianggap mengganggu, maka pihak musuh dianggap inferior sekaligus marabahaya yang harus dilenyapkan. Maka, untuk mendapatkan posisi sebagai superior, para kera ini melakukan pertarungan hingga tak jarang sampai menghilangkan nyawa dari lawannya. Itul juga terjadi pada manusia.
Walau tak dapat dipukul rata bahwa semua manusia memiliki keinginan membunuh, tetapi neurolog Jonathan Pincus dalam bukunya Base Instincts: What Makes Killers Kill? menyatakan kesimpulan serupa. Manusia akan cenderung melakukan aksi membunuh manusia lainnya dalam usaha mempertahankan diri atau menyelamatkan nyawa sendiri.
Analisa sifat dasar manusia sebagai pembunuh ini sempat dituliskan Review Global berdasar penelitian dari David M Buss, psikolog sekaligus profesor di University of Texas di Austin. Penelitian yang dilakukannya mengemukakan sekitar 91 persen pria atau 84 persen wanita memiliki keinginan untuk membunuh makhluk hidup lain, baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan.
Selain Buss, penelitian-penelitian lain juga banyak yang menyatakan bahwa aktivitas saling bunuh pada manusia merupakan alur dari genetika atau sosiobiologi, sampai alur evolusi manusia. Sebab, ternyata insting manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan cara bersaing sudah berada sejak di dalam rahim.
Reaksi ini diperlihatkan sebuah hasil MRI pada janin kembar, untuk mendapat ruang yang maksimal pada rahim ibunya, mereka tak segan untuk menendang dan mendorong saudaranya. Mungkin, inilah awal mula alasan munculnya sifat egois dan kejam pada manusia saat merasa terpojok dan terancam, insting untuk bertahan hidup.
Sadar Tak Sadar Saat Membunuh
Dalam kasus pembunuhan-pembunuhan yang terjadi seperti contoh di atas, psikolog forensik N. Reza Amriel menggolongkannya sebagai pembunuhan massal, kecuali yang terjadi pada Karuna, si gadis India. Sebab, para pelaku melakukan penikaman dan pembunuhan dalam satu waktu yang bersamaan.
Baginya, ada beberapa alasan untuk mengklarifikasi motif penyerangan di belakangnya. Pelaku bisa saja berada dalam kondisi dipengaruhi obat-obatan ataupun minuman beralkohol, gangguan kewarasan, atau amarah membabi buta yang teralihkan (displaced anger).
“Pada kemungkinan yang pertama dan kedua, pelaku jelas berada tidak dalam kondisi sadar, ini termasuk kepada para pengidap penyakit seperti bipolar, skizofrenia, atau yang lainnya,” kata Reza kepada tirto.id, Kamis (15/12/2016).
Ia melanjutkan, aksi serupa yang terjadi di beberapa negara luar juga terdapat unsur mereplika adegan dari film. Pelaku biasanya sangat terobsesi dengan film yang ditonton sehingga membawa karakter yang ada ke dalam dunia nyata seperti yang dilakukan James Eagan Holmes.
Seorang mahasiswa berumur 24 tahun ini melakukan penembakan di gedung bioskop Century Movie Theater di Colorado, Amerika Serikat saat penayangan perdana The Dark Knight Rises (2012). Dengan mengenakan helm, masker gas, ia memasuki gedung teater dengan tenang dan melempar gas air mata serta menembak sambil berteriak “I’m The Joker!”
Kasus terkenal lainnya datang atas pengaruh film sci-fi populer The Matrix, film ini setidaknya menjadi dasar pembunuhan yang dilakukan oleh tiga orang. Salah satu yang terkenal adalah Lee Boyd Malvo di Washington DC yang membunuh 10 orang selama rentang waktu 16 Februari 2002-23 October 2002. Dalam pembelaan, ia selalu mengatakan “Bebaskan diri Anda dengan The Matrix!”
“Unsur kegilaan yang disebutkan semacam ini termasuk kondisi kedua yang dilakukan secara tak sadar karena unsur kejiwaan.”
Itulah mengapa, dalam beberapa kasus yang didalangi obsesi terhadap sebuah film, para hakim memberi putusan bebas. Sebagai gantinya, para pelaku kemudian dipindahkan ke panti-panti rehabilitasi.
Namun, jika pelaku berada dalam kondisi ketiga, yakni displaced anger, maka ia jelas sedang sadar dalam melakukan pembunuhan. Oleh karena itu, kasus-kasus yang berdalih insane pada momen kritis, ketika amarah berada pada level sedemikian tinggi tetap tidak akan diterima oleh hakim.
Gen Pembunuh
Terlepas dari kajian ilmu psikologi di atas, ternyata ada penelitian biologi yang menunjukkan manusia memiliki gen yang mendasari rasa ingin membunuh.
Dalam membahas sifat manusia jelas tingkatan genetika tak bisa dilepaskan. “Gen Pejuang” atau “Warrior Gene” adalah gen ditengarai menjadikan sifat dasar pemiliknya menjadi agresif dan kasar.
Penelitian membuktikan, tikus dengan gen pejuang lebih tinggi dalam tubuhnya memiliki sifat lebih agresif diandingkan tikus lainnya yang normal. Walau memiliki aktivitas rendah atau bahkan tidak ada aktivitas sama sekali, gen ini dapat tumbuh dan aktif pada seseoraang yang hidup di lingkungan yang keras dan membuat perilaku negatif.
Di luar kontroversi dan kemungkinan adanya temuan tandingan, temuan ilmiah seperti ini lagi-lagi bisa menyebabkan pertanyaan lain di bidang hukum. Jika membunuh bisa dijustifikasi dengan penjelasan genetik, apakah sang pelaku kemudian bisa diminta pertanggungjawaban di muka pengadilan?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani